Aceh merupakan daerah paling akhir di Nusantara yang dapat ditaklukkan. Akan tetapi juga daerah pertama yang paling cepat terlepas dari cengkeraman.
Penjajah Belanda yang telah dapat menguasai Nusantara, mendapatkan pengalaman menyakitkan ketika akhirnya memilih menyerbu Aceh. perang yang dimulai 1873 telah banyak menghabiskan sumber daya pada kedua belah pihak.
Dari masa Kesultanan Aceh Darussalam hingga kemudian kekuasaan politik berpindah ke ulama dan tokoh-tokoh lainnya sepanjang sejarah perang panjang, Aceh tidak benar-benar dapat ditundukkan. Meskipun pemerintahan tetap dapat dijalankan di Aceh oleh pemerintah Hindia Belanda yang berpusat di Batavia.
Paul Van ‘T Veer, penulis buku De Atjeh Oorlog, menyebutkan, “Perang Aceh tidak berakhir tahun 1913 atau 1914. Sejak tahun 1914 terentangs eutas benang merah ke tahun 1942, sebuah jejak pembunuhan dan pembantaian, dari perlawanan bawah tanah sampai yang terang-terangan yang menyebar luas sedemikian rupa sepanjang tahun -tahun 1925 sampai 1927, dan kemudian lagi tahun 1933 sampai menjelma pemberontakan setempat.
Berpuluh-puluh pembunuhan Aceh (Atjeh moorden) yang terjadi di antara tahun-tahun tersebut sepenuhnya diketahui di seluruh Hindia Belanda. Akhir-akhir ini disadari bahwa benang merah itu menjurus dari tahun 1914 ke tahun 1942, sehingga sejak sejarahnya tahun 1873 sampai 1942, yakni saat belanda meninggalkan Aceh untuk selama-lamanya, harus dianggap sebagai sebuah “perang Aceh” yang besar atau boleh juga disebut sebagai sebuah rangkaian terdiri dari empat atau lima “peperangan Aceh” dengan beragam wataknya.
Aceh adalah yang terakhir ditaklukkan Belanda dan merupakan yang pertama terlepas dari kekuasaanya. Kepergian Belanda dari sana di tahun 1942 adalah saat terakhir ia berada di bumi Aceh. selama 69, Belanda tiada henti-hentinya bertempur di Aceh dan ini sudah lebih dari cukup.”
Pierre Heijboer, penulis buku Klamboes Klewangs Klapperbomen, yang terbit pertama kali tahun 1977 menyebutkan, “Ternyata orang Aceh bukan saja pejuang yang sangat kuat keyakinannya terhadap ajaran agama, tetapi juga tergolong pembangun kubu-kubu pertahanan yang ulung sekali.”
Anthony Reid yang menulis buku The Contest for North Sumatra: Atjeh, the Netherlands and Britain 1858-1898, secara panjang lebar menyebutkan “Selama berabad-abad Aceh telah membuktikan kemampuan baik di bidang perdagangan dan pertanian maupun di bidang peperangan. Selama tahun-tahun pertama melawan Belanda, mereka [Aceh] telah membuktikan bahwa layak memperoleh perhatian besar dari orang-orang Eropa dan kaum Muslimin dunia. Dalam hubungan ini, Aceh juga telah memberikan sumbangan kepada pertumbuhan kesetiaan yang lebih kuat di Indonesia.”
Baca juga: Bireuen, Tionghoa, & Perkembangan Warung Kopi
Hormat Belanda kepada Aceh
Doup, A. dalam karyanya Gedenkboek van het Korps. Marechaussee 1890-1940, menulis “ Kepahlawanan orang Aceh dalam mempertahankan kemerdekaan dan bumi persadanya seperti yang diperagakan selama “Perang Aceh” menimbulkan rasa hormat di pihak Marsose serta kekaguman akan keberanian, kerelaan gugur di medan tempur, pengorbanannya dan daya tahannya yang tinggi. Orang Aceh tidak habis-habis akalnya ketika menciptakan dan melaksanakan siasat sejati, sementara itu daya pengamatannya sangat tajam. Mereka mengamati setiap gerak-gerik pemimpin brigade dan tahu benar yang mana melakukan patroli dengan ceroboh atau yang mana pula yang siap siaga dan terjun teratur.”
Sementara itu mantan tentara Belanda yang kemudian menjadi wartawan perang, H.C. Zentgraaff dalam bukunya berjudul Atjeh, ia menulis, “Yang sebenarnya orang-orang Aceh, baik laki-laki maupun perempuan, pada umumnya telah berjuang dengan gigih sekali untuk sesuatu yang mereka pandang sebagai kepentingan nasional atau agama mereka. di antara pejuang-pejuang itu terdapat banyak sekali putra-putri yang menjadi kebanggaan setiap bangsa, mereka itu tidak kalah gagahnya daripada tokoh-tokoh perang kita yang terkenal.
Dari semua pemimpin peperangan kita yang pernah bertempur di setiap pelosok kepulauan, kita mendengar, bahwa tidak ada satu bangsa yang begitu gagah berani dan fanatic di dalam peperangan, kecuali bangsa Aceh. kaum perempuannya memiliki keberanian dan kerelaan berkorban yang jauh melebihi perempuan-perempuan lain.
Demikianlah berakhirnya kehidupan Teungku di Barat dan ulama termasyhur lainnya di daerah itu [Aceh] yang lebih menyukai mati syahid daripada menyerah kepada lawan;… dan adakah satu bangsa dan jagad ini yang tidak akan menulis dalam buku-buku sejarahnya mengenai gugurnya tokoh-tokoh heroik dengan penghargaan yang luar biasa?”
G.B. Hooyer dalam buku De krijgsgeschiedenis van Nederlandsch-Indië van 1811 tot 1894, menulis dengan sangat menarik tentang orang Aceh. “tak pelak lagi “Perang Aceh” senantiasa akan menjadi sumber pelajaran bagi militer kita dan oleh karenanya saya beranggapan bahwa tepat sekali jilid ketiga dan terakhir mengenai sejarah peperangan [di Hindia Belanda] saya peruntukkan seluruhnya buat membahas peperangan [di Aceh].