
FOMO di bulan Ramadhan dapat mempengaruhi kualitas ibadah dan kesejahteraan spiritual.
Bulan Ramadan merupakan momen istimewa bagi umat Islam di seluruh dunia untuk meningkatkan ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Pada era digital sekarang, Ramadan semakin semarak serta interaktif dengan adanya berbagai inovasi teknologi yang mendukung ibadah dan aktivitas sosial umat Muslim.
Seperti aplikasi keislaman, live streaming kajian, media sosial sebagai wadah syiar, e-commerce dengan berbagai diskon Ramadan, serta kampanye kebaikan dan crowdfunding hingga donasi digital untuk zakat dan sedekah.
Namun secara notabene, di balik semua itu ada sisi positif-negatif. Misalkan dari sisi negatif muncul tantangan seperti Fear of Missing Out (FOMO) dalam beribadah, distraksi media sosial yang berlebihan, serta konsumsi yang tidak terkendali yang mengarah kepada pemborosan.
Baca: BSI, Nafsu Besar Tenaga Kurang
Fenomena FOMO atau ketakutan akan ketinggalan suatu tren terkini di masyarakat baik di dunia nyata maupun di dunia maya, ternyata juga sudah merambah ke ranah-ranah spiritualitas hubungan vertikal individu terhadap Tuhannya.
FOMO yang awalnya dikenal dalam konteks media sosial serta gaya hidup modern kini berkembang menjadi fenomena psikologis yang dapat mempengaruhi ibadah seseorang kepada Tuhannya. Banyak orang merasa perlu mengikuti tren di media sosial terkait ibadah, tren berburu diskon-diskon Ramadan, atau terlibat dalam aktifitas sosial demi menghindari perasaan tertinggal dari aktifitas orang lain.
Oleh karena itu, penting untuk tetap menjaga keseimbangan antara pemanfaatan teknologi dan fokus pada esensi Ramadan, yaitu mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilā Allāh) dengan hati yang khusyuk dan penuh kesadaran.
Artikel ini mencoba melihat secara sederhana tentang bagaimana FOMO mempengaruhi praktik ibadah dan konsumsi seseorang selama Ramadhan, serta bagaimana mengatasi fenomena yang lagi marak ini.
Tren Praktik Ibadah Digital dan Media Sosial
Kita ketahui bersama bahwa tahun 2025 hingga tahun 2039 disebut dengan Generation Beta, di mana era society 5.0 terus bergeliat dengan teknologi AI, IoT, bahkan AR yang bisa diakses pada gadget masing-masing individu sebagai asisten pribadi dalam segala aktifitas keseharian. Tidak hanya masyarakat secara umum, umat Muslim pun memanfaatkan platform digital sebagai alat bantu mereka terkait hal peribadatan.
Misalkan saja seperti aplikasi Muslim Pro, Umma, dan Quran Majeed dan sebagainya yang menawarkan fitur pengingat waktu shalat, tadarus online, jurnal untuk mencatat ibadah, konsultasi ibadah bahkan tentang refleksi spiritualitas.
Platform-platform seperti itu sangatlah membantu individu dalam kesibukannya sehari-hari, akan tetapi hal tersebut juga dapat menjadi pemicu rasa FOMO jika tidak diniatkan dengan ikhlas dalam ibadah serta bila digunakan tanpa kontrol dan manajemen yang baik.
Pada sisi lain, juga tidak sedikit orang-orang yang membagikan aktifitas ibadah mereka di media sosial via Instagram, TikTok, Facebook, Youtube dan lain-lainnya seperti kegiatan berbagi maupun berburu takjil, itikaf hingga qiyamullail, daftar target khatam Alqur’an, kegiatan sosial kemasyarakatan dan lain sebagainya.
Hal-hal tersebut pada zaman sekarang lumrah adanya karena dari sisi plusnya dapat memberikan inspirasi juga motivasi bagi orang lain dalam bentuk informasi, namun juga dari sisi minusnya dapat menimbulkan tekanan sosial bagi sebagian individu yang merasa “kurang atau tidak mampu” dibandingkan dengan apa yang mereka lihat dan ketahui di media sosial.
Menurut laporan dari We Are Social dan Hootsuite, penggunaan media sosial di Indonesia meningkat signifikan selama bulan Ramadan. Sebagian besar pengguna merasa lebih terdorong untuk membagikan pengalaman spiritual mereka, baik itu melalui unggahan video tausiyah, tadarus berjamaah online, maupun berbagi konten tentang sahur dan berbuka puasa dan lain sebagainya.
Namun, fenomena ini juga membawa dampak negatif. Studi yang dilakukan oleh Pew Research Center menemukan bahwa konsumsi berlebihan media sosial selama bulan Ramadan dapat menyebabkan perasaan cemas berlebih (anxiety) dan tidak puas terhadap diri sendiri (self-dissatisfaction), terutama bagi mereka yang merasa bahwa ibadah mereka tidak sebaik orang lain.
Tren Sifat Konsumtif Selama Ramadan
Ramadan seringkali disertai dengan peningkatan konsumsi material, baik dalam hal makanan, pakaian, maupun kebutuhan lainnya. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pengeluaran rumah tangga di Indonesia mengalami lonjakan hingga 20-30% selama Ramadhan dibandingkan bulan-bulan lainnya.
Bahkan, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi RI berdasarkan surat nomor: HM.02.04/74/SET.M.EKON.3/02/2025, ikut mendorong konsumsi masyarakat selama libur Ramadan dan Lebaran untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional.
Prediksi Redseer Strategy Consultants menyatakan bahwa konsumsi masyarakat Indonesia selama Ramadan 2025 dapat mencapai angka US$ 73 miliar atau Rp1.188 triliun, sehingga perlu adanya himbauan kepada masyarakat untuk mengatur daya beli konsumtif yang berlebihan.
Fenomena lonjakan konsumtif ini menunjukkan bahwa banyak orang berbelanja bukan hanya karena kebutuhan, tetapi juga karena dorongan sosial dan tren yang berkembang selama Ramadan. Munculnya berbagai promo belanja dengan embel-embel “Ramadhan Sale” atau “Diskon Lebaran” mendorong masyarakat untuk membeli lebih banyak agar tidak merasa tertinggal dari orang lain (FOMO).
Bila dikaji dalam perspektif Islam, suatu pola konsumsi berlebihan dapat dikaitkan dengan sifat israf (berlebih-lebihan) yang dilarang dalam Islam. “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara setan.” (QS. Al-Isra: 26-27).
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin mengingatkan tentang “Hati yang selalu haus akan dunia tidak akan pernah merasakan ketenangan. Kesederhanaan adalah kunci kebahagiaan sejati.” Pernyataan ini menegaskan bahwa berlebih-lebihan dalam konsumsi, termasuk selama Ramadan, justru dapat mengganggu kedamaian batin seorang individu bahkan ketenteraman keluarga.
Perspektif FOMO Dalam Psikologi Islam
Ahli psikologi positif, Martin Seligman menjelaskan bahwa “Authentic happiness is not found in social comparison, but in gratitude and deep meaning in life.” Yakni bahwa kebahagiaan yang sejati tidak ditemukan dalam perbandingan sosial, tetapi dalam rasa syukur dan makna hidup yang mendalam.
Ahli psikologi Islam, Dr. Malik Badri, dalam bukunya Contemplation: An Islamic Psychospiritual Study, menjelaskan bahwa “The anxiety of missing out on worldly gains clouds the clarity of the soul, making it restless and disconnected from divine peace.” (Kecemasan akan kehilangan keuntungan duniawi mengaburkan kejernihan jiwa, membuatnya gelisah dan terputus dari kedamaian ilahi).
Dalam perspektif psikologi Islam, FOMO termasuk pada kondisi hati yang gelisah (qalb al-mariidh) akibat dari terlalu terikat pada dunia dan obsesi pengakuan sosial. Ketika seseorang merasa tertinggal atau kurang dibandingkan dengan orang lain, maka akan timbul kecemasan dan ketidakpuasan dalam hidupnya.
Ada pendapat dari Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam Madarij as-Salikin yang relate dengan fenomena FOMO ini, bahwa seseorang yang terlalu terpengaruh oleh lingkungan dan perbandingan sosial dapat kehilangan keikhlasan dalam ibadahnya. Menurut Beliau, “Barangsiapa yang menjadikan amalnya bergantung pada penilaian manusia, maka ia akan kehilangan keikhlasan dan tidak mendapatkan ketenangan hati.” Hal ini mengingatkan kita bahwa niat dalam ibadah harus murni karena Allah bukan karena rasa lainnya.
Pada sisi lain, bila obsesi pengakuan sosial terlampiaskan maka dampak lainnya dari qalb al-mariidh adalah flexing / pamer dan dapat menimbulkan kesombongan (riya’ dan takabbur). Rasulullah dalam sabdanya memberikan peringatan keras terhadap riya’ (pamer dalam ibadah).
“Sesungguhnya sesuatu yang paling aku khawatirkan terhadap kalian adalah syirik kecil.” Lalu para sahabat bertanya, “Apa itu syirik kecil, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Riya’.” (HR. Ahmad). Jika seseorang beribadah karena ingin terlihat baik di mata orang lain, maka ibadah tersebut bisa kehilangan nilainya di sisi Allah.
Ikhtiar Mengatasi FOMO
FOMO di bulan Ramaan dapat mempengaruhi kualitas ibadah dan kesejahteraan spiritual. Dengan memahami ajaran Islam tentang ketulusan, kepuasan hati, dan fokus pada hubungan dengan Allah, kita dapat mengatasi perasaan cemas akibat tekanan sosial.
Ketika seseorang fokus pada ibadah karena Allah, bukan karena tren atau tekanan sosial, maka ia akan mencapai ketenangan jiwa yang sejati. Kesederhanaan dalam beribadah dan konsumsi juga merupakan bentuk kepasrahan kepada Allah yang dapat menghilangkan kecemasan akibat perasaan tertinggal.
Islam telah mengajarkan konsep qana’ah (kepuasan hati) dan ikhlas sebagai penawar dari FOMO. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28).
Konsep ketenangan hati (ithmi’nan an-nafs) menekankan bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari obsesi pengakuan sosial atau pencapaian duniawi, tetapi dari hubungan yang kuat dengan Allah SWT. Ketika seseorang fokus pada ibadah karena Allah, bukan karena tren atau FOMO, maka ia akan mencapai kebahagiaan sejati.
Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberi rezeki secukupnya, dan Allah menjadikannya merasa cukup dengan apa yang diberikan kepadanya.” (HR. Muslim).
Ada beberapa ikhtiar dalam mengatasi FOMO di Bulan Ramadan seperti, Pertama. Perkuat niat dan fokus pada esensi ibadah. Pastikan bahwa ibadah yang dilakukan didasari oleh niat yang tulus untuk mencari ridha Allah, bukan sekadar mengikuti tren atau mendapatkan pengakuan sosial.
Kedua. Batasi penggunaan media sosial. Jika merasa tertekan atau cemas karena melihat aktifitas ibadah orang lain di media sosial, pertimbangkan untuk mengurangi waktu yang dihabiskan di platform tersebut selama Ramadan.
Ketiga. Praktikkan hidup sederhana dan syukur. Ingatlah bahwa Ramadan adalah waktu untuk refleksi diri dan peningkatan spiritual, bukan ajang pamer kemewahan atau konsumsi berlebihan.
Keempat. Tingkatkan koneksi dengan Allah, bukan dengan tren. Alihkan fokus dari perbandingan sosial ke peningkatan kualitas ibadah pribadi. Perbanyak dzikir, tafakur, dan mendalami makna Al-Qur’an agar hati lebih tenteram.
Ingatlah bahwa Ramadan bukan tentang siapa yang paling banyak ibadahnya atau siapa yang paling sukses dalam flexing, tetapi tentang bagaimana kita mendekatkan diri kepada Allah dengan hati yang ikhlas dan tenang. Mari jadikan Ramadhan sebagai momen untuk memperdalam hubungan spiritual tanpa terpengaruh oleh tren atau standar sosial yang tidak esensial.