Komparatif.ID, Banda Aceh— Pemilihan Gubernur Aceh 2024 berubah menjadi ajang yang jauh dari semangat demokrasi. Kekerasan dan intimidasi terhadap pasangan calon nomor urut 01, Bustami Hamzah-Fadhil Rahmi, serta tim pendukung, menciptakan suasana yang mencekam.
Hal tersebut disampaikan juru bicara Bustami Hamzah-Fadhil Rahmi, Hendra Budian pada Kamis (21/11/2024).
Ia menyebut insiden pelemparan granat, ancaman pembunuhan, hingga perusakan alat peraga kampanye menjadi gambaran nyata dari ancaman yang kubu paslon 01 hadapi.
Situasi ini menurutnya tak hanya mencederai pasangan calon, tetapi juga merusak harapan masyarakat Aceh untuk menyaksikan pemilu yang damai dan bermartabat.
“Ini adalah serangan langsung terhadap demokrasi. Ketika kandidat dan pendukungnya tidak bisa berkampanye dengan aman, maka keadilan dalam Pilkada telah hilang,” ujar Hendra.
Jubir Om Bus-Syech Fadhil ini menyampaikan keprihatinannya atas rentetan insiden yang dialami sejak masa kampanye dimulai. Insiden paling mengejutkan terjadi ketika kediaman Bustami Hamzah di Banda Aceh dilempari granat tangan, nyaris mencelakai keluarganya.
Hendra menegaskan tindakan tersebut adalah serangan langsung terhadap demokrasi, para kandidat dan pendukungnya kehilangan rasa aman untuk berkampanye. Ia menyerukan agar keadilan ditegakkan demi memastikan Pilkada Aceh tidak kehilangan integritasnya.
Serangan tidak hanya menimpa kandidat tetapi juga merambah ke para relawan dan tim pendukungnya. Di Aceh Tamiang, Budian menuturkan salah seorang relawan dilaporkan menerima ancaman pembunuhan, sementara di Pidie, kaca mobil tim kampanye ditembaki oleh orang tak dikenal.
Tekanan psikologis juga dialami oleh relawan di berbagai daerah akibat aksi perusakan alat peraga kampanye yang semakin masif. Hendra menilai semua ini adalah upaya sistematis untuk melemahkan semangat perjuangan pasangan Bustami-Fadhil, sekaligus menciptakan atmosfer ketakutan di kalangan pendukungnya.
Salah satu insiden yang menghebohkan adalah ancaman pembunuhan terhadap Safwan, Sekretaris Relawan Rumah Kita Bersama (RKB) Aceh Tamiang. Para pelaku, yang diduga pendukung salah satu paslon, bahkan memaksa Safwan membuat video pengalihan dukungan kepada paslon 02.
Baca juga: Ini Alasan KIP Aceh Hentikan Debat Pilkada Ketiga
Ketika ia menolak, ancaman kekerasan fisik dilontarkan. Peristiwa ini tidak hanya menjadi bentuk intimidasi personal, tetapi juga menggambarkan tingkat kekerasan politik yang melampaui batas kewajaran.
“Ancaman ini bukan hanya intimidasi personal terhadap Safuan, tetapi juga ancaman nyata terhadap demokrasi. Ini adalah bentuk kekerasan politik yang tidak bisa dibiarkan,” uajrnya.
Sementara itu, Hendra menyebut pihak Muzakir Manaf-Fadhlullah kerap menuduh bahwa insiden-insiden ini merupakan strategi pasangan Bustami-Fadhil untuk menarik simpati publik.
Tuduhan tersebut, menurut Hendra, tidak memiliki dasar bukti yang jelas. Ia menegaskan bahwa demokrasi semestinya menjadi ajang adu gagasan dan visi, bukan ruang untuk praktik intimidasi dan kekerasan.
“Ini adalah tudingan yang tidak berdasar. Fakta menunjukkan bahwa serangkaian peristiwa ini nyata terjadi. Demokrasi seharusnya menjadi ajang adu gagasan, bukan ajang intimidasi,” lanjutnya.
Ketegangan semakin memuncak dengan pembatalan debat ketiga Pilgub Aceh oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh. Tuduhan Bustami menggunakan alat komunikasi dua arah selama debat berlangsung menjadi alasan pembatalan tersebut.
Namun, Hendra membantah tuduhan itu dan menyebutnya sebagai langkah yang mencederai proses demokrasi.
Menurutnya, alat yang digunakan Bustami hanyalah clip-on microphone, yang umum dipakai untuk merekam suara dengan lebih jelas. Pembatalan debat ini dinilai sebagai pelanggaran serius terhadap tahapan Pilkada yang telah disepakati.
“Bustami tidak menggunakan alat komunikasi apa pun. Yang ia kenakan hanyalah clip-on microphone, alat sederhana yang biasa digunakan untuk merekam suara dengan jelas. Tuduhan itu tidak masuk akal, apalagi penggunaan clip-on tidak dilarang dalam tata tertib debat,” jelas Hendra.
Hendra Budian menuntut agar KIP Aceh segera menggelar ulang debat ketiga sebagai bagian dari komitmen terhadap demokrasi yang jujur dan transparan.
Jika tuntutan ini tidak dipenuhi, pasangan Bustami-Fadhil berencana menempuh jalur hukum untuk memastikan keadilan ditegakkan. Selain itu, mereka mendesak aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas serangkaian kasus kekerasan yang telah mencederai proses demokrasi di Aceh.
“Publik kini menanti sikap tegas dari KIP Aceh dan aparat penegak hukum untuk memastikan Pilkada Aceh berlangsung jujur dan adil. Dalam kondisi seperti ini, keberanian untuk menegakkan kebenaran adalah kunci untuk memulihkan kepercayaan rakyat terhadap proses demokrasi,” tutup Hendra.