Komparatif.ID,Bireuen— Sekitar setahun lalu, Basri (55) menjual sepetak tanahnya untuk mengobati putri tercinta yang jatuh sakit. Pembeli urung membayar lunas karena tanah Basri belum bersertifikat.
Setelah memenuhi seluruh administrasi, ia mengajukan pembuatan sertifikat tanah ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bireuen. Tapi sertifikat itu tak kunjung keluar.
Namanya Basri, warga miskin di Gampong Cot Keutapang, Kecamatan Jeumpa, Bireuen. lima tahun lalu, putrinya yang sedang menempuh studi di salah satu SMK di Bireuen, jatuh sakit.
Penyakitnya aneh. Dia bisa rubuh tiba-tiba. Bila sadar, dia mengaku tidak tahu apa-apa. Dia tidak bisa mengingat apa pun yang menyebabkan dirinya ambruk. Selentingan mengatakan bila sang dara mengidap epilepsi.
Baca: Kajari Bireuen: Saya Tidak Bisa Disetir Siapapun
Basri dan istrinya terkejut. Apalagi penyakit itu terus berulang. Bila bukan dua hari sekali, maka seminggu sekali. Pokoknya, tidak dapat diprediksi.
Dengan semangat supaya putrinya sembuh, Basri membawa putrinya berobat ke rumah sakit. Dia juga membawa sang cahaya mata ke pengobatan tradisional. Tapi belum membuahkan hasil.
Setiap minggu Basri membutuhkan biaya hingga 800.000 rupiah untuk membiayai pengobatan sang belahan jiwa. lambat laun, apa yang dia punya habis. Peralatan bertukang dijual satu persatu hingga ludes semuanya.
Basri dilematis. Ia tak lagi punya uang, tapi sang anak belum menunjukkan tanda-tanda sehat. Basri pun bermaksud menjual sepetak tanah kepada seseorang. Tapi si pembeli tak bersedia membayar lunas, karena tanah itu belum bersertifikat.
Dengan semangat tinggi, dia menghubungi kepala desa. Pria tua tersebut membayar Rp7 juta untuk kepentingan itu. Dia menunggu di rumah, karena seluruh urusan diserahkan kepada Keuchik Cot Keutapang.
Tunggu punya tunggu, sertifikat tak kunjung terbit. Si pembeli mempertanyakan kelanjutan jual beli itu. Basri terdesak. Uang panjar telah habis dipergunakan untuk mengobati sang anak yang kini berusia 18 tahun. Uang tersisa tidak bisa ditarik.
Basri panik, kecewa, sekaligus sedih. Dia menghubungi keuchik, tapi ia tidak mendapatkan jawaban pasti. Keuchik memberi jawaban tidak pasti. Mereka pun ribut. Pria itu meminta uangnya kembali.
Masalah itu sampai ke telinga Kajari Bireuen Munawal Hadi. Saat itu dia memberikan uangnya kepada sang pria tua untuk menebus obat. Munawal juga menghubungi pihak BPN Bireuen supaya mempercepat terbitnya sertifikat tanah.
Basri Curhat Kepada Kajari Bireuen
Tiba-tiba, pada Senin (15/7/2024) malam, pria itu muncul di halaman rumah dinas Kejaksaan Negeri Bireuen. Dengan wajah lelah dia curhat kepada Munawal Hadi, bila sertifikat tanahnya belum juga terbit.
“Bila tak juga terbit, si pembeli meminta uangnya kembali. Dari mana saya ambil? Panjar sudah habis saya belikan obat anak,” curhanya dengan wajah sendu.
Kajari Bireuen Munawal Hadi agak terkejut; tapi kemudian secepatnya melemparkan senyum. Dia memberikan waktu kepada sang jelata bercerita. Setelah itu dia mengatakan akan membantu supaya sertifikat itu secepatnya terbit.
“Bapak pulang saja. Besok kita sama-sama ke BPN. Bila perlu kita tunggu sampai sertifikat itu diterbitkan,” hibur Munawal Hadi. Kawula dan dua temannya pun pulang.
Pada Selasa, 16 Juli 2024, Kajari Bireuen menggelar pertemuan dengan Basri dan Keuchik Gampong Cot Keutapang. Setelah mendapatkan titik terang, ia memerintahkan Kasi Intel Abdi Fikri menghubungi pihak-pihak terkait agar permasalahan sertifikat tanah tersebut dapat dituntaskan.
Akhirnya, pada Rabu, 17 Juli 2024, tanah seluas 11×23 meter telah memiliki sertifikat dari BPN Bireuen.
Pria tua itu sangat bahagia. Satu bebannya telah usai. Dia sudah bisa mengambil seluruh harga tanah. Uang itu selanjutnya dipergunakan untuk mengobati sang belahan jiwa permata hati.