
Komparatif.ID, Banda Aceh— Sidang lanjutan sengketa lahan antara 28 Kelompok Tani dari Kecamatan Babah Rot, Aceh Barat Daya, melawan Gubernur Aceh dan PT Dua Perkasa Lestari (DPL) kembali digelar dengan agenda pembuktian di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh pada Rabu (7/5/2025)
Gugatan 28 kelompok tani bermula dari terbitnya Izin Usaha Perkebunan Budidaya yang diberikan oleh Gubernur Aceh kepada PT DPL seluas 2.600 hektare di wilayah yang diklaim telah dikuasai dan diusahakan masyarakat selama puluhan tahun.
Penerbitan izin ini dinilai kelompok tani cacat prosedur karena tanpa konsultasi publik dan tanpa ganti rugi.
Dalam persidangan yang dimulai pukul 10:25 WIB, kuasa hukum penggugat menghadirkan dua saksi yaitu mantan Ketua Pemuda Gampong Pante Cermin dan seorang petani penggarap lahan.
mantan Ketua Pemuda Gampong Pante Cermin menjelaskan lahan yang kini dikelola oleh PT DPL sebenarnya berada di wilayah Gampong Pante Cermin, bukan di Desa Ie Mirah atau Krueng Seumayam sebagaimana disebutkan dalam izin.
Ia menegaskan masyarakat memperoleh lahan perkebunan tersebut masing-masing seluas dua hektare dari Ketua Kelompok Tani, berdasarkan arahan Bupati Aceh Barat Daya kala itu, Akmal Ibrahim.
Saksi kedua yang juga menjadi korban penggusuran memaparkan ia telah mulai membuka dan menggarap lahan sejak 2002. Lahan tersebut ditanami kelapa sawit dari bantuan pemerintah, serta tanaman durian, pinang, dan pisang.
Pada 2006, ia memperoleh surat sporadik dari Geuchik Gampong Pante Cermin melalui kelompok tani Panton Makmu Leubok Raja.
Namun, lanjutnya, ia menerangkan lahan yang ia garap tersebut kemudian digusur oleh pihak keamanan PT Dua Perkasa Lestari yang dibantu dengan oknum anggota Brimob.
Baca juga: Petani Abdya Gugat Izin Perkebunan PT Dua Perkasa Lestari
Penggusuran paksa tersebut dilakukan dengan cara menumbangkan tanaman Kelapa Sawit dan tanaman lain miliknya dengan alat berat (beko) oleh petugas PT Dua Perkasa Lestari dan pihak PT. Dua Perkasa Lestari kemudian mengganti tanaman Kelapa Sawit miliknya tersebut dengan tanaman Kelapa Sawit milik PT Dua Perkasa Lestari.
Kedua saksi kemudian menerangkan PT. Dua Perkasa Lestari juga menggunakan oknum aparat Brimob untuk mengintimidasi, mengusir dan mengancam masyarakat kelompok tani yang akan kembali ke lahan tersebut.
Bahkan pernah melepaskan tembakan kepada petani lainnya guna menakut-nakuti petani agar tidak lagi datang ke kebun miliknya tersebut
Kedua saksi mengatakan lahan tersebut memang benar berlokasi di Gampong Pante Cermin dan saat ini lahan terebut sudah dikuasai oleh PT Dua Perkasa Lestari tanpa dilakukanya ganti rugi apapun kepada masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Tani.
Sebelumnya, pihak penggugat juga menyerahkan 79 dokumen bukti untuk memperkuat gugatan. Gugatan ini diajukan oleh 28 kelompok tani yang tergabung dalam Koperasi Sawira dan difasilitasi oleh Forum Bangun Investasi Aceh (ForBINA).
Direktur ForBINA, Muhammad Nur, yang juga hadir dalam sidang mengatakan konflik ini mencerminkan persoalan serius dalam tata kelola izin perkebunan di Aceh. Menurutnya, izin yang diberikan kepada PT DPL tidak memperhatikan keberadaan masyarakat lokal yang telah lama menggantungkan hidupnya dari lahan tersebut.
“Lahan sawit bantuan pemerintah yang sudah dikelola warga bahkan ikut ditebang. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi juga pengabaian hak-hak masyarakat,” ujarnya.
M Nur menegaskan gugatan ini menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola izin usaha perkebunan di Aceh secara menyeluruh. Ia menyebut kasus serupa juga terjadi di beberapa kabupaten lain seperti Aceh Selatan, Bireuen, Singkil, Subulussalam, dan Aceh Tamiang.
“Ini bukan soal menolak investasi, tapi tentang memastikan agar investasi tidak mencederai hak-hak rakyat, tidak menggusur sumber penghidupan, dan tidak memperparah kemiskinan,” tegasnya.
Persidangan dijadwalkan berlanjut dengan agenda mendengarkan keterangan saksi lainnya, sebelum majelis hakim memutuskan legalitas penerbitan izin oleh Gubernur Aceh tersebut.