Bireuen, Tionghoa, & Perkembangan Warung Kopi

Bireuen nek ben
Mustafa A. Geulanggang. Foto: Dikutip dari Facebook MAG.

Sejumlah warung kopi legendaris di Bireuen merupakan miliknya etnis Tionghoa. Nama-penuh romantisme seperti Warkop Tandjung di Jalan Ramai, di jantung Kota Bireuen. Warkop milik Supek tersebut menyediakan kopi racikan mandiri dan roti panggang selai serikaya, membuat kedai yang satu ini ikonik. Dilihat dari jumlah pengunjung, Tandjung seperti bisnis yang sudah mencapai batas perkembangan. Tak mati, juga tak bertambah ramai.

Kedai Kopi Tandjung alias Kupi Supek sudah ada di Bireuen sejak awal proklamasi kemerdekaan RI. Citarasa kopinya yang diolah sendiri oleh pemilik kedai, ikut mendampingi perjalanan Bireuen sebagai sebuah kota penuh sejarah hingga saat ini. Bila tidak keliru, usianya nyaris sebaya dengan Republik Indonesia. Tandjung juga sebagai bukti bahwa Bireuen dan Tionghoa merupakan padu padan yang tak bermasalah. Harmonis dalam keharmonian.

Tandjung bukan satu-satunya warkop milik etnis Tionghoa yang ada di Bireuen. seputar tahun 1970 hingga 1980, sejumlah warung kopi milik etnis Tionghoa ikut meramaiakan khazanah perkopian di Bireuen.

Baca: Tionghoa Bireuen Bukan Cina di Morowali

Warung-warung legendari tersebut seperti Kupi Amin, yang beralamat di Jalan Andalas. Kemudian warkop Sudi Mampir di sudut Bioskop Dewi. Selain itu ada juga ada Warkop Koreda milik etnis Aceh di Jalan Ramai. Warung-warung lainnya seperti Ulee Gajah dan Cita Rasa di Jalan Ramai.

Dulu, sejumlah pelaku niaga kopi juga bermukim di Bireuen. Maka wajar bila kala itu, meski tak punya kebun kopi, Bireuen tetap dikenal sebagai daerah dengan kopi paling enak di sepanjang pantai timur-utara Aceh.

Orang Bireuen dan Aceh secara umum, dulu menyeruput robusta. Bukan arabika. Di kampung-kampung, untuk konsumsi rumah tangga ada yang meracik liberika. Juga ada yang yang menyeduh kupi panah. Namun di warkop, yang dijual adalah bubuk robusta yang disangrai di jambo sederhana. Bubuk kopi Indaco Bireuen merupakan top brand kala itu.

Tidak jarang, bubuk kopi Bireuen, dijadikan oleh-oleh ketika bertandang ke Kota Medan, Sumatera Utara. Sama seperti stroop 66 Bireuen dan stroop Mawar Matangglumpangdua. Menjadi oleh-oleh khas Bireuen pada suatu ketika.

Raja Kecil Warkop Baru di Bireuen

Setelah perdamaian antara GAM dan RI dirajut di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005, Bireuen berbenah. Kota jasa tersebut bergeliat menyesuaikan diri. Di sektor warung kopi, sejumlah “merk lokal rasa nasional” muncul di Bireuen. seperti Star Black, Coffee In, Warkop 88, Chek Dun. Warkop-warkop yang menyediakan space santai dan berinternet tersebut menjadi favorit kawula muda. Sajian utama mereka arabika.

Budaya buka bareng yang sebelumnya digelar di warung makan cepat saji ala lokal seperti Ayam Penyet Pak Ulis, Wong Solo, dll, yang sempat menjamur di Bireuen, bergeser ke warkop gaya baru seperti Starblack, dll. Warkop-warkop tersebut bukan hanya menjual kopi, juice dan kudapan ringan. Tapi menyediakan aneka nasi dan gulai.

Seiring waktu, tumbuh pula WD Coffee Shop, yang dimiliki oleh Wak Doi—Zainuddin—pengusaha kelas menengah asal Teupin Mane, Juli, Bireuen. Warkopnya yang bersebelahan dengan Mi Pangsit Apilin di Jalan Langgar, sangat banyak pengunjung. Di depan Pendopo Bupati Bireuen dibuka Defaree Coffee, kemudian juga dibuka Indaco Caffee dan Caffee Time di dekat gereja. Kedua warkop tersebut buka 24 jam. Warung-warung itu menjadi raja-raja baru di bisnis warung kopi di Bireuen. Menjadi tempat kongkow (hangout) maupun menjadi tempat mengawali diskusi politik maupun bisnis.

Warung Kopi di Jalan Elak

Pembangunan jalan elak Bireuen-Peusangan, membuka ruang baru munculnya pusat kuliner di Bireuen. Seiring waktu, pertumbuhan tempat jajanan di sepanjang jalan tersebut terus melaju.

Untuk kuliner serius, perintis di jalan elak adalah Warung Nasi Zikra, dan kafe Beskem. Namun kedua unit usaha itu telah pamit dari sana. Kini, kawasan yang menyajikan indahnya pemandangan sawah dan permukiman nun di balik tumpukan nyiur melambai, telah berubah menjadi kawasan yang padat. Khusus pada malam hari, kawasan itu sangat penuh. Pantas kawasan ini diberi julukan ring road Bireuen.

Ring Road tersebut menyajikan pemandangan aduhai, dengan semilir angin penuh pesona. Begitu pandangan diarahkan ke utara, yang tersaji adalah hamparan persawahan yang eksotis. Bila malam hari, kerlap-kerlip lampu nun di seberang, menampilkan orchestra alam nan memanjakan mata. Seakan-akan kita sedang berada di kawasan wisata luar Aceh.

Bohlam-bohlam yang dipasang di teras rumah dan sepanjang jalan di Gampong Geulumpang, Cot Keumude, Bale Kuyun, Lancok Pante Ara, dan Kareng, seperti kunang-kunang raksana, membentang di garis lintang timur-barat.

Bagi yang hatinya sedang lara, kunjungilah Ring Road Jalan Elak ketika sore. Ratusan hektar sawah yang membentang, memberikan pengobatan untuk jiwa yang sedang dilanda dilema. Bagi yang sedang bahagia, kunjungilah kawasan ini kapan saja,karena alam menyediakan hiasan nyata di depan mata.

Bagi yang tak punya uang, sebaiknya jangan ke sini. Karena Anda takkan dapat menikmati sajian-sajian nan lezat seperti espresso, nasi soto, sate kambing, nasi goreng, ayam penyet, ketang goreng, tempe goreng, dan ragam sajian lainnya. Bagi yang diajak oleh orang lain, pesanlah makanan dan minuman mengikuti orang yang mengajak. Supaya tidak ada yang “tersakiti” dalam hubungan pertemanan.

Kini harga tanah di sana sudah mahal. Bila lima tahun lalu, Jalan Elak masih sebatas perlintasan warga, kini telah menjadi daerah kunjungan. Para pebisnis kuliner, memasang perhatian khusus ke kawasan bekas rel kereta api tersebut.

Kemajuan memang menghadirkan perubahan. Petak sawah di sana menciut akibat pembangunan usaha kuliner. Tapi itulah dinamika pembangunan.

Dalam amatan saya kawasan ini berkembang bagaikan cendawan tumbuh di musim hujan. Lihat saja hampir tiap malam sepanjang 2 km lebih mobil-mobil mewah dan kenderaan roda dua berjejer di pinggir jalan kiri dan kanan.

Seperti diketahui sekarang sudah ada sebelas unit kafe di sana. Selain Zikra dan Beskem yang pamit, di sana masih ada Resto & Caffe Golden, Caffe P’ Tem, Caffe Besti, kafe Ali Kupi, kafe Zona Nyaman, Tuwen Tie, Sabi, OTW, Cana, Rebon dan Barcofe.

Diperkirakan dalam dua tahun ke depan kawasan sawah di belakang kantor Bupati Bireuen ini bakal maju pesat. Bila itu terjadi, maka semakin menciutlah petak sawah.

Untuk itu saya menyarankan pemerintah Kabupaten Bireuen agar hadir untuk mengarah dan menata. Misalnya bangunan yang diizinkan IMB hanyalah sebelah selatan jalan rel menghadap ke utara. Sehingga pandangan mata setiap pengunjung kafe akan mendapat sesuatu keindahan.

Bila pemerintah tidak terlibat sejak dini, dikhawatikan nanti menjadi kawasan kumuh seperti kawasan bekas jalan rel kereta Api depan RSU Fauziah dan jalan rel kereta api di Gampong Reulet. Kiri kanan jalan tidak ada bahu jalan tempat parkir kenderaan roda empat dan roda dua. Akibatnya kawasan ini amburadul.

Jalan Gayo Tak Mau Ketinggalan Menjual Kopi

Jalan Gayo juga sudah mulai menjadi pilihan ekslusif untuk jajanan minuman di kafe dan resto. Hal ini dibuktikan  oleh Haji Subarni A Gani, yang telah membangun 12 unit pintu pertokoan dari sebagian tanah milik pribadinya.

Sekarang kawasan Simpang Empat arah selatan ke Tanoh Gayo, telah menjadi kawasan hangout baru bagi siapa saja. Warkop Chek Dun pindah ke sana. Warkop 88 pindah ke sana. Meramaikan khazanah perkopian di sana. Warkop-warkop lain yang terkenal di sana yaitu Bireuen Parte, Rumoh Tuha, Warkop X-Treem, Bakso Lato-Lato, kafe Central, dan lain-lain. Ada yang berbentuk ruko, ata yang berkonsep terbuka, dana yang perpaduan keduanya.

Warkop paling mewah tentu kafe Central. Luas enam pintu ruko, berlantai 3, berada di depan Masjid Agung Bireuen, seluruhnya transparan—pintu dan dinding dari kaca—menjadikan warkop tersebut sangat menarik, eklusif dan cocok untuk ragam pertemuan, atau sekadang hangout.

Catatan kecil ini tidak dapat menampung setiap perkembangan warkop di daerah berjuluk Kota Juang. Namun setidaknya telah mencoba memberikan gambaran tentang dunia warung kopi di kota ini dari masa awal kemerdekaan hingga saat ini. Terlalu banyak yang belum ditulis, serta terlalu banyak yang belum digali.

Artikel SebelumnyaTertabrak di Blang Panyang, Perawat Asal Bireuen Meninggal Dunia
Artikel SelanjutnyaGugatan Elemen Sipil Terhadap Jabatan PJ Achmad Marzuki Kandas
Mustafa A. Glanggang
Bupati Bireuen periode 2002-2007. Esais yang pernah menjadi wartawan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here