Komparatif.ID, Banda Aceh-Intitusi Mukim di Aceh saat ini Cuma sekadar maop. Hal ini disampaikan oleh Dr. Adli Abdullah, yang saat ini merupakan Tenaga Ahli Menteri ATR/BPN RI.
Pada acara studium general dengan tema “Di Mana Posisi Hukum Adat dan masyarakat Hukum Adat di Indonesia” yang digelar di Ruang Teater UIN Ar-Raniry, Rabu (5/10/2022) oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh, Adli Abdullah menyebutkan di Aceh, posisi adat dan hukum masyarakat adat cenderung hidup secara simbolik dan formal.
Adli mengajak, sudah seharusnya adat Aceh jangan hanya bicara simbol dan formal. Karena saat ini hak ulayat di Aceh nyaris hilang. Contoh lain misalnya institusi Mukim hanya menjadi simbol, bukan lagi penguasa adat. Ini harus dipikirkan supaya adat Aceh tidak abstrak menjadi maop.
Baca juga: UIN Ar-Raniry Bedah Fenomena Hacker Bjorka
Dalam paparannya, Adli Abdullah memaparkan bahwa posisi hukum adat dan masyarakat hukum adat di Indonesia telah diakui dalam sistem hukum ketatanegaraan Indonesia.
“Keberadaan hukum adat sebagai wujud dari pluralisme hukum yang berlaku di Indonesia. Posisi hukum adat dan hukum formil memiliki daya pengikat yang sama. Tetapi berbeda dalam bentuk dan aspeknya operasionalnya,” ujar M Adli Abdullah, yang juga Dosen FH USK.
Menurut Adli, pengakuan terhadap masyarakat hukum adat sebagi subjek hukum perlu diatur dalam penatausahaannya, khusus yang berhubungan dengan kepentingan publik.
Adli Abdullah: Menteri ART/BPN Beri Pelayanan Terbaik
Begitu juga dengan persoalan tanah adat, Kementerian ATR/BPN terus memberikan pelayanan terbaik proses penataan tanah-tanah adat di seluruh Indonesia. Termasuk tanah adat di Aceh.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Hadi Tjahjanto, terus menata tanah adat di Indonesia dan memastikan aman dari mafia tanah,
Menteri ATR/ATR sangat serius dalam memerangi mafia tanah. Mafia tanah adalah suatu kejahatan extraordinary yang terorganisir dengan baik, rapi dan sistematis.
Untuk pencegahannya, menurut Adli, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) terus berupaya mendaftarkan seluruh tanah di Indonesia termasuk tanah ulayat untuk melindungi hak-hak masyarakat adat. Pasalnya, pengakuan hak-hak masyarakat adat berguna untuk mengurangi konflik agraria.
Dalam menghasilkan peta desa lengkap, selama ini, tanah ulayat seringkali tertinggal. Kementerian ATR/BPN mencoba menandai tanah ulayat itu dengan Nomor Identifikasi Bidang Sementara (NIS).
“Kalau yang sudah terukur dan itu kemudian sudah memenuhi persyaratan pengukuran kadastral kita kasih NIB (Nomor Identifikasi Bidang). Tapi kalau NIS yang diharapkan nanti bisa ditindaklanjuti program pendaftaran tanah selanjutnya,” lanjutnya.
Tindak lanjut dari persoalan tersebut dapat mengacu pada Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 18 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat ataupun Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 18 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah.
“Ini yang perlu kita kondisikan saat ini. Ini yang kami sampaikan setidaknya menjadi hal yang perlu kita rembuk bersama untuk bisa mendorong semua pemangku kepentingan, secara aktif untuk bisa menguatkan program pendaftaran tanah khususnya untuk tanah-tanah ulayat di Indonesia,” tutup Adli Abdullah.
Acara studium general dibuka oleh Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Dr. Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, dengan pembicara kunci Dr M Adli Abdullah, Tenaga Ahli Menteri ATR/BPN Republik Indonesia.
Kegiatan studium general dihadiri oleh mahasiswa dan dosen dari UIN Ar-Raniry, juga hadir perwakilan dosen Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Universitas Bina Bangsa Getsempena, dan juga dihadiri Dr. Teuku Muttaqin (Ketua MKDU) USK dan Mukhlisuddin Ilyas (Ketua FKPT Aceh).