Akselerasi Eksplorasi Migas di Aceh

Akselerasi Eksplorasi Migas di Aceh
Muhammad Mulyawan, Deputi Perencanaan Badan Pengelola Migas Aceh. Foto: HO for Komparatif.ID.

Pengelolaan bersama hulu migas di Aceh menjadi khusus dan istimewa sejak ditetapkan dasar hukumnya dalam UU. No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan turunannya PP. No.23 tentang pengelolaan bersama hulu migas di Aceh.

Hal ini menambah khasanah baru dalam tata kelola pengelolaan hulu migas di Indonesia, dimana daerah mendapatkan wewenang yang lebih untuk mengelola sumber daya migasnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pelaksanaan kewenangan khusus itu bukanlah sesuatu yang mudah tetapi butuh usaha dan sinergi seluruh stakeholder.

Eksplorasi migas di Indonesia bermula pada penggalian sumur Telaga Tunggal 1 pada 15 Juni 1885 oleh Aeilko Jans Zijker yang merupakan ahli perkebunan tembakau pada Deli Tobacco Maatschappij.

Ia menemukan adanya genangan air bercampur minyak di Telaga Tunggal, di dekat desa Telaga Said yang saat itu masuk wilayah kekuasaan Sultan Langkat. Konsesinya didapatkan dari Sultan Musa yang menjadi konsesi pertama pengelolaan hulu migas di Nusantara.

Pada tahun 1890 Zijker mengalihkan konsesinya ke NV Koninklijke Nederlandsche Petroleum Maatschappij (KNPM). Sejarah penemuan minyak pertama kali di Nusantara ini hanya berjarak 26 tahun dari penemuan sumur minyak pertama di dunia di Titusville, Amerika Serikat pada 27 Agustus 1859 yang diprakarsai oleh Edwin L. Drake dan William Smith dari Seneca Oil Company.

Sejak saat itu kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas dimulai di Aceh, Sumatera dan seluruh Indonesia. Khusus untuk di Aceh, terdapat dua cekungan besar yang terletak di bagian utara Aceh yaitu North Sumatera Basin dan di bagian selatan Aceh yaitu Sibolga Basin.

Namun Sibolga Basin merupakan cekungan busur muka (forearc basin) yang memiliki memiliki low geothermal gradient (1.8 celcius/100m) sehingga akan lebih sulit dalam proses pembentukkan minyak bumi dan gas jika dibandingkan dengan North Sumatera Basin (backarc basin) yang mencapai 2.8 celcius/100m.

North Sumatera Basin merupakan cekungan yang sudah matang dan terbukti. Sampai saat ini terdapat kurang lebih terdapat 11 plays yang mengandung 39 fields dengan total sumber daya sebesar 10.343 MMBOE.

Cekungan lainnya di di Sumatera adalah Central Sumatera Basin yang hanya memiliki 7 plays namun terdiri dari 203 fields dengan sumberdaya mencapai 31.208 MMBOE. Di bagian bawah Sumatera terdapat South Sumatera Basin memiliki 19 plays yang terdiri dari 224 fields dengan sumberdaya 15.010 MMBOE.

Baca juga: Temui Perusahaan Migas Kuwait, Kepala BPMA Ajak Invest di Aceh

Data itu menunjukkan bahwa masih belum masifnya kegiatan eksplorasi di North Sumatera Basin yang hanya memiliki 39 fields, sehingga potensi untuk ditemukan sumber-sumber migas baru di North Sumatera Basin lebih besar dibandingkan dengan dua cekungan lainnya di Sumatera.

Oleh karenanya dibutuhkan percepatan di setiap proses bisnis tata kelola hulu migas di Aceh agar kegiatan eksplorasi dapat lebih masif sehingga dapat menemukan cadangan migas yang baru.

Perluasan Wilayah Kewenangan Aceh

Pemberian kewenangan yang lebih luas kepada Aceh didasari oleh Perjanjian MoU Helsinki. Yaitu salah satu butir perjanjian damai tersebut dimasukkan kedalam UU. No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh sebagai dasar hukumnya.

Tidak terdapat batasan wilayah kewenangan Aceh dalam pengelolaan hulu migas di dalam UU tersebut. Definisi wilayah kewenangan Aceh kemudian diatur dalam PP 23 tahun 2015. Pada Pasal 1 ayat (25) dijelaskan bahwa “Badan Pengelola Migas Aceh yang selanjutnya disingkat BPMA adalah suatu badan Pemerintah yang dibentuk untuk melakukan pengelolaan dan pengendalian bersama kegiatan usaha hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh (0 s.d. 12 mil laut)”.

Pertanyaan kritisnya adalah ketika BPMA sudah dinyatakan sebagai badan Pemerintah apakah ada aturan lain yang menghalangi wewenang BPMA sehingga hanya dibatasi oleh 12 mil kecuali dari pasal 1 ayat (25) tersebut?

Definisi pemerintah di sini sebenarnya sudah jelas dalam pasal 1 ayat (1) “Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Sehingga status badan pemerintah itu menunjukkan bahwa BPMA itu setara dengan lembaga/badan pemerintah pusat lainnya, yang dalam hal ini khusus mengurus Aceh sahaja.

Wilayah 12 mil maupun di atas 12 mil masih merupakan bagian dari Republik Indonesia. Apakah boleh BPMA diberikan wewenang hingga 200 mil sehingga bisa meringankan tugas dari SKKMIGAS yang wilayahnya meliputi seluruh Indonesia? Atau mungkin ada alasan khusus kenapa di dalam pasal 1 ayat (25) terdapat pembatasan tersebut?

Pasal di atas membatasi wilayah kewenangan Aceh dan membatasi ruang lingkup BPMA yang merupakan Badan Pelaksana yang dibentuk oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh.

Dalam pelaksanaannya, pasal ini menimbulkan permasalahan teknis dan operasional karena pelamparan geologi pada suatu basin tidak mengenal garis imajiner 12 mil.

Contohnya pada Blok Andaman III yang terhampar dari bibir pantai dan melampaui 12 mil laut. Terdapat kebingungan saat itu, apakah Blok Andaman III di bawah pengelolaan BPMA atau di bawah pengelolaan SKK Migas.

Akhirnya atas kesepakatan bersama antara Kepala BPMA dengan Kepala SKK Migas diputuskan bahwa, pengelolaanya di bawah BPMA walaupun pelamparan geologisnya berada di atas 12 mil laut.

Pembatasan wilayah kewenangan aceh menyebabkan terbaginya blok-blok di Aceh. Contohnya Blok NSO di laut, terpisah manajemen operasinya di bawah SKK Migas, sedangkan Blok B yang di darat manajemen operasinya di bawah BPMA.

Kedua Blok itu idealnya dalam satu kesatuan manajemen operasi agar lebih efektif dan efisien. Manajemen Operasi Blok NSO menggunakan PSC Gross Split, sedangkan Blok B menggunakan PSC Cost Recovery.

Perbedaan ini menyebabkan blok tersebut mencari jalan keluarnya masing-masing untuk mempertahankan laju produksi pada fase akhir, konsekuensinya biaya operasi menjadi naik dan keekonomian tidak optimum.

Pembatasan tersebut menjadi isu yang membingungkan dari sisi investor maupun masyarakat. Beberapa calon investor luar negeri yang tertarik dengan Aceh mendatangi BPMA, mereka berharap adanya kekhususan dan kemudahan berinvenstasi jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia.

Setelah BPMA jelaskan ternyata prospeknya berada di luar 12 mil yang bukan merupakan wewenang BPMA tetapi masih di bawah pengelolaan SKK Migas, kemudian merekapun urung melanjutkan.

Sedangkan masyarakat umum memahami bahwa saat ini sudah ada BPMA yang merupakan badan khusus di Aceh yang mengurusi masalah migas. Setiap ada kejadian yang berhubungan dengan migas mereka mencari BPMA walaupun secara jurisdiksi wilayah tersebut masih di bawah pengelolaan SKK Migas.

Baca juga: Bahlil Lantik Nasri Jalal Sebagai Kepala BPMA

Dengan segala keterbatasan wilayah tersebut, menuntut Kepala BPMA untuk lebih fleksibel dalam menjalankan kebijakkannya namun tetap harus hati-hati dalam kerangka regulasi yang ada.

BPMA dan SKK Migas pada prinsipnya memiliki tugas dan fungsi yang sama yang membedakan hanyalah Wilayah Kewenangan dan dasar hukum dari kedua lembaga tersebut.

BPMA dibentuk berdasarkan PP 23 tahun 2015 sedangkan SKK Migas diberikan tugas oleh Pemerintah c.q Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral untuk menyelenggarakan pengelolaan kegiatan usaha hulu Minyak dan Gas Bumi berdasarkan Peraturan Presiden No.95/2012 jo. Peraturan Presiden No.36/2018 jo. Peraturan MESDM No.2/2022.

Jika kedua lembaga tersebut memiliki peranan yang hampir serupa alangkah baiknya untuk wilayah kewenangan Aceh dapat diperluas hingga 200 mil laut sehingga diharapkan dapat menambah kemampuan Pemerintah Aceh untuk mengelola bersama hulu migas di Aceh.

Penerima Mandat dari dua pemerintahan (Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh)

Tantangan khusus bagi BPM adalah harus menjembatani dua kepentingan Pemerintah (Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh).

BPMA adalah badan pemerintah di bawah Menteri dan bertanggungjawab kepada Menteri dan Gubernur. Menteri merupakan wakil Pemerintah Pusat, sedangkan Gubernur merupakan wakil Pemerintah Aceh.

Mandat inilah yang harus diemban oleh Kepala BPMA dalam satu kerangka manajemen operasi. BPMA harus bisa mengakomodasi kepentingan Gubernur yang mewakili kepentingan Aceh namun harus sesuai dengan kebijakkan nasional sehingga dapat berjalan dengan lancar.

Di satu sisi menjadi badan khusus dan satu-satunya di Indonesia, namun disisi lain tetap mengikuti peraturan perundangan yang berlaku umum di seluruh Indonesia.

Pada suatu masa ke-dua pemerintah tersebut sempat berbeda dalam memandang kerangka manajemen operasi BPMA. Butuh waktu lama untuk memberikan pemahaman kepada ke-dua pemerintah tersebut agar terjadi kesepakatan bersama.

Kesepakatanpun tidak terjadi, mengakibatkan perpanjangan kontrak kerja sama secara sementara pada Block B. Ini menjadi preseden yang kurang baik, karena menyebabkan ketidakpastian program kerja dan investasi bagi operator Blok B.

Setelah komunikasi dan negoisasi yang lebih komprehensif mulai dari aspek teknis, hukum dan keekonomian, akhirnya Menteri dan Gubernur sepakat dengan kerangka Manajemen Operasi dalam bentuk PSC Cost Recovery walaupun pada saat itu secara nasional diharuskan untuk menggunakan PSC Gross Split.

Kejadian ini menjadi tonggak sejarah pertama di Indonesia, dimana BUMD mendapatkan kepercayaan oleh Pemerintah Pusat untuk mengelola Blok Migas di Aceh yang merupakan warisan dari lapangan gas terbesar pada masanya yaitu lapangan Arun.

Proses alih kelola dari Pertamina kepada PT. Pembangunan Aceh (PEMA) berjalan dengan baik dan tercatat sebagai proses alih kelola tercepat dari BUMN kepada BUMD yaitu hanya dalam waktu 6 bulan.

Tantangan lainnya adalah sosialisasi mengenai kekhususan BPMA. Saat itu kekhususan BPMA belum dapat dipahami seutuhnya sehingga terdapat beberapa peraturan menteri atau peraturan lainnya yang perlu disesuaikan.

Hasil inventarisir BPMA terdapat hampir 40 peraturan perundangan yang belum dapat mengakomodir kekhususan BPMA. Ini harus segera diselesaikan satu per satu sehingga kekhususan BPMA dapat terlaksana secara harmonis.

Satu-satunya cara adalah dengan aktif dan rajin melaksanakan roadshow kepada lembaga/kementrian terkait untuk memperkenalkan status, kekhususan dan kebutuhan BPMA sehingga pemahaman tentang BPMA dapat tergambarkan secara utuh dan masuk dalam lingkungan lembaga/kementrian terkait.

Awalnya, proses bisnis terkait hulu migas antara BPMA dengan Pemerintah Aceh saat ini belum terpetakan dengan rapi sehingga menyebabkan beberapa persetujuan Gubernur memakan waktu yang sangat lama.

BPMA telah dan masih terus melakukan usaha yang lebih dalam menjembatani persamaan persepsi sehingga Pemerintah Aceh dapat memberikan persetujuan dalam waktu yang relatif lebih cepat.

Selain itu dibutuhkan komunikasi dan koordinasi yang langsung antara Kepala BPMA dengan Gubernur sehingga setiap keputusan bersama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh dapat harmonis untuk mempercepat kegiatan eksplorasi dan eksploitasi.

Untuk itu, Kepala BPMA terpilih dapat mengajukan kepada Gubernur peta proses bisnis untuk setiap persetujuan Gubernur dalam sebuah Pergub, sehingga pola tersebut menjadi sebuah standar prosedur di kemudian hari.

Jadi siapapun Gubernurnya memiliki peta proses bisnis yang sama sehingga dapat mempercepat proses birokrasi dalam setiap persetujuan Gubernur di kemudian hari.

Percepatan ini menjadi salah satu indikator bagi investor untuk mau menanamkan investasinya secara masif untuk eksplorasi.

Lex Specialist Anggaran BPMA

Tantangan lain muncul dari mekanisme anggaran BPMA dimana terdapat dua pasal dalam PP 23/2015 yang tidak dapat dilaksanakan karena dianggap tidak sesuai dengan UU Nomor 17 tahun 2003 dan PP Nomor 90 tahun 2010.

Padahal UUPA dan PP23/2015 adalah produk hukum yang khusus (lex specialist), seharusnya dengan kewenangan khusus dalam UUPA, produk hukum yang bersifat nasional dapat disesuaiakan dengan kekhususan di Aceh.

Saat ini BPMA mengikuti mekanisme anggaran yang berlaku umum di Kementrian ESDM. Tentunya mekanisme ini berkurang relevansinya dengan kebutuhan dan program kerja BPMA dikarenakan perbedaan kebutuhan dan nomenklatur di Kementrian ESDM.

Sebagai pembandingnya adalah SKK Migas, sistem pengganggarannya tidak melalui mekanisme Kementriaan ESDM tetapi langsung ke Kementerian Keuangan. Dalam pembahasan revisi UUPA kedepan perlu penegasan kembali kekhususan BPMA sehingga pola penganggarannya bisa ditetapkan oleh Menteri Keuangan seperti yang tertuang dalam PP 23 tahun 2015.

Implementasinya memang tidak mudah, butuh komunikasi yang intensif dengan kementrian ESDM dan kementrian Keuangan tentunya dengan dukungan penuh dari Gubernur Aceh agar kekhususan tersebut dapat terlaksana.

Kesimpulan

UUPA dan PP 23/2015 memerlukan peninjauan kembali dengan melakukan beberapa penguatan yang memberikan amanah penuh kepada Kepala BPMA sebagai wakil negara (Pemerintah dan Pemerintah Aceh) dalam pengelolaan bersama hulu migas di Aceh.

Wilayah kewenangan Aceh yang hanya hingga 12 mil laut dapat diperluas hingga 200 mil laut, sehingga pengelolaan hulu migas di Aceh menjadi satu kesatuan yang komprehensif dan dapat mempercepat kegiatan eksplorasi.

BPMA saat ini sudah berjalan dengan sangat baik di tengah keterbatasan anggaran, wilayah kerja dan regulasi.

BPMA bisa mengalami percepatan dan lompatan-lompatan sejarah jika kendala dan tantangan di atas dapat diselesaikan satu persatu sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat.

Aceh seringkali menjadi pilot project, dengan kekhususan Aceh dalam tata kelola hulu di Indonesia dapat menambah salah satu model yang dapat memberikan kebermanfaatan untuk seluruh Indonesia.

Semoga Pilot Project yang sudah berjalan ini dapat terus berkembang dan menjadi lebih baik kedepannya. Amin ya rabbal ‘alamin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here