Komparatif.ID, Banda Aceh—Dengan semangat Aceh Moorden, Republik Indonesia yang baru merdeka dipertahankan. Setelah keluar akibat kalah dari Jepang, Belanda tidak pernah bisa lagi kembali ke Aceh.
Peristiwa pemboman Hiroshima dan Nagasaki oleh tentara Sekutu, menyebabkan Jepang menyerah tanpa syarat. Melalui perundingan Linggarjati, Jepang tunduk kepada Sekutu.
Peristiwa kalahnya Jepang di Perang Pasifik telah diketahui oleh kaum revolusioner Indonesia. Dengan tekad bulat, kaum muda berhasil memaksa Sukarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia tersebut merambat ke berbagai penjuru Tanah Air. Kabar tersebut diketahui oleh kaum muda di Aceh melalui radio pada 20 Agustus 1945. Kemudian Ahmad Pos dan kawan-kawan melaporkannya kepada Teuku Nyak Arief.
Baca: Aceh Menyelamatkan Indonesia yang Masih Seumur Jagung (1)
Berbekal informasi dari kaum muda tersebut, digelar pertemuan di rumah Teuku Abdullah Jeunib pada 22 Agustus. Para tokoh yang menghadiri rapat sepakat menyerahkan keputusan tentang tindakan yang akan diambil, kepada Teuku Nyak Arief.
Sebagai orang yang dituakan, dia tidak gegabah. Dia menggelar kembali rapat di Kantor Residen Aceh pada 24 Agustus. Di dalam rapat tersebut, seluruh hadirin sepakat akan memberikan dukungan terhadap proklamasi kemerdekaan Indonesia yang telah dilakukan di Jakarta.
Saat itu Teuku Nyak Arief bersumpah atas nama Allah akan setia membela kemerdekaan Indonesia hingga titik darah terakhir. Pada 29 Agustus Teuku Nyak Arief mengumumkan kabar kemerdekaan Republik secara luas kepada khalayak.
Drs. Mawardi Umar,M.Hum.,M.A, Sabtu (3/8/2024) dalam seminar “Peran Pers Dalam Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia di Aceh” yang digelar Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Provinsi Aceh, bekerjasama dengan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah I, di Grand Nanggroe Hotel, Luengbata, Banda Aceh, menjelas orang Aceh sangat mencintai Indonesia.
Setelah Indonesia diproklamirkan, Sekutu datang ke Republik, membawa serta Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Pemerintah Belanda memiliki hak kembali menguasai wilayah yang pernah dijajahnya.
Akan tetapi kembalinya Belanda disambut dengan kobaran perlawanan. Hanya saja, mesti terjadi perlawanan, Belanda yang dibantu Sekutu berhasil menguasai wilayah-wilayah yang telah dikuasai Pemerintah Republik Indonesia.
Saat itu, Aceh menjadi satu-satunya daerah yang belum dikuasai oleh Sekutu. Di timur, Sumatra Timur sudah dalam genggaman Sekutu. Di Barat, Pulau Sabang telah dikuasai kembali.
Berkat kekompakan para pemimpin Aceh, semangat anti-Belanda semakin berkobar di dalam dada rakyat Aceh.
“Saat itu kalau Aceh jatuh, maka Republik tidak ada lagi,” kata Mawardi Umar yang merupakan Ketua MSI Aceh.
Mawardi menyebutkan bahwa orang Aceh tidak takut mati bila berhadapan dengan Belanda. Sejak masa kesultanan hingga perang yang dipimpin oleh ulama dan bangsawan di tingkat lokal, yang dicari dalam tiap peperangan adalah mati syahid.
Keberaniaan orang Aceh dalam mencari mati syahid di luar logika normal Belanda. Sehingga muncullah istilah Aceh Moorden yang dapat diartikan pembunuhan Aceh.
Semangat Aceh Moorden tersebut yang menjadikan orang Aceh berani menyerang konvoi tentara Belanda, hanya dengan bermodal pisau dapur.
“Keberanian yang dimiliki orang Aceh yaitu Aceh Moorden, jarang ditemui di luar Aceh,” sebut Mawardi.
Dosen Ilmu Sejarah di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh tersebut menyebutkan meski Belanda tidak pernah bisa masuk kembali ke Aceh, tapi di dalam, revolusinya berkobar-kobar.
Di internal Aceh, pertahanan diperkuat secara maksimal. Kesatuan tentara dibentuk, laskar rakyat dilatih berperang.
Dukungan untuk ikut serta mempertahankan Republik Indonesia, semakin berapi-api setelah maklumat para ulama yang mendukung penuh perang mempertahankan Republik.
Untuk menghalau Belanda masuk ke Aceh, pemimpin Aceh, termasuk para ulama sepakat menghalau Belanda langsung di Sumatra Timur.
Pemimpin Aceh membentuk jaringan front Medan Area.
Kutaraja sebagai pusat komando seluruh perjuangan di bawah kendali Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo Teungku Daud Beureueh.
Bireuen dipilih sebagai pusat komando. Markas Panglima Komando Divisi X Sumatra yang dipimpin Husen Yusuf dibuka di Bireuen. Di Juli dibuka pusat pelatihan tentara yang dipersiapkan menuju Medan Area.
Langsa dijadikan pusat koordinasi dan perbekalan persenjataan untuk pertempuran Medan Area.
Binjai, menjadi front operasional di bawah kendali Resimen Istimewa Medan Area (RIMA).
Serta Aceh Tram—Kereta Api Aceh—yang menjadi transportasi paling penting dalam perjuangan tersebut.
Selain semangat Aceh Moorden—keberanian menjemput mati syahid—yang ada di dalam setiap jiwa orang Aceh kala itu. Perjuangan mempertahankan Indonesia juga tidak lepas dari peran wartawan yang bekerja di Aceh.
Jenderal Van Mook yang menebar propaganda bahwa Indonesia telah jatuh, dilawan oleh para wartawan Aceh melalui berbagai ruang. Baik menggunakan radio maupun koran.
Propaganda Belanda yang disebarkan melalui koran Algemeen Nieuws- en Telegraaf- Agentschap (Aneta) dilawan oleh wartawan Aceh (pers Aceh) melalui koran Semangat Merdeka yang didirikan oleh mantan wartawan Atjeh Shimbun. Aceh Moorden pun menjalari para wartawan yang turut turun bertempur di medan laga.