Komparatif.ID, Banda Aceh—Pelaksanaan syariat Islam di Aceh yang telah dilembagakan melalui qanun, hanya sibuk memberikan hukuman, tapi minim pembinaan. Dalam penataan sejumlah aturan yang bersendikan Islam, ulama hanya dilibatkan sebagai “stempel”, tanpa diikutkan dalam pembahasan draft rancangan qanun.
Demikian disampaikan oleh Teungku H. Muhammad Yusuf A. Wahab (Tu Sop) Jeunib, Senin (18/2022) pada pengajian rutin yang digelar Dewan Pengurus Aceh Partai Aceh (DPA PA). pengajian kali ini membahas tentang pelaksanaan syariat Islam di Aceh.
Tu Sop yang merupakan pemimpin di Dayah Babussalam Al-Aziziyah Jeunib, dalam ceramahnya menyebutkan dirinya prihatin dengan kondisi pelaksanaan syariat Islam di Aceh saat ini. Aturan yang seharusnya dapat memberikan perlidungan menyeluruh itu, belum berjalan maksimal. Hingga saat ini masih fokus pada tindakan pemberian hukuman, sekaligus belum berhasil menjadi ajang pembinaan.
Syariat Islam di Aceh juga belum dilaksanakan secara menyeluruh di semua aspek kehidupan. Akibatnya, di luar Aceh, wajah syariat yang diterapkan di Serambi Mekkah terlihat buruk, menakutkan, tidak bersahabat.
“karena cara dan strategi yang diterapkan selama ini keliru, sehingga akhirnya menjadi bumerang bagi syariat,” ucapnya.
Efek dari kesan yang buruk itu, seakan-akan penerapan Syariat menjadi penyebab menurunnya ekonomi, bertambah masalah sosial—kriminal, narkoba, korupsi–. Padahal bila ingin ditelaah lebih serius, penyebab munculnya ketimpangan di Aceh karena fungsi sesungguhnya dari syariat Islam tidak dijalankan.
“Akhirnya kita sendiri yang menjatuhkan syariat. Sudah kita deklarasikan, tetapi tidak kita fungsikan, sehingga citra syariat menjadi rusak,” ucapnya.
Tu Sop menduga, penyebab tidak berjalannya penerapan syariat Islam di Aceh secara ideal, karena perumus dan pelaksananya bukan berasal dari ahlinya. Sehingga antara semangat dengan praktik, jauh panggang dari api.
Ia menyentil kasus Qanun Lembaga Keuangan Syariah (Qanun LKS), bahwa ulama tidak dilibatkan di dalam pembahasan. Cendekiawan Islam dari unsur ulama dayah hanya diundang di akhir; sebagai legitimasi alias tukang “stempel”.
Tu Sop melihat masih banyak yang menilai ulama tidak memiliki kapasitas dalam merumuskan rancangan peraturan yang berkaitan dengan syariat Islam. Padahal sehari-hari ulama membaca dan mendiskusikan hukum Islam.
“Padahal otoritas syariah itu ada pada ulama,” kata Tu Sop.
Tu Sop berharap Partai Aceh bisa memperjuangkan hal ini, sehingga fungsi-fungsi syariat bisa dijalankan pada semua lembaga pemerintahan.
“Pada masa kesultanan, Islam bisa menjadi mercusuar di Nusantara. Coba tantang apa Islam hari ini di Aceh bisa menjadi mercusuar di Nusantara? Bila kita serius menyelenggarakannya, saya yakin kita kembali mendapatkan kebesaran itu, sebagai mercusuar di Nusantara.”
Partai Aceh, menurut Tu Sop punya andil besar mewujudkan lahirnya tatanan hukum Islam yang madani di Serambi Mekkah. Sebagai salah satu “pabrik” pemimpin, PA punya tugas dan tanggung jawab menata Aceh berlandaskan syariat Islam.
“Kalau kita tidak mau mengubah cara berpolitik, melahirkan leader-leader sesuai sesuai dengan kekhususan Aceh, penerapan ini [syariat Islam] tidak akan jalan. Aceh akan terus berada di tangan yang salah,” ujar Tu Sop.
Pengajian rutin diikuti seluruh pengurus teras DPA PA, antara lain Ketua Umum DPA PA, Muzakir Manaf (Mualem), Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kamaruddin Abubakar (Abu Razak), Juru Bicara Partai Aceh Nurzahri, dan para pengurus teras lainnya. Selain itu juga hadir Ketua DPRA Saiful Bahri alias Pon Yaya, Ketua Fraksi PA di DPRA dan para parlemen lainnya.