Satwa Endemik Beo Simeulue Terancam Punah

Burung Beo Endemik Simeulue Terancam Punah Beo Simeulue (Gracula Religiosa Miotera). Foto: Aceh Indie Foto.
Beo Simeulue (Gracula Religiosa Miotera). Foto: Aceh Indie Foto.

Komparatif.ID, Sinabang— Satwa liar endemik yang dilindungi jenis burung Beo Simeulue, (Gracula Religiosa Miotera) atau dalam bahasa lokalnya disebut Manok-manok Tiung atau Tiong kini di ambang kepunahan.

Kehadiran satwa endemik itu yang kini terasa semakin langka di alam liar Pulau Simeulue akibat perburuan untuk dijual di pasar gelap. Pada laporan BirdLife Internasional yang terbit tahun 2016, populasi total yang tersisa tidak pasti berkisar hanya antara 5.000 hingga 47.000 burung.

Dalam laporan yang sama, burung beo Simeulue diklasifikasikan sebagai terancam akibat hilangnya habitat akibat pertambangan, pertanian serta perburuan. Padahal Beo Simeulue merupakan satu-satunya spesies burung beo di Indonesia yang tidak dilindungi Undang-Undang.

Kejeniusan burung Beo Simeulue menirukan suara manusia ternyata tak mampu menyelamatkannya dari ancaman punah. Ironisnya, kecerdasan tersebut malah menjadikannya target empuk bagi para pemburu yang mengincar keuntungan finansial dari perdagangan ilegal satwa dilindungi.

Baca juga: Krisis Deforestasi di Abdya, WALHI Desak Penegakan Hukum Tegas

Ketua Yayasan Ecosystem Impact Irda Kusuma, S.T mengungkapkan kekhawatirannya atas nasib burung Beo Simeulue. Menurutnya, keberadaan burung ini semakin sulit ditemukan di hutan Simeulue, dengan risiko kepunahan yang semakin nyata.

“Ini sangat mengkhawatirkan dan bila tidak segera dilakukan tindakan serius, maka tidak tertutup kemungkinan nantinya burung Beo Simeulue hanya tinggal nama, atau kasarnya bakal punah dari muka bumi,” ungkap Irda, Senin (10/6/2024).

Meskipun aturan perlindungan baik di tingkat internasional maupun nasional sudah ada, namun praktik perburuan masih berlangsung akibat minimnya pengawasan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga ekosistem alam.

Irda menjelaskan pemerintah daerah melalui Peraturan Bupati Simeulue Nomor 10 Tahun 2005, telah mengeluarkan aturan perlindungan dan pelestarian satwa burung di wilayah tersebut.

Namun menurutnya upaya ini dinilai masih perlu ditingkatkan melalui sosialisasi dan edukasi yang lebih intensif kepada masyarakat, serta mendesak penegakan hukum yang lebih tegas terhadap pelaku perburuan.

“Ketika kita pergi ke kebun yang berdekatan dengan hutan sudah tidak terdengar lagi (kicauan burung). Ini disebabkan masih tingginya minat atas penguasaan burung Beo Simeulue, baik itu dalam daerah maupun luar daerah, sehingga nyaris 24 jam satwa dilindungi ini jadi incaran,” lanjutnya.

Sementara itu, Kepala Bidang Penataan dan Pengelolaan Taman Hutan Raya Kabupaten Simeulue Edi Sarbihan menyebut jejak burung Beo Simeulue di kawasan Konservasi Taman Hutan Raya telah tidak terdeteksi lagi. Kehilangan ini menurutnya menjadi alarm bahwa Simeulue gagal memberikan perlindungan yang cukup bagi satwa-satwa langka yang menjadi asetnya.

“Dari data spesies endemik burung yang hidup berkembang biak yang ada di kawasan Tahura, tidak ditemukan endemik burung jenis beo Simeulue. Kita juga tidak tahu kenapa tidak ada. Namun kita berharap aset yang berharga itu jangan nanti (hanya) tinggal nama,” pungkasnya.

Artikel SebelumnyaKetersediaan Hewan Kurban di Aceh Aman
Artikel SelanjutnyaSiap-Siap! Super Air Jet Buka Rute Langsung Banda Aceh-Jakarta

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here