Bila menyebut nama Muhammad Amin, BA, banyak orang tidak mengenalnya. Tapi bila mengatakan nama MA Jangka, maka hampir semua orang berusia 35 tahun ke atas di Peusangan, minimal pernah mendengar namanya.
MA Jangka, birokrat kelas menengah di Aceh Utara, merupakan sosok legendaris di Peusangan era 80-an hingga 90-an. Kini namanya ditabalkan di salah satu gedung di Kampus Selatan Universitas Almuslim. Mengapa namanya disemat di kampus tersebut? Karena MA Jangka merupakan inisiator utama pendirian sekolah tinggi di Peusangan, Ketika ia masih menjadi camat di Negeri Ampon Chiek.
Pria lulusan Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) tersebut lahir pada 6 Mei 1944 di Gampong Jangka Alue, Nanggroe Peusangan. Masa kecilnya dihabiskan di daerah tersebut, sehingga idealism para pendiri Jamiah Almuslim terpatri kuat dalam dadanya.
Baca juga: Umuslim Peringati Ulang Tahun ke -20
Setelah melanglang buana dari satu jabatan ke jabatan lainnya, MA Jangka ditugaskan sebagai Camat Kecamatan Jeunib pada tahun 1983-1987. Kemudian Bupati Aceh Utara Mohd. Ali Basyah menugaskan MA ke kampung halamannya; Peusangan. Dia bertugas di sana cukup lama, hingga 1995. Meski Mohd. Ali Basyah telah digantikan oleh H. Ramli Ridwan sejak 1988, tapi posisi MA Jangka sebagai Camat Peusangan tak tergoyahkan.
Muhammad Amin baru ditarik ke Lhokseumawe pada masa Karimuddin Hasyibullah menjadi Bupati Aceh Utara pada periode 1993-1998. Di Kantor Bupati, Muhammad Amin diberikan jabatan Kepala Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7). Juga pernah menjadi Kabag Isra Kabupaten Aceh Utara.
Ketika bertugas sebagai Camat Peusangan, MA Jangka mulai memikirkan kembali cita-cita lama yang pernah menjadi impian beberapa orang intelektual. Tekadnya semakin kuat setelah memperhatikan terlalu banyak generasi muda Peusangan yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, karena berbagai faktor. Kemiskinan, jauhnya jarak Kota Banda Aceh, serta tak juga mampu berkuliah ke Medan, Sumatera Utara.
Cita-cita itu semakin membesar setelah digelarnya Musyawarah Besar Almuslim pada November 1979. Ada harapan dari para tokoh supaya di Peusangan didirikan sebuah perguruan tinggi. Pun demikian banyak juga yang mengejek. Di warung-warung kopi, mereka membahas bahwa impian mendirikan perguruan tinggi di kampung seperti Matangglumpangdua, merupakan khayalan semata. But cet buleuen ngon puteng sadeup.
1984 tekad itu sudah mantap untuk dieksekusi. MA Jangka yang kala itu sebagai Ketua Yayasan Almuslim, bersama Ilyas Daoed, Lc, H. Djakfar Yusuf,Lc, Teungku Kasem Sulaiman, Drs. Amiruddin Idris, serta beberapa orang lainnya mulai merintis pendirian sebuah sekolah tinggi.
Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Almuslim merupakan buah karya mereka yang pertama di Almuslim, serta sekolah tinggi pertama di kawasan barat Aceh Utara.
Dr. Amiruddin Idris dalam sebuah kesempatan menyeruput kopi dengan penulis, mengatakan setelah STIT Almuslim berdiri, ternyata tidak ada anak muda yang mau mendaftarkan diri sebagai mahasiswa. Mereka tidak percaya STIT Almuslim karena didirikan di Matangglumpangdua. Jangankan anak orang kaya, lulusan SMA yang berasal dari keluarga miskin saja enggan mendaftarkan diri.
Bukan MA Jangka namanya bila kehabisan akal dan menyerah. Sebagai Camat Peusangan dia segera menerbitkan instruksi: seluruh keuchik di Peusangan wajib kuliah dan tempat kuliahnya di STIT Almuslim. Perintah itu membuat seluruh keuchik terkaget-kaget. Tapi siapa yang berani menolak perintah MA. Jangka?
Sejumlah anak muda potensial yang sudah bekerja ditemuinya, baik secara langsung maupun melalui surat yang dikirimkan oleh kurir. MA meminta mereka bergabung ke dalam STIT Almuslim sebagai mahasiswa.
Salah seorang yang akhirnya ikut mendaftarkan dirinya sebagai mahasiswa adalah Ridwan Idris, yang kala itu sudah hidup bonafit sebagai bos agen asuransi di kawasan itu.
“Pak MA mengirimkan sepucuk surat melalui seorang kurir yang sama-sama kami kenal. Pak MA berpesan supaya saya menyerahkan ijazah agar dapat didaftarkan sebagai calon mahasiswa,” kata politisi PPP yang juga anggota DPR RI.
Dengan segala pengaruh yang ia miliki MA Jangka terus berusaha memajukan Almuslim. Dari hari ke hari Almuslim kian bertumbuh. Selang dua tahun sebelum Universitas Almuslim berdiri, pada 28 Juni 2001, sang Camat pamit dari kehidupan dunia yang fana ini.
setelah ia pulang ke alam barzah, sejumlah sekolah tinggi di dalam lingkungan Perguruan Tinggi Almuslim kala itu bersepakat bergabung menjadi universitas. Maka pada 15 Januari 2003 berdirilah Universitas Almuslim. Saat itu Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah memilih berdiri sendiri, dan kini telah menjadi Institut Agama Islam (IAI) Almuslim Peusangan, Aceh.
MA Jangka Tegas dan Merakyat
Abdullah (70), punya kenangan khusus terhadap MA Jangka. Awal perkenalan mereka Ketika terjadinya konflik batas antara Jeumpa dan Peusangan. Tepatnya di Gampong Cot Gapu dan Sagoe. MA Jangka hadir untuk menyelesaikan perkara tersebut. H. Abdullah—lebih dikenal dengan panggilan Teungku Dolah Tu Min—hadir sebagai pihak yang pro pada Cot Gapu.
Namun konflik batas tersebut selesai dengan cara sangat baik. Berkat kemampuan komunikasi MA Jangka, semua pihak merasa puas. Ketika sang Camat menanamkan batas, tak ada lagi yang protes. Sejak peristiwa itu, MA dan Teungku Dolah menjadi akrab dan sering bersama-sama.
Pejabat Orde Baru dikenal hidup parlente, dan suka pesta. Demikianlah citra secara umum. Tapi itu tidak ada pada MA Jangka. Sebagai pejabat penting di tingkat kabupaten, ia hidup sederhana. Bahkan ia birokrat kelas menengah yang religius. Dekat dengan masjid dan menjadi bagian dari Masjid Besar Peusangan.
Sebagai camat yang memimpin wilayah luas, MA Jangka tak pernah mengeluh. Dia menjalankan tugasnya dengan sangat baik. Dia pejabat yang tegas, tapi sangat peduli pada kondisi sosial. Baginya aturan tetap aturan, tapi bila ada masalah harus ditemukan solusi dan wajib diselesaikan.
“Usai salat Subuh, Pak MA seringkali langsung berkeliling. Melihat-lihat suasana Peusangan yang menjadi tanggung jawabnya,” kenang Teungku Abdullah, Senin (23/1/2023) Ketika dijumpai di Rumoh Tuha Roastery, Kota Bireuen.
Kutu Buku dan Ayah yang Disiplin
Buku dan ilmuan Islam merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Di dalam peradaban Islam setidaknya ada empat intelektual muslim yang sangat gemar membaca. seperti Ibnu Rusyd yang lahir di Cordova pada 1126 Masehi. Saking hebatnya sang intelektual, ia menguasai secara utuh filsafat Aristoteles.
Selain Ibnu Rusyd, juga terdapat nama Imam Al-Ghazali, Ibnu Jarit At-Thabari, dan Imam Nawawi. Para cendekiawan tersebut selain berguru kepada banyak ulama, juga sangat gemar membaca berbagai buku (kitab) yang berkaitan dengan konsentrasinya.
Meskipun tidak begitu sama dan dalam ranah yang berbeda, MA Jangka juga punya kegemaran yang sama. Ia seorang kutu buku.
M. Jafar memberikan keterangan bila MA Jangka sering membaca dan membeli buku di toko miliknya Teungku Puteh yang diberi nama Pustaka Ilmu. Toko tersebut berhadap-hadapan dengan Toko Florida yang melayani jasa penyablonan yang dikelola oleh Zulkifli. Kedua toko tersebut berada di Jalan Jangka, Gampong Meunasah Timu, Peusangan. Camat MA bergaul akrab dengan Zulkifli.
Di rumahnya di Jalan Jangka, Nomor 156, Matangglumpangdua, terdapat banyak buku baca yang menarik. Mulai dari buku agama hingga yang bertema umum. MA Jangka terlihat jelas merawat daya intelektualitasnya dengan membaca.
Di rumahnya juga tersedia satu ruangan khusus untuk salat. MA Jangka pada waktu-waktu tertentu salat berjamaah dengan keluarganya di rumah; sebagai upaya edukasi betapa pentingnya salat. Dia juga sering berjamaah ke Masjid Besar Peusangan sembari membawa anak-anaknya yang laki-laki, salah satunya Aulia Sofyan, yang kini telah menjadi salah satu birokrat penting di ibukota Indonesia; Jakarta.
Menurut cerita Zaki—anak bungsu MA Jangka, di rumah MA tetap tidak mengendorkan kedisiplinan. Apa pun yang disuruh harus dikerjakan. Apa yang diminta wajib dilaksanakan. Dia jarang bercanda dengan anak-anaknya.
Jarang bercanda bukan bermakna dia tidak dekat dengan anak-anaknya yang berjumlah tujuh orang. Muhammad Amin tetaplah sosok ayah yang dikagumi. Setiap habis Magrib, dia mengajari anak-anaknya mengaji Quran, belajar fiqh, serta berpetuah melalui pidato-pidato.
Mengasuh anak merupakan rutinitasnya setelah Magrib. Bila ada tamu yang datang, harus menunggu Muhammad Amin menyelesaikan tugasnya sebagai seorang ayah. Pun demikian, meski sangat tegas, tapi tak sekalipun dia memarahi anak-anaknya.
Suatu Ketika Zaki lulus sekolah di SMA 3 Banda Aceh. Dia tidak kerasan jauh dari rumah. Pria kelahiran 1982 merengek ke uminya; Djasmi Ismail. Minggu pertama helmi langsung menelepon ibunya, merengek minta dipulangkan ke Bireuen.
Mendengar rengekan sang putra bungsu hati Djasmi Ismail luluh. Tapi Muhammad Amin meminta waktu berbicara dengan aneuk tulot-nya.
“Zaki mau pindah lagi ke Bireuen? Boleh. Tapi ada permintaan ayah, coba bertahan dulu satu bulan di Banda Aceh. Nanti kalau memang tetap tak kerasan, boleh ayah pindahkan lagi ke Bireuen, terserah Helmi mau pilih sekolah yang mana,” bujuk MA tetap dengan gaya khasnya; berwibawa.
Dengan persaaan girang Zaki menyanggupi permintaan ayahnya. Satu bulan lagi pasti akan Kembali ke Bireuen. Ternyata, memasuki minggu kedua, dia sudah kerasan di SMA 3. Minggu ketiga bertambah nyaman. Tiba satu bulan, dia berketetapan hati tidak mau lagi pulang ke Bireuen.
Ketika MA Jangka mengingatkan bahwa komitmen mereka telah jatuh tempo, Zaki dengan gembira mengatakan akan bertahan di Banda Aceh.
“Bagi saya ayah sosok yang menginspirasi. Setelah menjadi ayah, sekarang saya baru memahami betapa pentingnya sosok ayah memiliki integritas di hadapan anak-anaknya. Banyak yang dapat saya pelajari dari almarhum,” sebut Zaki mengenang sang Camat legendaris di Peusangan.
Catatan redaksi: Tulisan ini telah mengalami penyuntingan, berbekal tambahan informasi dari beberapa narasumber.