Komparatif.ID, Jakarta— Data Badan Pusat Statistik (BPS) dinilai kurang akurat karena masih menggunakan standar lama internasional dalam menentukan kelompok masyarakat miskin ekstrem.
Meskipun standar garis kemiskinan terbaru dari World Bank sudah mengacu pada angka pendapatan sebesar US$3,2 per kapita per hari, BPS belum mengadopsinya.
Anggota Komisi X DPR RI, Agung Widyantoro, menilai BPS masih menggunakan garis kemiskinan yang tidak lagi relevan dengan kenyataan saat ini.
Berdasarkan standar terbaru yang ditetapkan oleh World Bank, garis kemiskinan ekstrem seharusnya mengacu pada pendapatan sebesar US$3,2 per kapita per hari. Angka ini mengacu pada Purchasing Power Parity (PPP) 2017, yang menggantikan PPP 2011 yang sebelumnya digunakan.
Agung menegaskan angka kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS tidak menggambarkan realitas yang ada di lapangan. Salah satu contoh yang disampaikan adalah mengenai rumah-rumah masyarakat yang seharusnya layak huni, tetapi telah ditempelkan stiker yang menyatakan bahwa mereka tidak mampu.
Sebaliknya, ada juga rumah yang dianggap layak, padahal kondisinya tidak memadai. Hal-hal semacam ini, menurut Agung, dapat menimbulkan kesalahan dalam penyaluran bantuan yang ditujukan untuk mengentaskan kemiskinan.
Baca juga: Data Pondasi Pengembangan Kebijakan Publik
“Contohnya rumah masyarakat yang layak huni tetapi sudah ditempelkan stiker tidak mampu, kemudian sebaliknya. Hal ini yang memicu terjadinya kesalahan dalam menyalurkan bantuan,” ungkapnya dalam Rapat Kerja Komisi X dengan Kepala BRIN dan Kepala BPS di Ruang Rapat Komisi X, Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (12/11/2024).
Meskipun demikian, hingga kini BPS belum berencana untuk mengubah metodologi pengukuran kelompok miskin ekstrem sesuai dengan standar terbaru yang dikeluarkan oleh Bank Dunia.
Dalam penghitungan BPS, jumlah penduduk miskin ekstrem di Indonesia pada Maret 2024 hanya tercatat 0,83 persen dari total penduduk. Angka ini menurun dibandingkan dengan Maret 2023, yang tercatat sebesar 1,12 persen dari total penduduk.
Agung menyebut dengan menggunakan standar lama ini, hasil pengukuran kemiskinan bisa menyesatkan. Ia menduga banyak kelompok yang seharusnya masuk dalam kategori masyarakat miskin ekstrem justru terabaikan, sementara kelas menengah atau atas mungkin sebenarnya tergolong dalam kelas bawah jika dihitung dengan standar yang lebih tepat.
Politisi Golkar itu mengusulkan agar pengukuran kemiskinan dilakukan dengan cara yang lebih langsung dan mendalam, yakni dengan turun ke lapangan untuk melihat secara langsung apakah kondisi masyarakat memenuhi kriteria kemiskinan ekstrem.
“Lebih baik turun langsung ke lapangan untuk menentukan layak atau tidaknya masyarakat dikategorikan miskin, karena data di meja dengan lapangan berbeda,” pungkasnya.