Wali Nanggroe: UUPA yang Ada Bukan Hasil Inisiasi GAM

Wali Nanggroe PYM Malik Mahmud Al-Haytar (kiri) dan rektor Umuslim Dr. Marwan,M.Pd, Selasa (15/11/2022) saat diskusi optimalisasi UUPA. Foto: For Komparatif.ID.

Komparatif.ID, Bireuen—Paduka Yang Mulia Wali Nanggroe Aceh Teungku Malik Mahmud Al-Haytar, Selasa (15/11/2022) menyebutkan Aceh banyak kena tipu. Termasuk dalam penyusunan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 (UUPA). Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tidak terlibat dalam penyusunan undang-undang tersebut.

Hal itu disampaikan Paduka Yang Mulia Wali Nanggroe Malik Mahmud Al-Haytar, saat menghadiri acara Pengkajian dan Pelaksanaan Pembinaan MoU Helsinki 2022, yang dilaksanakan di Universitas Almuslim,Bireuen.

Baca juga: Wali Nanggroe Ingin PT KKA Hidup Lagi

Malik Mahmud menyebutkan dalam sirahnya Aceh, banyak sekali kena tipu sejak bergabung dengan Pemerintah Pusat. Hal terbaru yaitu terkait UU Nomor 11 Tahun 2006 (UUPA) yang tidak menyerap banyak hal isi Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki yang disepakati oleh delegasi GAM dan delegasi pemerintah RI pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.

Untuk mengembalikan ruh MoU Helsinki, kata Wali Nanggroe, dibutuhkan dukungan dari semua elemen di Aceh, tak terkecuali pihak akademisi.

“Dulu, ketika GAM berjuang dengan senjata api, akademisi tidak terlibat. Sekarang berjuang secara politik, maka akademisi harus terlibat. Saya tidak sanggup sendiri. Sejak usia 36 tahun sudah terjun bersama GAM, hingga saat ini masih berjuang demi Aceh,” sebut Paduka Yang Mulia Malik Mahmud Al-Haytar.

Untuk memperjuangkan butir-butir MoU agar diimplementasikan RI dalam UU RI dan aturan pelaksananya, Wali membutuhkan dukungan semua elemen, ulama, pemangku adat, akademisi, demi mencapai tujuan bersama, menyongsong Aceh yang maju.

Wali menyebutkan, Aceh masih memiliki GAM, anak-anak mereka juga masih bersama barisan perjuangan. Itu bagian dari modal memperjuangkan Aceh.

Gerak bersama harus lekas dilaksanakan, sebelum anak-anak di Aceh kehilangan pengetahuannya tentang ruh perdamaian. Sebelum generasi yang memahami konflik Aceh berganti dengan yang tidak tahu apa-apa.

Di sisi lain, ia juga mengeluhkan tingkat kesadaran orang Aceh yang menganggap MoU Helsinki merupakan ranahnya GAM semata. Di sisi lain, UU Nomor 11 Tahun 2006 (UUPA)  tidak menampung banyak isi MoU Helsinki.

Dia berharap Aceh harus bergerak sendiri. Karena mengharapkan perwakilan Aceh di DPR Ri, juga tidak membuahkan hasil. Mereka takut memperjuangkan kepentingan Aceh.Termasuk tidak berani memperrjuangan Qanun Bendera dan Lambang Aceh yang sudah disahkan pada 2013.

“Di Rusia, bendera Kazakhtan, Tatarstan, dan lainnya mereka kibarkan sejajar dengan bendera Rusia. Negara-negara itu juga punya presiden. Hal seperti ini harus kita perjuangkan lagi ke Jakarta,” kata Malik Mahmud.

Malik mengatakan, bila Pemerintah Pusat tidak mengubris seperti yang sudah-sudah, GAM harus bergerak kembali memperjuangkan kemerdekaan.

“Bila segala upaya deadlock, maka kita akan meminta kemerdekaan.”

Wakil Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) Pusat Teungku H. Kamaruddin Abubakar alias Abu Razak, dalam pertemuan tersebut menjelaskan selama setahun ini Wali Nanggroe dan 14 orang tim kajian MoU Helsinki, telah beberapa kali bertemu dengan Menkopolhukam dan Mendagri.

Ia memberikan perhatian khusus pada upaya revisi UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. 15 tahun lebih perjalanan perdamaian Aceh merupakan sebuah anugerah.

“Perihal revisi, Papua sudah melakukan revisi, tapi hasilnya tidak sesuai harapan. Oleh karenanya untuk merevisi UUPA kita harus sangat hati-hati. Makanya kami terus menggalang berbagai masukan, termasuk dari pihak kampus. Kami berharap mendapatkan masukan juga dari Universitas Almuslim,” sebut Abu Razak.

50 Masalah Dalam UUPA

Pakar Hukum tata Negara Dr. Zainal Abidin,S.H.,M.H dalam paparannya di hadapan Wali Nanggroe dan Rektor Universitas Almuslim Dr. Marwan,M.Pd, mengatakan hasil daftar inventarisir masalah, ditemukan 50 hal krusial di dalam UUPA.

Temuan tersebut menjadi pemicu munculnya ide pengajuan optimalisasi UUPA. Optimalisasi yang dimaksud demi penguatan.

“Bila yang dibuka ruang perubahan, maka ada pasal yang akan hilang. Tapi kami usulkan penguatan, agar yang telah ada tetap dipertahankan,” sebut Zainal Abidin.

Hal-hal yang diajukan sebagai penguatan, seperti keabsahan Qanun Aceh tidak lagi dievaluasi oleh Kemendagri. Karena sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 137/PUU-XIII/2015 dan 56/PUU-XIV/2016 tentang pencabutan kewenangan pemerintah untuk membatalkan (executive review) peraturan daerah (perda). Artinya Kementerian Dalam Negeri tidak lagi punya kewenangan membatalkan Qanun Aceh dan kabupaten/kota.

Hanya saja, pemerintah masih memiliki ruang konsultasi yang kerap dapat berupa intervensi terselubung. “Ruang-ruang demokrasi seperti fasilitasi demi kepastian hukum, jangan berubah menjadi tempat intervensi. Di sinilah  salah satu letak pentingnya penguatan UUPA,” sebut Zainal Abidin.

Hal lainnya perihal penguatan kewenangan Aceh yang saat ini masih tumpang tindih dengan kewenangan Pusat di Aceh. Selanjutnya alokasi dana otonomi khusus 2 persen tetap berlaku,

“Dari hasil kajian mendalam, melahirkan 13 draft pasal penguatan,” sebut mantan Komisioner KIP NAD tersebut.  Ia juga menekankan, tim Wali Nanggroe telah sepakat yang dilakukan upaya optimalisasi, bukan revisi UUPA.Tapi di luar yang didesak justru revisi bukan optimalisasi. Tim WN mengalah, yang penting tujuan tetap tercapai, dan perdamaian berlangsung lestari.

Umuslim Dukung Optimalisasi UUPA

Rektor Universitas Almuslim Dr. Marwan,M.Pd, menyampaikan pada pertemuan tersebut pihak kampus selalu memberikan dukungan kepada setiap upaya pembangunan Aceh, termasuk penguatan kewenangan politik.

Akademisi organik asal Teupin Mane tersebut mengatakan dirinya mendukung upaya optimalisasi UU Nomor 11 Tahun 2006. Masih banyak butir-butir MoU Helsinki yang belum diimplementasikan dalam undang-undang dan turunan di bawahnya.

“Pengimplementasian secara menyeluruh butir-butir MoU Helsinki ke dalam undang-undang dan produk turunannya, akan membuka jalan baru bagi Aceh. Saya meyakini bila itu terjadi Serambi Mekkah akan bangkit dan rakyat Aceh tidak akan ada lagi yang miskin,” sebutnya.

Secara terpisah, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Umuslim Rahmad Abdul Wahab, menyebutkan optimalisasi UU Nomor 11 tahun 2006 merupakan kunci untuk kembali ke ruh MoU Helsinki.

Dekan FISIP Umuslim Rahmad Abdul Wahab (kiri) saat sedang berbincang dengan PYM Wali Nanggroe Malik Mahmud Al-Haytar, Selasa (15/11/2022) di Universitas Almuslim. Foto: For Komparatif.ID.
Dekan FISIP Umuslim Rahmad Abdul Wahab (kiri) saat sedang berbincang dengan PYM Wali Nanggroe Malik Mahmud Al-Haytar, Selasa (15/11/2022) di Universitas Almuslim. Foto: For Komparatif.ID.

Hanya saja, untuk mencapai tujuan yang lebih besar, perjuangan tersebut harus dilakukan secara elegan, mengedepankan pendekatan diplomasi, dan menjauhkan narasi-narasi yang menyebabkan lahirnya pecah-belah.

Menurut Rahmad komitmen kedua belah pihak merawat perdamaian patut diacungi jempol. Saat ini usia perdamaian Aceh menuju 18 tahun. Sebuah titimangsa yang sangat luar biasa.

“18 tahun ini banyak yang sudah berubah di Aceh. Pelan-pelan kita sedang menuju masa depan yang dulunya tidak berani dicita-citakan. Bila nanti upaya optimalisasi UUPA membuahkan hasil, tentu jalan menuju kemakmuran akan lebih cepat maujudnya,” sebut Rahmad.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here