Komparatif.ID, Jakarta—Penolakan terhadap pengungsi Rohingya di Aceh yang terjadi sepanjang 2023 hingga saat ini, tidak terjadi alamiah. Tapi disponsori oleh institusi tertentu. Salah satu misinya ingin merusak citra Islam di Serambi Mekkah.
Murizal Hamzah, penulis buku Muslim Rohingya Ditolak di Aceh, Mengapa? Dalam bedah buku pada, Jumat (17/5/2024) di DPP Partai NasDem, menerangkan bahwa pengungsi Rohingya merupakan kaum tersisih, tertindas, dan terlupakan. Mereka adalah umat Islam yang diperangi, dan harus lari ke sana kemari. Semua itu terjadi di depan mata umat Islam lainnya di Asia Tenggara.
Buku Muslim Rohingya Ditolak di Aceh, Mengapa? Ditulis oleh Murizal Hamzah karena nilai kemanusiaannya tergugah. Ia kaget tiba-tiba pada pertengahan November 2023, terjadi penolakan sangat massif terhadap kedatangan pengungsi Rohingya di Aceh. Laman media sosial seperti Facebook, TikTok, Instagram, dan lainnya, tiba-tiba dipenuhi dengan konten yang berisi narasi kebencian terhadap etnis Rohingya.
Padahal sebelumnya, orang Aceh merupakan komunitas umat Islam di Indonesia yang mula-mula menerima pengungsi Rohingya dengan tangan terbuka. Membantu mereka dengan memberikan logistik, menyambut mereka dengan cinta tiada bertepi.
Baca: Bersikap Adil Terhadap Imigran Rohingya
“Warga Aceh dengan uang pribadi dan sumbangan dari Pemerintah Aceh sudah pernah memberi makan pengungsi Rohingya. Tidak ada penolakan, dan bahkan ada seorang Bupati Aceh Utara pernah menyampaikan bahwa takdir Allah mengirim orang Rohingya ke Aceh, dan Aceh menerimanya, dan itu [terjadi] sebelum 2015,” kata Murizal Hamzah, yang diliput Komparatif.ID melalui Zoom.
Pada Mei 2015, tatkala etnis Rohingya datang lagi, berbagai julukan diberikan. Seperti Palestina Asia. Serta berbagai narasi peduli; mengapa Palestina menjadi perhatian, karena di sana ada masjid dan umat Islam. Isu religi sangat seksi.
Orang Aceh sudah sejak 2006 bersentuhan langsung dengan pengungsi dari Arakan itu. Mereka yang awalnya ditampung di kamp pengungsian di Bangladesh, memilih melarikan diri ke negeri harapan, dengan cita-cita dapat mengubah kehidupan menjadi lebih baik.
Sejak 2006 hingga 2024, terdapat tujuh ribuan pengungsi Rohingya yang telah pernah mendarat di Aceh. Mereka umumnya pelarian dari Cox’s Bazar, Bangladesh.
Setiap tahun mereka mengarungi laut pada bulan Oktober hingga Februari. Saat itu gelombang laut agak sedikit ramah kepada para pencari suaka. Mereka harus sangat hati-hati karena kapal yang ditumpangi berbahan dasar kayu. Bahkan pada tahun 2006 ada kapal yang tidak menggunakan mesin.
Baca: Simalakama Etnis Rohingya, Tak Lari Berarti Mati
Karena alasan itu pula maka sepanjang April hingga jelang Oktober tidak ada pengungsi yang terdampar. Laut tidak bersahabat dan kondisi di tempat penampungan juga berbeda.
“Mengapa dengan menggunakan kapal tanpa mesin mereka bisa mencapai Aceh? Karena jarak tempuh yang dekat. Aceh pintu gerbangnya Indonesia. Mengapa mereka umumnya terdampar di Aceh, yak arena itu; Aceh pintu gerbang Indonesia. Mengapa saya sebut terdampar, karena tujuan mereka sebenarnya Malaysia. Di sana telah ada 200 ribu etnis Rohingya,” sebut Murizal Hamzah, wartawan senior asal Aceh yang kini bermukim di Jakarta.
Cox’s Bazar sekadar tempat penampungan. Tidak ada masa depan di sana. Upaya melarikan diri ke Malaysia merupakan hal paling realistis, karena di Semenanjung Malaysia sudah ada saudara dan keluarga mereka.
“Cox’s Bazar menampung 1 juta pengungsi dari Arakan, Myanmar. Kenapa di sana, karena berbatasan langsung dengan Arakan yang bergolak. Lebih kepada alasan kemanusiaan,” terang Murizal Hamzah.
Rata-rata keberadaan pengungsi Rohingya tersebut di Aceh sekitar satu tahun. Kemudian dipindahkan ke Medan, Riau, Jakarta, Bogor, dan Makassar. Di Makassar mereka bahkan sampai 20 tahun; dan tidak dibawa ke negara lain, karena di sana sudah diurus langsung oleh UNHCR.
Selama penampungan di Aceh sejak 2015, makan dan minum serta kebutuhan lainnya ditanggung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sebelum 2025 ditanggung renteng oleh rakyat Aceh.
Buku yang ditulis Murizal Hamzah kali ini menekankan pesan tentang literasi hoaks. Sejak November sampai Februari hoax tentang pengungsi Rohingya paling banyak beredar.
Kabar bohong itu dibagikan dan beredar grup WA komunitas dosen. “Termasuk sebuah video yang merekam seorang Rohingya di Malaysia yang tidak bisa Alfatihah. Itu dijadikan justifikasi bahwa Rohingya bukan Islam. Apakah tatkala ada satu dua orang jorok, dapat dijadikan jorok untuk semua orang?”
Perihal banyaknya kekurangan, karena orang Rohingya telah begitu lama tidak mendapatkan pendidikan. Begitu lahir langsung dihadapkan dengan persoalan keselamatan. Mereka harus secepatnya kabur dari tanah kelahiran.
Berharap ada perbaikan kehidupan di pengungsian, seperti pungguk merindukan bulan. Kondisi kamp tersebut sangat kacau. Tidak ada harapan di sana. Tidak ada pendidikan, tidak boleh bekerja, mereka hanya duduk saja menghabiskan waktu dalam kondisi tanpa masa depan.
“Kondisi yang sama juga kan terjadi di Aceh. Mereka yang terdampar di Aceh, ditampung, diberi makan, tapi tidak diberikan layanan pendidikan, tidak boleh bekerja, dan itu menjadi sebuah peraturan. Mereka hidup dalam ketidakpastian,” kata Murizal Hamzah, yang dikenal sebagai salah satu wartawan senior yang aktif menulis buku.
Adapun alasan mereka lari dari penampungan di Bangladesh, karena ingin mendapatkan kehidupan yang lebih baik, mencari negara yang memanusiakan manusia, dan tentu saja supaya anak-anak mereka mendapatkan pendidikan; layaknya manusia merdeka lainnya.
“Itu tidak ada di Cox’s Bazar. Di penampungan seluas 24 kilometer persegi, penuh dengan preman yang selalu menjadi ancaman keselamatan. Penghuni camp juga telah mencapai 1 juta manusia. Padat dan melelahkan.”
Sejak November hingga Januari, di Aceh setidaknya 50 kabar bohong yang beredar sangat massif. Terjadi sekitar 20 demonstrasi yang mendesak pengungsi Rohingya dipulangkan ke negeri asalnya.
Hoaks tentang Rohingya dibuat secara terencana oleh kelompok tertentu. Dibuat sangat rapi dan profesional. Termasuk hoaks bahwa pengungsi Rohingya merupakan orang Bangladesh yang dipasok oleh mafia, diturunkan di tengah laut sesuai titik koordinat. Kemudian dijemput nelayan dengan kapal mengambil. Semua proses itu mendapatkan bayaran.
Hoaks tentang Rohingya dibuat oleh sebuah institusi. Murizal tidak menyebutkan nama institusi tersebut. Seorang ulama juga termakan hoaks tentang pengungsi itu. Dia mengaku kepada Murizal bahwa hoaks yang ia sampaikan terhadap etnis itu diorder oleh sebuah institusi.Tapi ia tidak tahu bila kemudian pernyataanya dipublish ke media sosial TikTok.
Murizal Hamzah mengatakan institusi yang gencar menebar kebencian terhadap Rohingya memiliki pendanaan yang tidak terbatas. Uang mereka sangat besar. Salah satunya yaitu membiayai demo mahasiswa mengusir Rohingya yang ditampung di Balai Meuseuraya Aceh (BMA) pada 21 Desember 2023.
Baca: Mahasiswa Mengusir Pengungsi Rohingya dari BMA
“Mereka membayar 300 lebih mahasiswa untuk melakukan demo. Mahasiswa diberi sarapan pagi, makan siang, dan makan malam. Polisi meskipun ada di sana, tapi tidak mampu menghalau para mahasiswa yang melakukan pengusiran terhadap pengungsi,” terang Murizal.
“Ada juga ulama yang ditelepon oleh lembaga yang tidak bisa saya sebutkan, untuk membuat di video seruan mengusir dan menolak pengungsi Rohingya. Ulama tersebut menolak hal itu dikarenakan beliau ulama dan tidak mungkin orang Islam mengusir orang islam,” kisahnya.
Pada Ramadan kemarin, ibu-ibu mengusir pengungsi Rohingya di Aceh Barat. Menurut informasi yang diterima Murizal Hamzah, para pendemo diberikan uang Rp50 sampai Rp100 ribu per orang.
Sebelumnya mereka disuntik dengan informasi palsu. Seperti kabar palsu bahwa Rohingya jorok, makanan yang diberikan warga dibuang, dan lain-lain.
“Warga dipasok informasi hoaks, disinformasi, yang kemudian membuat mereka yakin Rohingya tidak benar. Tidak pantas ditolong, dan harus diusir,”
Dengan demikian, sudah sangat terang benderang bila sejumlah aksi pengusiran, yang dibombardir dengan hoaks yang mencapai puluhan, tidak terjadi secara alamiah. Tapi bergerak karena ada yang mensponsori.
Hoaks tersebut ada yang mengaturnya, ada strukturnya. “Saya teringat pernyataan Rocky Gerung, bahwa hoaks terbaik dibuat oleh negara, dan itu terjadi di Aceh,” kata Murizal.