Antara Negara, Pemerintah, dan Rakyat

Antara Negara, Pemerintah, dan Rakyat Bulman Satar, Antropolog. Foto: Komparatif.ID.
Bulman Satar, Antropolog. Foto: Komparatif.ID.

Ada banyak pembelajaran yang harus kita petik dari dinamika sosio-politik yang berlangsung di negeri ini dalam beberapa tahun terakhir, dan telah membawa kita ke jurang krisis multidimensi yang sangat berbahaya. Kondisi ini tak boleh dibiarkan jika kita masih mau negeri ini selamat dalam menapaki masa depannya untuk kemudian bisa jadikan warisan terbaik buat anak cucu.

Kita sudah harus berpikir ulang dan merenungkan kembali apa sesungguhnya arti, hakikat, tujuan, dan cara kita bernegara pada tingkatnya yang paling ideal. Satu poin krusial dan sentral yang kiranya perlu dibedah kembali dalam hal ini adalah perihal posisi negara, pemerintah, dan rakyat, serta bagaimana relasi dependen berlaku di antara ketiganya.

Hakikat Tritunggal

Kita mulai dengan negara. Negara adalah entitas hukum wadah sekaligus saluran bagi prikehidupan orang-orang yang telah bersepakat untuk bersatu dalam wadah dan saluran tersebut untuk mencapai tujuan besar bersama. Wargaya bisa berangkat dari berbagai jenis identitas : etnis/suku bangsa, ras, agama, strata sosial, dan lain sebagainya.

Lalu pemerintah, adalah unit kerja yang diberi mandat oleh rakyat untuk mengurus dan mengelola prikehidupan kolektif tersebut. Di negara demokrasi mereka direkrut dan ditunjuk secara temporal dan terbatas dengan dua cara, politis dan teknis. Secara politis melahirkan entitas politik yaitu kepemimpinan politik, sementara secara teknis melahirkan entitas teknis bernama birokrasi.

Pada tingkat politik mandat dibatasi adalah untuk mencegah terjadinya pemerintahan  absolut, karena absolutisme akan berpotensi menjadi benih despotisme dan otoritarianisme kekuasaan yang justru paradoks dan mengingkari tujuan dari eksistensi negara. Sementara di tingkat teknis-birokrasi dibatasi dengan peraturan masa kerja dan usia pensiun.

Terakhir rakyat, adalah pemberi mandat sekaligus penerima manfaat terbesar dari keberadaan “negara” dan “pemerintah”. Sejatinya rakyat adalah elemen tertinggi dan paling sakral diantara ketiganya. Makanya ada ungkapan vox populi vox dei : suara rakyat adalah suara Tuhan. Inilah inti dari frasa kedaulatan rakyat ruh demokrasi yang bermakna rakyatlah pemilik kekuasaan yang sesungguhnya.

Ketiganya, negara, pemerintah, dan rakyat, adalah tritunggal yang dependen, saling bergantung, namun berbeda dalam posisi dan fungsinya masing-masing. Negara, adalah entitas abstrak dan netral. Ia eksis karena ada pemerintah dan rakyat. Ia disyaratkan oleh keduanya, plus satu lagi, wilayah teritorial yang tidak akan kita bahas dalam konteks tulisan ini.

Pemerintah, adalah entitas manajerial, tata kelola yang terdiri dari tiga elemen : manusia, struktur, dan aturan hukum. Kemudian rakyat, adalah massa manusia dengan segala kepentingan, kebutuhan, dan masa depannya wajib dipenuhi dan diperhatikan oleh pemerintah selaku pengurus dan pengelola negara.

Baca juga: Musik & Politik di Aceh

Pemerintah Bukan Negara

Umumnya orang sangat jelas dalam memahami dan menunjuk apa dan siapa itu rakyat, tapi yang seringkali abu-abu, atau lebih tepatnya dibuat abu-abu dan tumpang-tindih adalah antara negara dengan pemerintah. Ada banyak teks yang mencampur-adukkan antara negara dan pemerintah seolah keduanya adalah sama, padahal tidaklah demikian. Negara adalah pemerintah atau sebaliknya pemerintah adalah negara, ini adalah asosiasi yang tidak benar.

Meski negara membutuhkan atau disyaratkan oleh adanya pemerintah, namun keduanya tidaklah identik sehingga kemudian pemerintah tidak bisa serta merta dianggap sebagai representasi mutlak dari negara. Ia hanyalah salah satu elemen, di samping elemen-elemen lainnya.

Dalam negara demokrasi, pemerintah itu adalah fungsi yang strukturnya bersifat sementara, bukan status yang bersifat permanen dan turun-temurun sebagaimana lazimnya berlaku dalam sistem monarki atau kerajaan.

Pemerintah terdiri dari dua elemen, kepemimpinan politik dan struktur birokrasi yang kemudian menjadi aparaturnya. Khusus untuk kepemimpinan politik, di level apapun, ia sesungguhnya dapat digambarkan secara sederhana sebagai “entitas hukum yang lahir dari sebuah proses/kompetisi politik”.

Kemenangan politik memberi kepemimpinan politik legitimasi untuk menjadi direktur pemberi arah sekaligus manajer pengelola prikehidupan rakyat yang dipimpinnya, tentu sesuai dengan hakikat dan tujuan bernegara. Jadi kata politik di sini melekat pada proses, sementara hukum melekat pada hasilnya. Karena proses politik untuk melahirkan kepemimpinan politik ini diatur dengan seperangkat rambu-rambu, aturan yang mengikat maka rumus normalnya adalah : proses politik melahirkan entitas hukum. Legitimasinya adalah legitimasi hukum.

Baca juga: Republik Indonesia, Negara yang Berumur Singkat

Penguasa Versus Rakyat

Jadi pemerintah itu adalah terminologi hukum. Makanya norma penulisan dalam berbagai produk aturan perundang-undangan yang lazim kita temukan adalah kata “pemerintah”, tidak pernah “penguasa”. Penguasa sendiri secara harfiah artinya adalah pemilik kekuasaan. Ia adalah terminologi politik yang sering kita temukan dalam narasi-narasi dan diskursus sosial-politik, dan sering berkonotasi negatif.

Ketika ada pemerintah yang berperilaku dan mencitrakan dirinya sebagai penguasa maka disitulah entitas hukum tadi berubah wajah menjadi entitas politik, dari “penerima mandat” menjadi “pemilik kuasa”. Ini tidak normal dan adalah bentuk deviasi, penyimpangan dari tujuan dan hakikat bernegara. Istilah ini yang dalam wujudnya adalah praktik-praktik kekuasaan yang memaksa, otomatis akan mengeliminasi rakyat sebagai pemilik kekuasaan tertinggi. Jika ini cukup dipahami, maka kritik, gugatan, dan pembangkangan rakyat terhadap penguasa jelas sama sekali bukan pembangkangan dan rongrongan terhadap konstitusi dan negara sebagaimana seringkali dimanipulasi dan diinjeksi pahamnya oleh penguasa ke dalam pikiran bawah sadar rakyat.

Bila kita konsisten pada sudut pandang hukum, maka pemerintah itu sesungguhnya adalah petugas dan pelayan rakyat. Tapi karena yang sering dominan itu adalah politik,  diperparah oleh budaya favoritisme kelas, mereka justru menjadi golongan elit yang bukan hanya berpotensi abai dengan fungsinya sebagai petugas dan pelayan, tapi juga cenderung semena-mena terhadap rakyat.

Ketika karakter penguasa ini yang justru menonjol, maka resiko seriusnya adalah aturan-aturan hukum yang dibuat tidak lagi berpijak pada kaidah-kaidah dan kepentingan penegakan hukum, melainkan motif kepentingan ekonomi-politik penguasa dengan segala kekuatan penyokongnya.

Otoritas dan kewenangan oleh penguasa akan disalahgunakan untuk memaksakan kehendaknya pada rakyat, atau elemen apapun yang dianggap oposan dan ancaman. Ia akan berupaya bahkan dengan cara yang paling busuk dan gila sekalipun untuk menciptakan stabilitas bagi pemenuhan kepentingan ekonomi-politiknya.

Dalam situasi inilah lembaga dan alat negara, terpaksa maupun sukarela, akan berpotensi berubah fungsi menjadi lembaga dan alat kekuasaan yang bekerja dibawah kendali  kepentingan penguasa pengidap sindrom Raja Louis XIV : Negara adalah saya. Alhasil, pun kepentingan negara akan berbelok menjadi kepentingan penguasa, anggaran negara akan menjadi uang penguasa, hukum negara akan menjadi hukum penguasa, lembaga negara menjadi lembaga penguasa, abdi negara akan berubah menjadi abdi penguasa, sumber daya negara akan menjadi sumber daya penguasa.

Jika situasinya sudah seperti ini, sungguh ini adalah titik tergenting dari eksistensi sebuah negara. Tidak ada pilihan lain selain rakyat harus melawan untuk menumbangkan dan menarik mandatnya dari penguasa. Pada titik inilah perlawanan rakyat terhadap penguasa zalim bukan hanya perlu tapi harus, untuk menyelamatkan negara.  

Artikel SebelumnyaSejumlah Venue PON Rusak Akibat Hujan & Angin Kencang
Artikel SelanjutnyaNovriza Raihanda, Gadis Bireuen yang Bersinar Raih Perak Wushu PON XXI

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here