Jika kita harus melihat perkembangan demokrasi Indonesia, maka tolok ukurnya adalah pascareformasi. Pun demikian untuk melihat laju demokrasi dan pembangunan Aceh, tolak ukur yang digunakan selalu pascakonflik dan tsunami, karena dua peristiwa sekaligus tragedi ini menjadi acuan utama melihat derap langkah masa depan Aceh. Di manapun, dan kapanpun ditanya spasi waktu untuk mengukur keadaan Aceh, orang akan selalu memulai dengan pertanyaan apakah setelah konflik/tsunami, atau sebelum konflik/tsunami.
Tiga bulan lalu, baliho bakal calon Gubernur Aceh bertebaran dengan wajah yang agak lumayan ramai, tapi selanjutnya perlahan tapi pasti mengerucut pada dua kandidat. Tidak lebih, dan tidak kurang. Tidak ada pilihan lain dalam pemilihan gubernur di Aceh kali ini, hanya ada dua pasangan calon yang harus dipilih oleh rakyat.
Kehadiran keduanya menguras energi dan perdebatan; orang Aceh harus berpihak dan memilih siapa. Debat saling caci juga kerap terjadi antarpendukung di media sosial. Sindir menyindir sudah menjadi tema perbincangan di kedai kopi. Di era postruth, segala kesalahan yang dilakukan calon gubernur dapat dibenarkan dengan berbagai narasi. Tak ada kesalahan apalagi kesilapan, yang ada kebenaran membela calon didukung.
Baca: Tu Sop Seorang Wali Allah
Hiruk pikuk demokrasi di sinj sebenarnya telah dimulai sejak KIP menetapkan dua pasangan calon, hingga formalisasi ujian membaca kitab suci. Dalam gambaran narasi sosial, pertarungan kali ini adalah pertarungan kubu Islamisme, nasionalis dan nasionalisme keacehan.
Muzakkir Manaf yang sering dipanggil “Mualem” tampil dengan etno-nasionalisme keacehan. Warisan sebagai panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) masih berjejak dan berkesan bagi banyak pendukungnya. Apalagi, ia didampingi oleh Fadhlullah yang disapa Dek Fadh, representasi dari tokoh sentral pejuang GAM, dan pernah menjabat panglima operasi. Artinya, dua kekuatan utama eks kombatan dihadirkan pada pertarungan pilkada kali ini, setelah dua puluh tahun damai Aceh. Tampaknya, figur publik dalam arena politik dari Partai Aceh setelah dua dekade memang mengalami penyusutan.
Menyusut dan meredupnya agensi eks kombatan seiring melejitnya pamor dan kekuatan kelompok pelajar dayah dan aktor nasionalis. Islam sebagai identitas orang Aceh tidak terlalu sulit mendorong kemunculan figur agama. Hadirnya Bustami Hamzah, birokrat dengan identitas nasionalis, menjadikan sebagian masyarakat yang kurang senang pada etnonasinalisme keacehan punya pilihan lain. Pada saat bersamaan, sebagai lawan tanding Mualem, “Om Bus” sapaan popular Bustami Hamzah menggandeng Teungku H. Muhammad Yusuf A. Wahab atau Tu Sop, tokoh dari kelompok pelajar islamis penting dan berpengaruh di Aceh.
Secara identitas, harus diakui, rakyat Aceh sangat terpesona pada ajaran dan identitas tunggal keislaman yang mereka miliki. Apapun yang dipandang mengangkangi entitas Islam dapat dibabat dan ditolak, alasan paling sering digunakan adalah tidak sesuai dengan Syariat Islam. Tampilnya dayah di panggung politik yang beramalgamasi dengan aktor nasionalis sekaligus sebagai seteru kelompok Partai Aceh menunjukkan daya demokrasi di Serambi Mekkah masih berjalan baik.
Takdi berkata lain, Tu Sop sebagai pendamping Bustami harus pergi untuk selamanya. Sosok sentral dan kharisma seperti Tu Sop yang dilihat sebagai guru dan mungkin politisi dari kalangan tradisional sulit dicari pengganti. Pasca wafatnya Tu Sop yang menjadi tokoh sentral di kalangan ulama dayah ini, kelompok islamis tradisional dan partai pengusung tampak gelisah. Meskipun, tidak lama kemudian, Fadhil Rahmi diberi ruang untuk “melanjutkan” cita-cita Tu Sop.
Fadhil Rahmi seorang pembelajar dari kalangan Islam modernis. Namun, kelompok pengusung tak kehilangan daya agitasi. “Keaswajaan” Fadhil Rahmi ditegaskan dan dikampanyekan oleh salah seorang pendiri Partai PAS, partai lokal yang berafiliasi pada identitas aswaja dan Teungku Dayah. Penegasan ini penting, mengingat kekuatan yang dimiliki pembelajar dayah hari ini dalam dinamika politik Aceh.
Kehadiran dua pasangan calon ini dengan boncengan identitas yang cukup variatif dan berimbang, menempatkan rakyat pada persimpangan. Di beberapa titik perbatasan Aceh, saat pengamatan dilakukan, sebagian penduduk non etnis Aceh bingung, jika memilih Mualem mereka khawatir dengan kemampuan komunikasinya. Meskipun, diakui publik ia memiliki garis diplomasi baik dengan presiden terpilih Prabowo.
Di sisi lain, keinginan kelompok nasionalis dan kaum pelajar Islam di Aceh untuk dapat mewarnai kekuasaan di Aceh juga kian dibusungkan. Di atas panggung politik, aktor politik dari kalangan pelajar Islam tradisional ingin menunjukkan militansi mereka sebagai kelompok yang patut diperhitungkan mengisi ruang kekosongan Aceh. Namun, secara kualitatif, pilihan masyarakat di akar rumput masih samar-samar.
Kedua calon gubernur memiliki perbedaan yang cukup kompleks dalam soal ide dan identitas yang mereka usung. Bagaimana wajah negeri ini ke depan jika dipimpin oleh salah satu calon yang menang sudah dapat diprediksi. Ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan secara teknokratik dan nilai Islam sesungguhnya, bukan Islam birokrasi apalagi sontoloyo (meminjam istilah Soekarno). Kran demokrasi telah dibuka, rakyat Aceh sudah duapuluh tahun hidup tanpa perang, jiwa sudah lebih kuat dalam menantang dan membangun kembali peradaban Serambi Mekkah.
Sebagai penutup tulisan singkat ini, dalam buku Mati Ketawa Cara Rusia kita disuguhi anekdot politik dan politisi di laman awal, apa perbedaan antara nasib buruk dan bencana? Besar bedanya, seekor kambing meniti jembatan, terpeleset, lalu jatuh ke sungai; itu nasib buruk. Tapi, jika sebuah pesawat terbang yang membawa semua pemimpin Soviet jatuh, dan penumpangnya semua mati, itu bencana.
Pilkada 2024 perlu dipahami mendalam, rakyat Serambi Mekkah tidak boleh berada di persimpangan. Edukasi politik memilih pemimpin yang tepat diperlukan, wajah negeri ini harus lebih baik, jangan sampai terseret pada nasib buruk atau jatuh dalam bencana bagi masa depan negeri seribu satu kedai kopi ini.