Menurut sahibul hikayat, pada era 1980-an, Din (40) lajang senior di kampungnya tiba-tiba meracau tak menentu di halaman meunasah jelang Magrib.
Din menuduh Teungku Ramli menjual minuman keras. Dia mengaku pernah melihatnya kala ia pergi ke kota.
Teungku Ramli, imam senior di kampung, memang memiliki gerobak–kios beroda– di trotoar alun-alun Kota Bireuen. Sehari-hari ia menjual rokok, air mineral, dan penganan ringan pada sebuah kios di kota.
Baca: Dulah Menikahi Kuntilanak
Belasan warga yang sedang menanti salat Magrib terkejut. Serentak melihat ke arah Teungku Ramli.
Teungku Ramli terkejut. Spontan dia bangkit dari tempat duduknya.
“Apa kau cakap tu, Din?” tanya Teungku Ramli.
“Jangan sok suci, Teungku. Aku tahu rahasia kamu. Di Kota Bireuen kamu kan jualan minuman keras.” kata lajang senior itu dengan wajah serius. Ia terkekeh sembari menjulurkan telunjuknya ke arah Teungku Ramli.
“Astagfirullah. Mana mungkin aku menjual air neraka itu. Kamu jangan asal bicara. Fitnah lebih kejam dari pembunuhan.”
“Halah! Sok suci lo, Teungku. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Kau jejer minuman jahannam itu di rak kiosmu. Tak usah kau berkilah. Apakah mataku buta warna? Tutup botol minuman jahannam itu warna biru. Di botolnya bergambar gunung, dan rasanya tidak enak,” ketus Din.
“Lha? Dari mana kau tahu rasanya tidak enak?” Celetuk Raman Katibin, marbot meunasah yang sudah enam tahun pisah dengan istrinya.
“Aku sudah meminumnya. Tahu kau, Man? Selain menjual air neraka, ternyata Teungku Ramli juga seorang penipu. Habis dua botol kuteguk minuman jahannam itu, tapi aku tak kunjung mabuk.” Katanya dengan wajah tak ditekuk.
“Kau beli minuman itu? Teungku Din menjualnya kepadamu? ” celetuk Lah, yang berdiri di pintu meunasah.
“Aku mencurinya saat Teungku ke belakang buang air,” jawabnya.
Tiba- tiba Teungku Ramli seperti tersadar dari sesuatu. Dia berbisik kepada Raman.
“Sepertinya aku menyadari sesuatu, Man.”
“Apa itu, Teungku?”
“Yang dia maksud minuman keras itu, air aqua. Empat hari lalu dia singgah ke kiosku. ”
“Apa itu aqua, Teungku?”
“Air putih yang dijual dalam kemasan botol. Di kota sudah banyak dijual di toko dan kios.”
“Ooo, bakbudik geuh.”
Teungku Ramli dan Raman Katibin tersenyum serentak.
Saat lajang senior itu hendak melanjutkan kalimat serangannya, tiba-tiba tiga pemuda tanggung datang ke meunasah.
“Teungku, Bang Raman, Bang Lah, dan mandum ureueng droeneuh, neudrop siat Bang Din. Gobnyan buno cot uroe geupajôh boh trueng pungoe. Nyan teungoh sedeng geuh,” seru Munzir.
Calon jamaah Salat Magrib pun terkejut.
“Pantas dia ngomong tak jelas,” seru Raman Katibin sembari melompat ke arah Din. Lajang senior itupun diringkus dan diikat di tiang tengah meunasah.
Catatan redaksi: Trueng pungo dalam bahasa Indonesia disebut kecubung.