Abdul Mukhti Hasan, wartawan senior Bireuen, menunjukkan keteguhan semangat meski terbaring tak berdaya setelah kembali terkena stroke. Meskipun tubuhnya tak lagi bertenaga, semangatnya untuk berkarya tetap menyala.
Suaranya masih agak sedikit kencang ketika menjawab salam kami. Entah karena dia sangat hafal suara saya, temannya sejak remaja.
“Masuk Apa Let,” katanya dari pembaringan. Entah darimana awal mula panggilan “Apa Let” itu, yang pasti ada kisah tersendiri, namun dia tidak ingin saya menjelaskan kepada pembaca.
Sejenak kemudian saya dan isteri (dia panggil Malèt) sudah duduk disampingnya yang terbaring, tidak bisa bergerak kemana-mana. Sepasang kakinya tidak berdaya. Begitu juga kedua tangannya, hanya menjadi ganjal kepala, kaku.
Namun demikian, ia masih bisa berdialog dengan kami. Menanyakan kabar anak saya, menanyakan perihal pekerjaan saya dan juga terkait Pemilu 2024. Ia bersemangat, walaupun dengan nafas yang tersengal.
Ia juga menanyakan kabar rekan-rekannya yang lain, baik rekan wartawan maupun rekan organisasi dan rekan mudanya dulu, tahun 90-an. Sebenarnya saya dan istri tidak ingin mengajaknya banyak bicara, tapi ia yang tidak bisa diam hingga saya pun larut dalam pembicaraan banyak hal selama satu jam.
Adalah Abdul Mukhti Hasan, 50 tahun, wartawan senior Bireuen. Ia terkena stroke pertama kalinya tahun 2018, kemudian terbaring tidak bisa kemana-mana. Semangatnya untuk sembuh luar biasa, sehingga Allah SWT mengabulkan doa dirinya dan orang-orang yang menyayanginya.
Pada akhir 2019, ia sembuh dan dapat beraktifitas kembali, baik sebagai wartawan Harian Waspada Medan maupun sebagai guru pada sebuah SMK di Kabupaten Aceh Utara. Walaupun saat itu kesehatannya belum sempurna, tapi semangatnya untuk berkarya terus menyala.
Tiba-tiba, suatu siang pada bulan Maret 2020, ia “terkulai” kembali. Saya ingat, hari itu bertepatan dengan meninggalnya ibu saya, 12 Maret. Stroke kembali menjadi penyakitnya. Teman-temannya terkejut, termasuk saya. Beberapa teman jauhnya menghubungi saya, menanyakan kabar Mukhti. Ini beralasan, mereka tahu saya adalah salah satu teman Mukhti yang paling dekat.
Sejak saat itu dia harus terbaring kembali di tempat tidur. Tidak bisa bergerak. Upaya terus dilakukan untuk sembuh. Baik pengobatan secara medis maupun pengobatan alternatif.
Seorang senior kami (organisatoris) Azhari Idris, sekarang Kepala SKK Migas Perwakilan Kalimantan dan Sulawesi, menyarankan agar Mukhti diobati dengan metode akupunktur, terapi China kuno yang menggunakan jarum-jarum kecil.
Baca juga: Gegara Sabu, Suamiku Masuk Penjara, Keluargaku Hancur
Ada seorang Terapis di Sigli, etnis Tionghoa, telah berhasil mengobati banyak orang. Saya bersama isterinya, Erni, dan putranya, Raja, membawa Mukhti kesana. Setelah beberapa kali pengobatan, terjadi perubahan yang signifikan, tapi belum sembuh.
Ada saja saran dari teman maupun saudara. Umumnya mereka menganjurkan pengobatan herbal atau sejenisnya. Selanjutnya, istri dan keluarganya menganalisa. Dan kemudian membawa Mukhti ke beberapa tempat tersebut, khususnya pengobatan alternatif dan herbal. Entah berapa orang terapis sudah menangani penyakit yang bersangkutan. Terjadi perubahan dan muncul harapan. Tapi kemudian sakit kembali.
Mukhti Hasan, pria alumni Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry (sekarang UIN), memulai karir jurnalistiknya di Harian Serambi Indonesia pada tahun 2003. Ia menjadi wartawan Serambi, tanggung jawab liputan untuk wilayah Bireuen dan sekitarnya, membantu Yusmandin Idris yang sudah terlebih dahulu bertugas di Bireuen.
Tahun 2008 ia menjadi wartawan Harian Waspada Medan. Mukhti termasuk wartawan yang produktif. Setiap hari minimal dua berita darinya untuk halaman “Aceh” menjadi bukti ia sangat rajin. Ini berlaku sampai ia sakit tahun 2018.
Suatu ketika pada tahun 2019, saya pernah bercanda dengan menyebut pekerjaannya wartawan dan “pekerjaan”nya PNS, untuk menggambarkan bahwa profesi wartawan adalah nomor satu baginya, PNS adalah prioritas kedua baginya. Entah benar entah juga salah!
Sampai ia terbaring kembali tahun 2020, ia tidak pernah pindah ke media lain. Mukhti sangat merindukan untuk menjadi wartawan kembali. Tapi apa daya, kaki dan tanganya seperti terbelenggu. Tangan dan jiwanya seperti mata pena yang patah.
Saya dan isteri, hari ini menjenguknya dengan perasaan sedih. Kemudian saya minta izin keluarganya untuk memposting nomor rekening, dengan harapan orang-orang baik yang selama ini belum tahu menyalurkan amalnya kemana, bisa membantu Mukhti untuk pengobatan selanjutnya.
Jelang magrib, kami pamit. Dari dipannya Mukhti tersenyum.
*Berikut ini adalah informasi rekening donasi:
Bank: Bank Syariah Indonesia (BSI)
Nomor Rekening: 1058068237
Nama Pemilik Rekening: Maghfirah