Pada akhir November 2011 saya mendapat undangan dari The Sasakawa Peace Foundation, Tokyo, untuk menghadiri dua acara. Pertama, mengikuti kuliah umum Martti Ahtisaari, Presiden Finlandia ke-10 (1994-2000) dan pemenang hadiah Nobel tahun 2008, bertempat di di Hotel Okura, 24 November.
Kedua, menjadi narasumber dalam roundtable discussion forum (RDF), di mana saya bicara tentang peran Jepang dalam perdamaian di Asia Tenggara, di depan para mahasiswa program doktor dan master peminat resolusi konflik dan perdamaian dari beberapa universitas di Tokyo, Kyoto, dan Osaka.
Ahtisaari dan saya diinapkan di hotel yang sama, Grand Hyatt Tokyo dan kami selama tiga hari, selalu sarapan bersama. Dua orang asisten dari Crisis Management Initiative (CMI) selalu menemani beliau. Dalam jamuan makan malam pertama, Ahtisaari menyatakan keprihatinannya terhadap keadaan di Aceh sepanjang Oktober dan November yang “sangat panas” karena menjelang pilkada. Ada kasus pembakaran dan penembakan. Total yang tewas sekitar 10 orang.
“Apa yang terjadi di sana? Mengapa harus ada kekerasan semacam itu? Apakah Anda mendapatkan update terakhir?” Itu beberapa pertanyaan dari Ahtisaari. “Aceh harus terus damai. Mereka sudah menandatangani naskah yang bersejarah pada Agustus 2005 dulu di Helsinki,” Ahtisaari menambahkan.
Pertemuan saya dengan Ahtisaari di Tokyo itu merupakan pertemuan yang kedua. “Oya? Kapan yang pertama?” beliau bertanya. “Ketika yang mulia berkunjung ke Banda Aceh. Februari 2009 untuk memantau perdamaian Aceh. Dalam salah satu acara Anda mengundang sekitar 16 orang tamu untuk berbincang-bincang dengan Anda di di Europe House, Banda Aceh.”
Besok saat sarapan di restoran, “Tentang pertemuan di Aceh yang Anda ceritakan semalam, apakah Anda ada menyampaikan sesuatu kepada saya saat itu?” Saya pun tersenyum. “Ya saya berbicara bicara tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh saat itu,” kata saya.
Saat itu di Aceh ada pihak yang berpendapat bahwa kehadiran KKR akan membuka luka-luka lama. Kemudian ada juga yang merasa bahwa dengan hadirnya KKR maka sejumlah orang akan diadili di pengadilan. KKR seperti tak diinginkan. Huruf “R” dalam KKR seperti dilupakan.
“Sebagai respons, Anda mengatakan bahwa para pihak harus memahami dengan benar KKR. Perlu melihat semisal di Afrika Selatan. Anda menekankan bahwa penting para pihak untuk membentuk KKR seperti disebut MoU Helsinki dan juga di dalam UU Otonomi Aceh.” Saya meringkaskan apa yang masih saya ingat. “Oh….I see….thank you Saifuddin,” beliau merespons balik.
Sekitar pukul 14.30 Ahtisaari dan saya (dengan mobil terpisah, tentu saja) menuju ke Hotel Okura. Ball room hotel penuh sesak. Ahtisaari bicara sekitar 30 menit. Topik pembicaraannya “On peace mediation—learning from the experiences of President Ahtisaari.”
Kontribusi Ahtisaari untuk perdamaian memang sangat diakui dunia. Dia adalah ketua panel independen tentang keamanan dan keselamatan personel PBB di Irak (2003), Utusan Khusus PBB untuk Tanduk Afrika (Somalia dan bagian tetangga Afrika timur laut, 2003-2005), dan Utusan Khusus Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk proses status Kosovo (November 2005-Februari 2008). Tentu, yang tak kalah pentingnya adalah keberhasilannya memfasilitasi atau memediasi proses perdamaian antara Pemerintah Indonesia dan GAM.
Saya ingat beberapa hal yang ia sampaikan. Menjadi perantara perdamaian itu harus berlaku jujur. “Penting bagi pihak yang bernegosiasi tahu siapa saya, apa yang saya perjuangkan, dan di mana saya menarik garis merah” katanya. (Konon, garis merah dalam perundingan GAM dan RI adalah tidak membicarakan kemerdekaan Aceh).
Salah seorang peserta bertanya tentang sikap Ahtisaari jika pihak yang berunding menyampaikan hal-hal yang tak masuk akal di meja perundingan. Saya senang saat Ahtisaari mengaitkan jawabannya dengan perundingan GAM dan RI. Katanya, “mediator harus menilai apa yang masuk akal dan apa yang tidak. Ketika saya menangani konflik Aceh, misalnya, melucuti senjata GAM, dan ini terbukti mungkin.
“Namun, sebagai balasannya, GAM menuntut agar militer tetap pada pertahanan dan meninggalkan peran kepolisiannya. Lalu kami berdiskusi tentang berapa banyak pasukan yang diizinkan di Aceh.” Pada kesempatan itu Ahtisaari juga menyinggung tentang partai politik lokal. “Partai politik olitik lokal harus diizinkan, dan pemerintah juga menerimanya,” kata Ahtisaari.
Dalam forum tersebut, Ahtisaari beberapa kali disebut sebagai “a man of peace.” Saya menambahkan, beliau juga a wise man. Juru damai yang bijak. Sangat rapi dalam bertutur sapa. Respek kepada lawan bicara. Merespons pertanyaan-pertanyaan dengan sungguh-sungguh.
Saat sarapan pagi hari terakhir, Martti memberikan sebuah buku “The Legacy of Marrti Ahtisaari” kepada saya. “Saat sudah selesai Anda baca di Aceh, sampaikan kepada saya apa yang Anda pikirkan” pesannya sambil menyerahkan kartu namanya kepada saya.
Saya tak menyampaikan apa yang saya dapatkan dalam buku tersebut. Terlalu segan mengirimkan e-mail kepada sosok sekaliber beliau. Kini damai Aceh sudah 17 tahun. Mari kita kenang kembali Martti Ahtisaari sebagai aktor utama dalam panggung sangat penting pada 15 Agustus 2005 di Helsinki.