PDIP seperti membuka tabir yang selama ini ditutupi. Bahwa sejatinya Megawati tidak pernah benar-benar menyukai Jokowi. Dalam berbagai kesempatan ia selalu ingin terlihat lebih besar dari Presiden Indonesia Ir. Joko Widodo. Kini, mereka saling membuktikan siapa lebih besar di ujung jalan menuju Pilpres 2024.
From zero to hero. Demikianlah Joko Widodo. Ia datang dari kalangan jelata. Meniti karir dari tangga paling bawah. Pernah bekerja di Aceh sebagai karyawan PT Kertas Kraf Aceh (KKA), dan sangat menyukai bandeng panggang yang dijual di Rumah Makan Norma, Bireuen.
Ia bukan siapa-siapa, bahkan saat diajukan sebagai calon Walikota Solo, Jawa Tengah, Megawati menolaknya. Jelata, kurus, ndeso, dan bukan bohir besar. Suami Iriana hanya pebisnis biasa di industri meubel.
Baca: MK Hancurkan Keangkuhan Partai Besar
Tapi Mega akhirnya harus mengalah atas realita. Ia tidak dapat menolak pria kurus dan gemar melucu itu. Joko bahkan berhasil menang dua periode di Solo. Dari sana dia kemudian semakin melejit. Ada upaya membendung pria kurus lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) itu. Tapi jalan sejarah berkehendak lain.
Khusus untuk Joko Widodo, Megawati memang bersikap agak aneh. Ketua Umum PDIP tersebut tidak terlihat berupaya menghormati Jokowi sebagai Presiden Indonesia. Julukan petugas partai, dan pernyataan-pernyataan lain yang bernuansa “lo bukan ape-ape tanpa PDIP” kerap kali menjadi bahan pidato Megawati di depan Jokowi dan hadirin lainnya.
Meskipun diperlakukan begitu buruk oleh ketua Umum PDIP, Jokowi tetap memperlihatkan kesantunan. Ia memilih merendah dan tak ambil hati. Bahkan sebagai Presiden ia “kesepian” di partai beraliran ultra nasionalis- marhaenis-sosialis itu. Citra sebagai petugas partai berhasil dilekatkan kepadanya.
Di luar, oposisi berhasil membangun image Jokowi sebagai boneka aseng, asing dan tidak pro terhadap Islam. Semua orang tentu ingat bagaimana Pilpres 2019 berlangsung. Jokowi bukan sekadar difitnah, tapi sudah dinamimahkan. Bahkan ada penceramah di Aceh yang menganalogikan siapa saja yang memilih Jokowi berarti penghuni neraka.
Setelah memenangkan Pilpres 2019, Jokowi mulai menampakkan siapa dirinya. Pada Pilkada 2020, Gibran Rakabuming Raka dipilih rakyat Solo sebagai Walikota. Demikian juga menantunya Bobby Nasution. Suami Kahiyang Ayu dipilih oleh rakyat Kota Medan, Sumatra Utara sebagai Walikota.
Jokowi mulai menutup telinga atas kritik yang tidak perlu. Dia sedang menunjukkan siapa saja berhak berkompetisi dalam pemilihan umum. Tak peduli itu anak siapa. Anak dan menantu Jokowi juga punya hak yang sama.
Bagaimana soal nepotisme? Sejak kapan orang Indonesia terbebas dari perilaku nepotisme? Baik oposisi maupun pendukungnya sendiri, juga punya perilaku yang sama. Hanya saja praktik nepotisme dilakukan sesuai dengan tingkatan yang berhasil dicapai. Jokowi paham bahwa nepotisme merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari tradisi ketimuran orang Indonesia; dari Sabang sampai Merauke. Juga tradisi para khalifah Islam setelah berlalunya era khulafaur rasyidin.
Soal Gibran dan Bobby tak disoal PDIP. Karena mereka juga maju menggunakan baju PDIP. Hingga akhirnya, polemik politik Pilpres 2024 semakin tajam, dan Jokowi disebut-sebut memainkan peranan yang cukup besar. Nyaris semua yang berkepentingan dalam pemilu mendekati dirinya. Mencoba meyakinkan Jokowi bila mereka menang cita-cita Jokowi akan dilanjutkan.
Sejumlah drama terjadi, meski terlihat sangat mendukung Ganjar Pranowo, tapi putra sulung Joko Widodo justru dilamar oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) sebagai pendamping Prabowo Subianto.
Gontok-gontokan politik semakin terang benderang. Meski sejumlah pihak menerka bila Jokowi sedang memainkan politik menaruh telur tidak boleh dalam satu keranjang, tapi suasana antara PDIP versus Joko Widodo kian membara di permukaan.
Lalu, adakah semua ini ada kaitannya dengan upaya membendung berpindahnya dukungan rakyat kepada Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar yang diusung oleh NasDem, PKS, dan PKB? Ataukah ini benar-benar luapan kekecewaan Jokowi terhadap PDIP yang sepanjang ia menjabat menganggapnya petugas partai?
Lalu, bagaimana dengan Gibran? Terlepas apakah ini balas dendam, atau strategi membendung Amin, mungkinkah Jokowi mengorbankan putra sendiri? Sepertinya tidak mungkin. Jalan sejarah telah membuktikan bila Joko Widodo bukan Sengkuni. Ia putra Solo yang punya nurani. 10 tahun memimpin Indonesia, di tengah gelombang besar perubahan dunia, suami Iriana mampu bertahan. 10 tahun memimpin Indonesia diiringi sumpah serapah dan cacian hingga ke hal paling hakiki; keimanan dan kehormatan keluarga, Jokowi tetap mampu menakhodai Indonesia dengan penuh kesabaran. Benar bahwa tidak ada yang sempurna. No body is perfect. Tapi 10 tahun ia memimpin Indonesia, kita telah lebih baik di tengah carut-marut dunia.
Genderang perang telah ditabuh. Gibran menjadi simbol bila kongsi antara Joko Widodo dan PDIP telah berakhir. Atau setidaknya, Mr. Presiden sudah menunjukkan bahwa Mega bukan siapa-siapa bila terus melecehkan dirinya.
Akankah Gibran dapat membuktikan bahwa dirinya bukan anak mami? Akankah dirinya dapat membuktikan bila dirinya pantas menjadi bagian dari elit Indonesia? Hal paling penting. Bila benar Mega dan Mr. Presiden telah pecah kongsi, Pilpres 2024 merupakan pembuktian, siapa lebih besar antara keduanya.