Komparatif.ID, Jantho– Hujan di bulan Desember tak menjadi rintangan untuk Azhari dan teman-temannya menaklukkan Glé Siberia –Sibreh– hingga “New Zealand”. Para pria penikmat keindahan alam itu menjadikan hobi trabas sebagai wujud bertadabbur; menyukuri keindahan alam ciptaan Ilahi.
Usai menunaikan salat subuh di meunasah, Selasa (26/12/2023) Azhari dihubungi Teuku Ferdian. Sang karib mengajaknya melakukan olahraga menantang; trabas. Kali ini mereka akan menempuh rute Glé Siberia menuju Indrapuri yang dalam istilah mereka sering disebut New Zealand.
Ajakan itu memacu adrenalin Azhari. Dia bergegas pulang. Sembari berlari-lari kecil, ia menuju rumahnya. Tiba di rumah, Azhari segera menyiapkan peralatan untuk kebutuhan memacu trail di medan mendaki penuh lumpur.
Ia mengenakan pakaian pengaman; mulai dari sarung tangan, helm, goggle, jesray, hydrobag hingga boot safety, protector.
Tak lupa ia memeriksa kondisi motor trail yang akan ditunggangi. Mulai dari bahan bakar, rem, kestabilan nitrogen ban hingga “check sound” alias memanaskan mesin motor.
Tepat pukul 09.30 WIB, Azhari menggeber gas trail, menuju tempat berkumpul. Pria tersebut benar-benar siap melalui medan mendaki, jalur berlumpur, menyeberangi sungai, dan lain-lain. Supaya tidak terganggu selama perjalanan, motor yang ditunggangi harus prima. Demikian juga kondisi fisik dan mental penunggangnya.
Baca juga: Sambut Rakernas dan HUT ke-6, SMSI Gelar Trabas
Relaksasi menjadi poin penting sebagai tujuan utama seorang trabaser. Olahraga tersebut harus dilakukan dalam kondisi riang gembira. Seorang trabaser sejati tidak mempersoalkan berapa yang harus dikeluarkan demi memenuhi hobi penuh tantangan itu. Karena medan lumpur yang dilalui merupakan hiburan penuh kegembiraan.
Azhari, Teuku Ferdian, dan tiga sejawat mereka menempuh perjalanan selama satu jam 30 menit, menyusuri punggung gunung dan lembah sepanjang perbukitan Sibreh-Indrapuri.
Tiba di sebuah kebun di Indrapuri, mereka rehat. Makan siang dan melaksanakan salat Dhuhur. Kemudian melanjutkan perjalanan menuju Blang Bintang. Seluruh rute yang ditempuh berada di Aceh Besar, sebuah kabupaten yang menyimpan banyak sejarah sejak era Kesultanan Aceh hingga MoU Helsinki.
Azhari mengatakan perjalanan mereka dalam rangka bertadabbur, telah memberikan arti penting untuk relaksasi. Perbukitan nan indah di sepanjang jalur laluan, menawarkan keindahan seumpama Danau Morine di Kanada atau Tianzi di China. Bahkan Cappadocia di Turkiye.
Mereka menggeber gas trail melintasi anak sungai, jalan berlumpur, padang rumput, jalur berbatu, hingga punggung bukit.
Sepanjang perjalanan –kiri dan kanan– yang terbentang hanyalah keindahan. Tuhan telah menciptakan alam Aceh Besar dengan sangat sempurna. Tak kalah dengan berbagai tempat di ragam negara yang diwartakan indah.
“Begitu sempurna ciptaan Allah, ketika di gunung memandang lepas areal sekitar, begitu besar bumi ini dan begitu kecilnya kami, begitu besar dosa yang kami lakukan dan begitu besar pula ampunan Allah,” gumamnya.
Azhari merenung tentang arti syukur. Di atas punggung bukit, di ketinggian bumi Aceh Besar, ia dan teman-temannya berkontemplasi. Mencari titik syukur yang kerap diabaikan manusia karena kesibukannya bekerja memenuhi kebutuhan duniawi.