Perdamaian Aceh: Antara Janji dan Kenyataan

Perdamaian Aceh: Antara Janji dan Kenyataan
Khaira Nafisa. Foto: Dok. Penulis.

Damai sejati bukan hanya soal berhentinya suara tembakan, tetapi juga soal hadirnya rasa aman dan keadilan di tengah masyarakat. Banyak yang berpikir setelah perjanjian Helsinki ditandatangani pada tahun 2005, maka masalah Aceh sudah selesai.

Padahal kenyataannya, bagi sebagian masyarakat terutama yang tinggal di wilayah pedalaman dan desa-desa terpencil, kehidupan mereka masih penuh ketidakpastian.

Mereka masih hidup dalam bayang-bayang trauma masa lalu, kehilangan anggota keluarga, dan menghadapi kesulitan ekonomi secara terus-menerus.

Kita harus jujur melihat bahwa meskipun ada kemajuan dalam aspek pembangunan fisik seperti jalan, gedung pemerintahan, dan fasilitas umum tetapi pembangunan yang menyentuh rasa keadilan dan pemulihan sosial masih tertinggal.

Banyak korban konflik yang belum mendapat pengakuan atau keadilan atas penderitaan mereka. Tidak sedikit keluarga yang kehilangan orang tercinta tanpa tahu di mana mereka dikuburkan atau bagaimana nasib mereka sebenarnya. Ini adalah luka yang tidak bisa sembuh hanya dengan proyek pembangunan atau bantuan dana.

Penting juga untuk melihat bagaimana ketimpangan masih terjadi, baik dari segi ekonomi maupun akses terhadap sumber daya. Dana Otonomi Khusus (Otsus) yang mengalir ke Aceh memang sangat besar dibanding provinsi lain.

Namun, efektivitas penggunaannya masih menjadi pertanyaan. Banyak masyarakat yang merasa bahwa dana itu hanya berputar di lingkaran elite, tidak benar-benar sampai ke rakyat Aceh. Ketika masyarakat merasa terpinggirkan dalam pembangunan, maka rasa percaya terhadap pemerintah baik lokal maupun pusat semakin menipis.

Baca juga2 Dekade Damai Aceh: Apakah Cukup dengan Senyapnya Senjata?

Salah satu kelompok yang paling terdampak oleh kondisi ini adalah generasi muda. Banyak anak muda Aceh yang cerdas dan punya potensi, tapi terbatas oleh minimnya lapangan kerja, akses pendidikan bermutu, dan ruang berekspresi. Ini sangat disayangkan, karena generasi mudalah yang seharusnya menjadi pendorong utama perubahan sosial.

Jika mereka tidak dilibatkan dan tidak diberdayakan, maka akan muncul rasa frustrasi yang lama-lama bisa berkembang menjadi bentuk-bentuk konflik baru: kekerasan, kriminalitas, atau migrasi keluar dari Aceh untuk mencari kehidupan yang lebih baik.

Di sinilah pentingnya pendidikan yang membebaskan, bukan sekadar memberikan materi pelajaran, tetapi juga menumbuhkan kesadaran kritis dan semangat partisipasi. Pendidikan tentang sejarah konflik Aceh, nilai-nilai perdamaian, dan hak asasi manusia harus menjadi bagian dari kurikulum dan kehidupan kampus. Supaya kita, sebagai generasi baru, tidak buta terhadap masa lalu dan tidak mengulang kesalahan yang sama.

Kita perlu belajar untuk melihat perbedaan sebagai kekayaan, bukan sebagai ancaman.

Sebagai mahasiswa, saya merasa bahwa suara kami sering kali dianggap belum cukup penting. Padahal, justru kami yang akan mewarisi masa depan Aceh. Kami punya energi, semangat, dan idealisme yang besar.

Tapi kami butuh ruang untuk didengar, dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, dan dipercaya sebagai mitra dalam pembangunan. Program-program pemberdayaan pemuda yang berbasis komunitas, pelatihan kewirausahaan, serta keterlibatan dalam perencanaan desa bisa menjadi langkah yang nyata untuk memberdayakan anak muda.

Selain itu, pembangunan perdamaian juga harus menyentuh aspek budaya dan spiritual. Masyarakat Aceh punya kekayaan budaya yang luar biasa, serta nilai-nilai keislaman yang kuat. Ini bisa menjadi modal sosial yang besar untuk memperkuat ikatan antarwarga, memperkuat solidaritas, dan membangun kehidupan bersama yang lebih damai.

Kita juga perlu mendorong adanya keadilan transisional yang lebih serius. Artinya, harus ada mekanisme yang benar-benar memberi ruang bagi korban untuk bersuara, untuk mendapatkan kebenaran, dan jika memungkinkan melakukan pemulihan hak. Komisi

Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh seharusnya bisa berperan besar di sini, tapi sayangnya dukungan terhadap lembaga ini masih sangat terbatas. Padahal, keberadaan KKR sangat penting agar perdamaian tidak hanya berjalan di permukaan, tapi juga menyentuh hati terdalam masyarakat yang pernah menjadi korban kekerasan.

Damai yang sejati tidak bisa dibangun dengan cara yang instan atau pendekatan formal semata. Ia butuh proses panjang, kerja keras, dan keberanian untuk menghadapi kenyataan, seburuk apa pun itu. Kita tidak bisa pura-pura damai hanya karena tidak ada lagi perang terbuka.

Kita harus berani mengakui bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang belum selesai—terutama menyangkut keadilan sosial, partisipasi masyarakat, dan pemerataan pembangunan.

Saya percaya, Aceh masih punya harapan besar. Tapi harapan itu hanya bisa terwujud kalau semua pihak mau bergerak bersama, pemerintah, masyarakat, akademisi, dan terutama generasi muda. Kita tidak boleh menyerah pada situasi. Justru kita harus terus bersuara, terus belajar, dan terus bekerja demi masa depan yang lebih baik.

Damai yang sejati bukan hanya damai di atas kertas, tapi damai yang dirasakan oleh hati dan hidup masyarakat. Semoga ke depan, Aceh bisa menjadi contoh bagaimana menyelesaikan konflik dengan cara yang manusiawi dan berkelanjutan. Karena sejatinya, perdamaian yang paling kuat adalah yang tumbuh dari keadilan, keterbukaan, dan keberanian untuk saling mendengar.

Penulis: Khaira Nafisa, Mahasiswi Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Uin Ar-Raniry Banda Aceh.

Artikel SebelumnyaNasir Tarigan dan Trio RW
Artikel SelanjutnyaMenjaga Keanekaragaman Hayati untuk Masa Depan Bumi
Redaksi
Komparatif.ID adalah situs berita yang menyajikan konten berkualitas sebagai inspirasi bagi kaum milenial Indonesia

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here