Komparatif.ID,Lhokseumawe—Korban pembantaian Simpang KKA dan keluarganya yang bergabung dalam Forum Komunikasi Korban dan Keluarga Korban Tragedi Sp. KKA (FK3T-SP.KKA) menolak Keputusan Presiden (Keppres) No.17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu, yang ditandatangani dan diterbitkan Presiden Joko Widodo pada 26 Agustus 2022.
Juru Bicara KT3T-SP.KKA Safri Ilyas, dalam siaran persnya, Selasa (15/11/2022) menyebutkan Keppres tersebut terindikasi melanggengkan impunitas dan upaya cuci tangan Negara. Seharusnya, Pelanggaran HAM Berat seperti pembantaian warga sipil oleh militer di Simpang KKA, Aceh Utara, diselesaikan melalui Pengadilan HAM Ad Hoc. Di pengadilan nanti akan terbuka siapa yang menjadi korban dan siapa yang melakukan kejahatan kemanusiaan serta tindakan Pelanggaran HAM.
Baca juga: Infografis: Operasi Militer di Aceh untuk Memberantas GAM
”Kami menilai bahwa Keppres ini tidak tepat dan tidak berkenan di hati. Maka dari itu, kami berharap Pengadilan HAM tetap harus diutamakan. Andai pun Pemerintah ingin melakukan reparasi (pemulihan) terhadap korban dan keluarga korban silakan saja, tetapi tidak harus direalisasikan melalui Keppres No.17 Tahun 2022. Beleid tersebut bagi kami bertentangan dengan prinsip negara hukum. Apabila melalui jalur hukum maka penyelesaiannya harus melalui jalur pengadilan,” ujar Safri Ilyas.
Keberatan organisasi tersebut karena jalur non-yudisial berada di luar hukum yang mengikat dan berkeadilan. Apabila diterima, mereka takut akan dikhianati serta khawatir Pemerintah tidak berniat menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Aceh melalui Pengadilan HAM Ad Hoc.
Menurut Safri, keputusannya melalui Keppres itu bukan keputusan majelis hakim, tetapi menjadi keputusan politik. Itu akan sangat subjektif. Parameter dalam menentukan siapa yang menjadi korban tidak jelas. Keppres No.17 Tahun 2022 hanya membicarakan soal korban, sementara pelakunya tidak disinggung,” sebut Murtala, seorang aktivis cum korban tragedi Simpang KKA.
Lebih lanjut Murtala mengatakan, Keppres Nomor 17 Tahun 2022 berpotensi menguburkan fakta pelanggaran HAM berat masa lalu yang notabenenya telah ditetapkan oleh Komnas HAM, namun prosesnya tersendat di Kejaksaan Agung dengan bermacam dalih dan alasan sehingga tidak ditindaklanjuti ke pengadilan HAM.
Oleh karena itu, FK3T-SP. KKA mendesak Presiden Joko Widodo memerintahkan Jaksa Agung agar segera menindaklanjuti hasil penyelidikan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang telah dilakukan oleh Komnas HAM.
Tragedi Simpang KKA, juga dikenal dengan nama Insiden Dewantara atau Tragedi Krueng Geukueh, adalah sebuah peristiwa yang berlangsung saat konflik Aceh pada tanggal 3 Mei 1999 di Kecamatan Dewantara, Aceh. Saat itu, pasukan militer Indonesia menembaki kerumunan warga yang sedang berunjuk rasa memprotes insiden penganiayaan warga yang terjadi pada tanggal 30 April di Cot Murong, Lhokseumawe.
Simpang KKA adalah sebuah persimpangan jalan dekat pabrik PT Kertas Kraft Aceh di Kecamatan Dewantara, Aceh Utara. Insiden ini terus diperingati masyarakat setempat setiap tahunnya.Sampai sekarang belum ada pelaku yang ditangkap dan diadili atas peristiwa ini.
Koalisi NGO HAM Aceh mencatat sedikitnya 46 warga sipil tewas, 156 mengalami luka tembak, dan 10 orang hilang dalam peristiwa itu. Tujuh dari korban tewas adalah anak-anak.Sebuah monumen didirikan di tempat penembakan Simpang KKA, desa Cot Murong, Lhokseumawe.
Wiranto, Menteri Pertahanan sekaligus Kepala Angkatan Bersenjata, mengatakan di sebuah stasiun televisi swasta bahwa, “Tidak logis jika aparat negara menindas rakyat Aceh karena mereka dikirim ke sana untuk melindungi rakyat.” Pihak militer yang terlibat dalam penembakan ini mengklaim menggunakan peluru karet sebagai bentuk pertahanan diri karena warga melempari markas Koramil dengan batu. Meski begitu, sejumlah dokter di rumah sakit mengaku menemukan peluru timah di 38 jenazah dan 115 korban luka. Walaupun banyak bukti empiris, Wiranto mengumumkan bahwa tentara PPRM akan dikerahkan ke Aceh untuk menangkap para “provokator” misterius yang bertanggung jawab atas pembantaian Dewantara.
Tahun 2000, telah dilakukan penyelidikan dan pengkajian oleh Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh yang dibentuk melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 88/1999. Dalam laporannya, komisi independen ini menyebutkan sebanyak 39 warga sipil tewas (termasuk seorang anak berusia 7 tahun), 156 sipil mengalami luka tembak, dan sekitar 10 warga sipil dinyatakan hilang.
Sampai saat ini korban dan keluarga korban menanti keadilan dari Pemerintah, termasuk penetapan pelaku pembantaian terhadap manusia Aceh pada peristiwa tersebut.
Sebagian data dikutip dari Wikipedia tentang Tragedi Simpang KKA.