
Komparatif.ID, Banda Aceh— Bulan Ramadan selalu menjadi momen istimewa bagi umat Islam di seluruh dunia. Namun, di tengah gegap gempita suasana bulan suci, apakah kita benar-benar memahami makna mendalam di balik ibadah ini?
Dalam Ngabuburit Filsafat Islam yang digelar oleh Deputi Perguruan Tinggi Yayasan Hikmat Al-Mustafa bersama STAI Sadra dan ASAFI Indonesia, Prof Dr Syamsul Rijal MAg, Guru Besar Filsafat Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh, menyoroti dimensi filosofis Ramadan yang sering kali luput dari perhatian.
Menurut Prof Syamsul, Ramadan bukan sekadar ritual menahan lapar dan dahaga, melainkan sebuah proses refleksi diri yang lebih dalam.
Saat Ramadan, manusia diajak untuk merekonstruksi nilai-nilai kehidupan yang lebih bermakna. Kejujuran, keadilan, dan toleransi bukan hanya sekadar jargon, tetapi harus menjadi bagian dari praktik sehari-hari yang diwujudkan dalam kehidupan sosial.
Baca juga: Orasi di IAI al-Aziziyah, Prof. Syamsul Rijal Bahas Paradigma Kemanusiaan
Ramadan sejatinya adalah momentum introspeksi, bukan sekadar seremonial tahunan yang berlalu tanpa makna. “Ramadan bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi merupakan momentum introspeksi diri dan penguatan ikatan sosial,” kata Syamsul dalam pemaparannya, Jumat (7/3/2025).
Namun, tantangan di era modern semakin besar. Prof Syamsul menyoroti bagaimana arus materialisme yang begitu kuat di bulan Ramadan justru bisa mengaburkan esensi ibadah itu sendiri.
Fenomena konsumtif meningkat, dari belanja berlebihan hingga gaya hidup hedonis yang justru bertentangan dengan semangat kesederhanaan Ramadan.
Media sosial, yang seharusnya menjadi alat komunikasi dan edukasi, justru sering memperparah tren ini dengan menampilkan kemewahan dan gaya hidup yang tidak sesuai dengan nilai Ramadan.
“Godaan materialisme di bulan Ramadan semakin kuat dengan eksposur media sosial. Kita perlu menjaga keseimbangan antara spiritualitas dan materialisme,” ujarnya.
Dalam menghadapi tantangan ini, Prof Syamsul mengajak masyarakat untuk lebih bijak dalam menyeimbangkan spiritualitas dan materialisme.
Ramadan seharusnya menjadi kesempatan untuk membangun kesadaran kolektif, mempererat solidaritas sosial, serta menanamkan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih luhur.
Prof Syamsul menyebut Ramadan merupakan waktu untuk kembali ke nilai-nilai fundamental dalam kehidupan: kejujuran, kesederhanaan, dan kepedulian terhadap sesama.
Menurutnya, jika Ramadan hanya dijalani sebagai rutinitas tahunan tanpa refleksi mendalam, maka maknanya akan mudah tergerus oleh arus zaman.
“Ramadan harus menjadi momentum pembaruan diri dan masyarakat, bukan sekadar rutinitas tahunan. Mari kita jaga keseimbangan antara dimensi spiritual dan kebutuhan material,” tutup Syamsul.