Syeh Muharram dan Kekagetan Demokrasi Aceh

Syeh Muharram
Syeh Muharram, eks perwira kombatan GAM Wilayah Aceh Besar. Terpilih sebagai Bupati Aceh Besar pada pilkada 2024 melalui jalur independen. Foto: Dok ist.

Nama Muharram Idris atau yang kerap disapa Syeh Muharram (SM) tampil dalam sebuah video keberadaan Gerakan Aceh Merdeka pascatsunami. Dalam video dokumenter yang diliput oleh SSB Australia lewat kanal Youtube Journeyman Pictures dengan judul The Ethic Cleansing in Aceh That Nobody Knows About, dan dirilis tahun 2005 (pascatsunami), tampak Muharram muda memakai baret warna hijau tua dan meneteng senjata Ak-47 berbicara mengenai kondisi Aceh, dan absennya dunia internasional dalam kasus konflik dan kemanusiaan. Ucapannya dan keterangannya tampak jelas dan tenang.

Ada adegan, tampak ia menunjukkan sikap tegas bagi kesiplinan anggotanya yang dianggap lengah dan dapat mengancam nyawa mereka.

Baca: MPU Selamat MAA Kiamat

Penambahan gelar “syeh” di depan nama Muharam tampaknya upaya publik Aceh Besar menempatkan Muharram sebagai sosok religius, kondisi ini dapat dilihat dari tampilannya yang selalu mamakai peci songkok hitam sebagai simbol agamawan yang sering dipakai di Aceh.

Muharram sendiri dari pengakuannya dari salah satu saluran Youtube, masih berada dalam garis keturunan Teungku Chik di Bitai, kakek buyutnya bernama Abdul Muthalib Ghazi yang dikenal sebagai Teungku Chik di Bitai.

Tentu, modal keturunan dari tokoh agama berpengauh dalam sejarah Aceh menjadi nilai tambah dalam politik identitas, selain sosok SM diakui dan dihormati oleh masyarakat.

Saat Muharram mendaftar calon bupati di Aceh Besar pada tahun 2024, beberapa kali saya mencoba menelusuri rekam dan jejaknya melalui laman media sosial sebagai eks kombatan yang hidup di tengah masyarakat.

Dari empat calon bupati, sosok Muharram menjadi distingtif, namanya belum pernah berenang dalam birokasi baik sebagai eksekutif maupun legislatif di Aceh Besar. Memang, hampir nyaris tak pernah terdengar berita tuna dan cupa (rusak, red) tentang Muharram sebagai eks kombatan. Setiap berkunjung ke Aceh Besar, saya kerap melontarkan pertanyaan survey permukaan, siapa yang layak dipilih untuk memimpin Aceh Besar, banyak responden memberi jawaban dan menyebut nama Muharram. Metode ringan ini, saya pelajari saat masih menjadi bagian dari surveyor salah satu lembaga survey nasional. Tampaknya, sosok Muharram memang dekat dan melekat dengan masyarakat. Beberapa kali ia bercerita mengenai wacana “memerdekaan Aceh Besar” dari keterpurukan, ia menyesali letak Aceh Besar dengan luas 2.903,49 Km2 dan berdampingan dengan ibukota Aceh justru masih terseok dalam persoalan sosial dan kemiskinan.

Syeh Muharram sering dipandang oleh sebagian besar masyarakat tampil berbeda dari kelaziman eks kombatan lain yang acap dianggap berpenampilan agensi elit, sebagian “melenceng” sebagai “ratu adil” dalam harapan orang Aceh selama dua puluh tahun. Bahkan, saat mesin partai lokal yang didominasi dan identik sebagai wadah melanjutkan perjuangan eks kombatan sering mendapat rapor merah di beberapa daerah. Tapi Syeh Muharram beda. Ia menjadi eks kombatan yang dicintai rakyat dari awal hingga kini.

Kehadiran Syeh Muharram dengan kemenangan mutlak tentu bagian kaget demokrasi. SM yang tampil dengan gaya Teungku, pengurus masjid dan dekat dengan masyarakat adalah pengecualian dalam kondisi patah arang. Identitas sebagai eks kombatan yang hari ini kerap disindir oleh masyarakat saat diberi kepercayaan, Syeh Muharram justru mendapat tempat luhur di tengah masyarakat Aceh.

Syeh Muharram dan Tantangan Demokrasi Parlemen

Syeh Muharram mencatat sejarah penting dalam perjalanan demokrasi Aceh dan Indonesia, di mana kemenangan calon independen dapat dihitung jari. Di Aceh sendiri, setelah tahun 2007, saat Irwandi dan Muhammad Nazar pertama sekali memenangkan pilkada di Aceh melalui jalur independen, setelah itu nyaris tidak ada.

Maju sebagai calon independen tentu berat, selain tidak terikat dengan partai politik pengusung, mereka harus mendapat dukungan maksimal dari masyarakat.

Idealnya, jika partai politik mampu menguasai legislatif melalui wakilnya di parleman, suara calon kepala daerah seharusnya juga mengalir pada mereka yang didukung oleh partai politik, alasan paling ideal mengingat parpol memiliki basis massa yang jelas, dan kuat secara elektoral.

Kelembagaan partai pun jelas, dari level nasional, provinsi, kabupaten, kecamatan hingga level kampung.

Namun, kemenangan independen seperti di Aceh Besar menjadi nilai tersendiri dalam demokrasi yang kian tampak absurd. Demokrasi yang seharusnya berpihak pada mesin partai, justru masih memberi ruang kesempatan bagi independen dan eks kombatan seperti Syeh Muharram. Artinya, ada ruang kepercayaan yang cukup tinggi dari masyarakat Aceh bagi sosok seperti SM.

Memang, dalam kontesk pengetahuan demokrasi, semua bisa diukur. Elektabilitas dan popularitas SM tampaknya berada di garda depan sebagai calon independen dan struktur kemenangan yang solid. Namun, menjadi calon independen juga punya tantangan baru saat menjabat, kesulitan memperoleh dukungan politik di parlemen tentu akan menjadi persoalan tersendiri. Apalagi, pragmatisme politik partai menjadi tontonan dalam ruang demokrasi.

Dua dekade lebih Aceh dipimpin oleh eks kombatan, perubahan berarti memang belum maksimal. Dari 23 kecamatan di Aceh Besar, Syeh Muharram menang di 15 kecamatan. Artinya ia dipercaya penuh dan mendapat ruang elektabilitas oleh masyarakat Aceh Besar. SM juga memiliki peluang memulihkan kepercayaan masyarakat pada kelompoknya.

Berdasarkan data sensus demografis, jumlah penduduk Aceh Besar hampir mencapai 450 ribu jiwa, dengan angka pengangguran terbuka 8.17 persen dan penduduk miskin sebesar 13.38 persen. Kabupaten dengan 23 kecamatan dan 604 gampong ini, 90 persen bercorak agraris dan 10 persen adalah penduduk pesisir.

Dalam catatan kepemimpinan bupati di Aceh Besar belum pernah terjadi kesempatan memimpin dua periode. SM tampil sebagai bupati pilihan dengan segudang ekspekstasi masyarakat Aceh Besar. Ia tampil sebagai agensi politik dalam struktur masyarakat yang kehilangan harapan.

Sejarah sebagai calon independen telah diraihnya, pun demikian untuk mengubah catatan sejarah menjadi dua periode, SM yang kerap tampil tenang dan santun perlu bekerja maksimal membangun Aceh Besar. Tidak cukup menenteng karisma dan elektabilitas semata.

Artikel SebelumnyaMuhammad Saman Nahkodai Forum Pemred SMSI Aceh
Artikel SelanjutnyaPemerintah Aceh Akan Bangun Kembali Dayah Babul Maghfirah

1 COMMENT

  1. KRUE SEUMANGAT.
    Selamat & Sukses kepada Syeh Muharram dalam menakhodai Aceh Besar.

    Ingat pesan wali neugara:

    Our fight is not about power, it is about dignity. It is only when all Acehnese have our dignity restored that we will be free,” (Tgk.Hasan di Tiro)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here