Melawan Judi Online dan Narkoba, Siapa Berani?

judi online
Don Zakiyamani. Foto: Dok. Pribadi.

Judi online dan narkoba telah menjadi ancaman laten di negeri ini. Telah banyak memakan korban. Lalu, siapakah yang berani memberantasnya?

Saat menyeruput kopi di salah satu warkop di Banda Aceh, sebuah pesan masuk. Salah seorang jurnalis sebuah media daring mengirim berita pembunuhan seorang polisi. Pelaku kejahatan juga seorang polisi yang ternyata merangkap istrinya. Berbeda dengan Alquran yang samar menginformasikan bagaimana Habil dibunuh Qabil, semua media dengan detail memberi informasi metode pembunuhan polisi tersebut.

Allah Azza Wa Jalla tidak ingin metodologi pembunuhan Habil oleh Qabil dicontoh generasi berikutnya. Meski ada beberapa pendapat mengatakan dipukul dengan batu, dan metodologi lainnya, namun tetap saja dapat diperdebatkan kebenaran metodologi pembunuhan itu.

Baca: Briptu FN Bakar Suaminya Karena Gemar Judi Online

Begitu sayangnya Allah Azza Wa Jalla kepada kita hambaNya. Tentu saja media-media punya alasan tersendiri menginformasikan secara detail pembunuhan suami oleh istrinya, terutama agar informasi tersebut dibaca bahkan viral. Dan kini, berita itu memang viral.

Sebuah peristiwa hendaknya kita ambil hikmah dan pikirkan. Pembunuhan suami oleh istri yang katanya bersumber dari sebuah kemaksiatan itu, tidaklah mengherankan. Para ulama pernah berkata bahwa sebuah kemaksiatan setidaknya akan menghasilkan dua kemaksiatan. Jika berbuat satu maksiat, sejatinya kita sedang melakukan dua maksiat sekaligus atau setidaknya akan melahirkan maksiat baru.

Jika benar kasus tersebut bermula dari judi online yang berarti maksiat, pembunuhan terhadap suami juga maksiat. Tidak ada dalil penjudi harus dibunuh. Dengan demikian berkumpullah dua maksiat. Contoh lainnya, dua orang yang melakukan hubungan haram dipastikan akan menghadirkan maksiat lainnya, entah mereka saling berbohong atau salah satunya berbohong.

Persoalan judi memang bukan hal baru, dalam kisah-kisah klasik kita dapati permainan judi berdampak buruk bagi para pelaku maupun yang bukan pelaku. Dan kini judi telah memasuki WC, warkop, kantor, bahkan di kantor-kantor penegak hukum yang dilakukan oknum-oknum penegak hukum. Bukan mustahil beberapa penjudi malah menggunakan masjid, gereja, kuil dan tempat ibadah lainnya sebagai tempat mengundi nasib melalui gadget mereka.

Fenomena judi online yang berdampak sistemik kiranya harus dihentikan. Dan pemimpin nasional dan daerah wajib mempersempit ruang gerak judi online. Bagi Aceh yang menerapkan syariat Islam, kiranya harus menjadi garda terdepan memberantas judi online. Nah, momentum pilkada ke depan harusnya menjadi ajang calon kepala daerah yang memiliki visi melawan judi online.

Sayangnya, setahu penulis belum ada calon kepala daerah yang bicara soal itu. Padahal, ketika mereka bicara kesejahteraan rakyat Aceh, harusnya mereka sadar bahwa judi online salah satu faktor kemiskinan kian bertambah. Celakanya lagi, judi sebagaimana di awal tulisan, akan menghadirkan maksiat tambahan. Akan menghadirkan dosa tambahan, semisal pencurian, KDRT, penelantaran anak, hingga kebodohan.

Masih banyak sederet persoalan lain yang akan hadir bila judi online dibiarkan. Bayangkan bila anak-anak Aceh dibesarkan oleh para penjudi. Padahal ayah itu pendidik utama dan rumah institusi pendidikan pertama bagi anak-anaknya.

Lihatlah bagaimana Nabi Adam mengajarkan ilmu dunia-akhirat kepada anaknya Nabi Syith, Lihat pula bagaimana Nabi Muhammad sangat peduli pada pendidikan anak-anak. Ketika perang Badar misalnya, ada 70 tawanan perang dari kaum Quraisy. Nabi tidak mengambil tebusan dari mereka akan tetapi bagi tiap mereka yang mampu mengajarkan kemampuan menulis 10 anak-anak akan dibebaskan.

Suatu ketika Nabi mengutus Zaid bin Tsabit agar belajar bahasa Ibrani. Hanya dalam 18 hari Zaid sudah menguasai bahasa itu, mengapa begitu cepat. Tentu saja utusan Nabi bukanlah orang yang sembarangan. Utusan Nabi (Zaid) adalah orang yang memiliki keluhuran akhlak, pandai bersyukur, pandai beribadah, menjauhi segala maksiat.  Hingga begitu mudah ilmu masuk padanya.

Sekarang coba kita perhatikan nasib anak-anak dalam kasus pembunuhan Rian Dwi Wicaksono? Mereka akan hidup dan dibesarkan oleh zaman tanpa orang-tua. Ibunya dicap pembunuh dan ayahnya pemain judi online. Kasus-kasus KDRT di Aceh yang diakibatkan judi online juga tidak sedikit sehingga tidak sedikit pula masa depan anak-anak Aceh terancam.

Sementara para pemegang kuasa asik bermanuver politik tak jelas. Mereka seolah melihat judi online sebagai urusan personal. Padahal tidak ada urusan personal yang tidak memengaruhi sosial-kemasyarakatan. Kejahatan personal akan menghadirkan keresahan sosial cepat atau lambat.

Selain judi online, peredaran narkoba juga sudah pada titik mengerikan. Narkoba sudah masuk gampong-gampong di Aceh. Dampaknya kian terasa, mulai kasus perceraian suami-istri, pencurian, bahkan yang teranyar caleg terpilih ditangkap karena menggunakan narkoba.

Belum lagi jika benar bahwa ada beberapa oknum caleg terpilih dibiayai para bandar narkoba. Meski masih spekulasi namun patut diwaspadai, dengan ditangkapnya caleg terpilih mengkonsumsi narkoba, ada pula caleg terpilih menikmati uang hasil narkoba.

Sekarang mari kita berimajinasi, jika rakyatnya asik dengan judi online dan para pemimpinya menenggak narkoba dan uangnya. Apakah masa depan Aceh bakal secerah yang kita harapkan? Jika tidak, siapakah calon pemimpin Aceh yang berani memberantas judi online dan bandar narkoba?

Saya percaya pemerintahan gampong akan sepakat memberangus kedua maksiat tersebut. Asalkan pemerintah Aceh dan kabupaten/kota menginstruksikannya. Sinergi itu ditambah para ulama, pimpinan dayah/pesantren dan  tentunya kita mendesak aparat penegak hukum ikut berkontribusi dalam ikhtiar tersebut. Political will calon kepala daerah sangat dinantikan rakyat Aceh.

Gerakan melawan judi online dan narkoba tidak cukup dengan khutbah di mimbar agama. Dibutuhkan aksi nyata dari para pemegang kuasa. Karenanya calon pemegang kuasa harus berani mengkampanyekan langkah strategis-taktiknya dalam memberantas kedua maksiat tersebut.

Rakyat sudah muak dengan retorika politik dan permainan uang di setiap kontestasi politik. Selain tidak jelas arahnya, selama ini retorika politik elit Aceh juga tidak mengundang nalar berpikir. Sementara itu, uang suap ke rakyat juga tidak jelas halalnya.

Tulisan-tulisan sejenis ini memang banyak sudah di media online maupun cetak. Tentu saja tidak dibaca para pemegang kuasa, kalau pun dibaca tidak dihiraukan. Bagi penulis, sebuah tetesan air harus terus dilakukan bagi hati yang membatu. Tidak peduli dampaknya super kecil. Bahkan Nabi Nuh yang berdakwah 900 tahun lebih hanya diikuti 80 orang. Bayangkan betapa sulitnya perjuangan Nabi Allah tersebut.

Karenanya saya percaya bahwa menyuarakan kebenaran harus dimulai dengan istiqomah. Keteguhan hati yang disadarkan pada Allah Azza Wa Jalla, apalagi urusan hidayah itu milik-Nya. Saya percaya tidak ada ibu-bapak di Aceh yang ingin anaknya menjadi penjudi dan pengkonsumi narkoba, bahkan para penjudi dan penenggak narkoba  sekalipun tidak akan rela anaknya mengikuti langkah-langkah setan tersebut.

Bahkan bisa dipastikan para bandar judi cum judi online dan narkoba juga tidak ingin anak-anak mereka menjadi korban kedua maksiat itu. Karenanya, wahai calon pemimpin Aceh, kobarkan perlawanan terhadap judi online dan narkoba sebagai jihad. Wahai kaum intelektual bangkit dari rasa pesimis akan hadir pemimpin amanah. Wahai aparat penegak hukum, buktikan kalian tidak makan gaji buta, tangkap mereka para bandar dan pengedar serta pengguna narkoba.

Wahai aparat penegak hukum, berantas judi oline dengan kuasamu, jangan malah menjadi pelindung para bandar judi. Wahai para penulis, tuliskan kebenaran meski dengan tetesan darahmu. Wahai para mahasiswa dan aktivis, suarakan kebenaran, jangan sibuk dengan proposal, seremonial, dan popularitas serta jangan pula menjadi kelompok yang dibodohi oleh judi dan narkoba.

Di akhir tulisan ini izinkan saya nukilkan sebuah kalimat dari buku Uqala al-Majanin; “orang gila yang sesungguhnya adalah mereka yang terus bermaksiat padahal telah datang padanya kebenaran, ia mengetahui yang haq dan bathil”. Sehingga para pelaku korupsi, para pengambil uang rakyat, para pengambil kebijakan yang seleweng dan tidak bertobat, dapat dikategorikan orang-orang gila.

Mari kita berdoa kepada Yang Maha Kuasa, agar Aceh tidak dipimpin oleh orang-orang gila.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here