
Saya tidak tahu apakah Yati ikut masuk dalam daftar 21 ribu penduduk Aceh yang berstatus ODGJ alias gila. Fakta yang terang-benderang, Yati tidur bersama jasad suaminya di sebuah kios jahit sepatu di Gampong Tanjong Selamat, Syiah Kuala, Banda Aceh.
Sebagai orang gila, Yati tidak melaporkan bila Teungku Bukhari (60) telah meninggal beberapa hari lalu. Bahkan dalam kegilaannya, dia masih percaya bila sang suami masih hidup. Teungku Bukhari hanya tidur lelap. Ia mungkin menyangka sang suami terlampau lelap karena lelah bekerja.
Tingkat gila Yati sudah masuk kategori paripurna. Dia mampu tidur bersama jasad yang telah membusuk. Hidungnya mampu bertoleransi terhadap pelepasan gas dan senyawa kimia kadaverin, putresin, dan hidrogen sulfida dari tubuh sang belahan jiwa, yang kerap juga menjadi teman ia bertengkar.
Selain gila, Yati juga bukan dokter yang memahami bahwa setelah detak jantung berhenti, tubuh manusia memulai fase rigor mortis; proses otot-otot menjadi kaku, suhu tubuh menurun, dan kemudian memulai proses autolisis; sel-sel tubuh mulai merusak diri mereka sendiri menggunakan enzim yang dilepaskan dari lisosom.
Sebagai orang gila, ia tidak paham bahwa manusia mati tidak bisa lagi ditemani, meski Yati memiliki cinta kepada Bukhari seluas Samudera Pasifik.
Saya tidak tahu separah apa status ODGJ yang disandang Yati. Orang-orang di sekitarnya menyebut Yati stres. Apakah ia masuk kategori 50 persen dari 21 ribu penduduk Aceh yang menderita gangguan jiwa berat? Entahlah.
Baca juga: Tragedi Teungku Bukhari, Jasad Membusuk Dijaga Istri yang Gila
Hal yang pasti, Yati adalah satu-satunya manusia yang saya ketahui bersedia menemani orang mati hingga jasad membusuk selama 20 tahun ini. Ia tidak memandang harta, karena Bukhari tidak memiliki harta selain gubuk reyot di atas tanah sewa.
***
Saya menyebutkan kisah meninggalnya Teungku Bukhari sebagai tragedi. Sebagai rakyat Aceh, ia menderita secara paripurna; miskin ekstrim dan hidup dengan istri yang mengalami gangguan jiwa. Teungku Bukhari dan istri sekaligus menjadi bukti bahwa pemerintah tidak benar-benar bekerja, intelektual tak berteman dengan lingkungan di mana mereka bekerja.
Bila pemerintah bekerja, dan para intelektual Darussalam berteman dengan manusia di lingkar pinggang kampus, mungkin Yati sudah dibawa berobat secara serius.
Saya teringat kalimat Murthalamuddin dan Alfiansyah. Mereka mengatakan orang Aceh sudah tidak lagi saling peduli. Gaseh-meugaseh bila meubila sudah tidak ada lagi. Semuanya telah bertindak nafsi-nafsi.
Kalau ingin melihat orang Aceh di akar rumput sudah seperti apa perkembangannya, maka kunjungilah TikTok. Semua model manusia nir ilmu, nir etika, nir norma, dapat kita jumpai di sana. Demi uang dan kepopuleran, semua hal-hal yang bertentangan dengan norma sosial dan agama, dilakukan.
Tindakan-tindakan mempermalukan diri marak dilakukan, bahkan sembari live yang mereka sebut pertempuran player knock-out (PK). Isi PK macam-macam, mulai dari saling hujat, saling bongkar aib, melakukan tindakan konyol seperti mandi telur, mandi lumpur, bongkar pakaian, dan lain-lain, yang semuanya merupakan hal-hal yang tabu dalam sistem sosial keacehan.
Dengan cara itu mereka mengumpulkan uang. Mereka terdorong melakukannya dilatarbelakangi banyak hal. Tapi satu hal yang utama; demi mendapatkan uang. Tidak ada komunikasi penuh etika di sana. Hampir semuanya berisi makian, cacian, dan haba-haba jahe dan bhok. Han’yi punyung wate tadeungo.Jangan coba-coba menasihati, karena pasti akan dilawan.
Mereka tidak mau kekeliruannya dikoreksi. Kalau ada yang nekat, pasti akan dilawan dengan kalimat penuh ejekan seperti pemegang kunci surga, sok suci, munafik, dll.
Apakah itu bukan bentuk kegilaan? Ya, secara teori ilmu kesehatan jiwa, orang-orang yang seperti saya gambarkan di atas, telah mengalami satu degradasi tingkat kewarasan. Mereka belum pada tahap gila tahap ekstrim, dan semoga saja tidak. Tapi sudah memenuhi syarat untuk direhabilitasi jiwanya. Kalau orang bijak bilang nyan ka teupeh.
Orang Aceh seperti hidup dalam lingkaran setan. Secara lebih halus, seperti ayam mati di lumbung padi. Mengapa? Lihat saja, Aceh yang kaya sumber daya alam, rakyatnya justru miskin. Banyak sekali rumah tangga yang tidak bisa mencapai standar minimal dalam hal penyediaan pangan berkualitas.
Tanpa uang pemerintah, ekonomi mengalami stroke. Lihat saja sepanjang Januari-April 2025, bagaimana ekonomi Aceh? buruk sekali. Emas melambung tinggi, uang untuk mengisi lambung sulit di dapat. Mengapa? Pertama karena memang perekonomian sedang tidak bagus secara nasional. Kedua, karena uang pemerintah belum dibelanjakan.
Di sisi lain tingkat kriminalitas semakin meningkat. Setiap minggu terjadi kasus pembunuhan, setiap bulan ada kasus bunuh diri. Kalau kasus maling hampir setiap hari.
Nyaris tak ada berita tentang petani A kaya raya karena hasil pertaniannya dijual ke luar negeri, petani B bisa beli mobil karena panen kelapa. Yang ada toke sabu A telah membangun rumah besar di samping kuburan, lima anak muda yang merantau ke Jakarta, setahun kemudian telah mampu beli mobil dan tanah, karena berbisnis tramadol ilegal di Jakarta dan sekitarnya.
Sering juga terdengar pejabat A, politisi B, polisi C, rungkat setelah ketipu investasi online yang dilakukan oleh robot trading. Ia rungkat ratusan juta. Dari mana uang ratusan juta diambil untuk berinvestasi? Ternyata dari hasil korupsi.
Berita yang paling banyak tayang di media, tentang pelacuran, pembunuhan, penangkapan mafia sabu jaringan internasional, dan penipuan. Akhir-akhir ini marak juga pemberitaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Orang Aceh dijual ke Laos, Kamboja, dan Myanmar. Yang menjual mereka juga orang Aceh.
Fakta-fakta itu memberikan gambaran utuh bahwa uang haram sangat banyak beredar di Aceh. Uang yang bersumber dari bisnis sabu-sabu, ganja, tramadol ilegal, money game, pelacuran, dan korupsi.
Uang itu berputar di Aceh, masuk hingga ke pelosok kampung, masuk hingga ke institusi pendidikan agama melalui sumbangan, masuk ke kegiatan sosial, masuk ke dapur-dapur keluarga melalui berbagai cara.
Mengapa uang haram semakin banyak beredar di Aceh? karena pemerintah tidak bekerja membangun ekonomi rakyat. Kemiskinan menjerumuskan kepada kekufuran. Kekufuran menghasilkan masyarakat hedon, dan pungo.
> maka kunjungilah TikTok. Semua model manusia nir ilmu, nir etika, nir norma, dapat kita jumpai di sana. Demi uang dan kepopuleran, semua hal-hal yang bertentangan dengan norma sosial dan agama, dilakukan.
Makanya banyak netizen indo menyebut tiktok dengan kandang monyet.