Duduk sambil menunggu perbaikan arloji di emperan pertokoan jalan Basuki Rahmat Surabaya, saya ditanya tukang service, “Sampean ini sarjana apa? Bahasa atau matematika?”
Pertanyaan spontan. Saya kaget.Tapi saya kira ia bertanya karena kami berdua sudah agak lama bicara.
Saya memang jujur menjawab, “benar, saya sarjana” tapi tidak merinci sarjana apa. Lalu ia berceritera panjang-lebar. Saya diam sambil merekam semua yang ia ceriterakan. Ini kesempatan dapat “kuliah” gratis dan sangat memperkaya saya.
Baca: M. Rizal, Anak Muda yang Fokus Bangun Usaha Mandiri
Saya pun akhirnya pamit dan berjalan pulang, sambil bertanya pada diri sendiri, sarjana itu apa? Kelasnya apa ya: jelata, jongos, pengabdi atau pe (me) rintah?
Eh, ternyata tentang siapa itu seorang sarjana, seingat saya sang raksasa Sastra Rusia, Leo Tolstoy pernah mengatakan, “Sarjana bukanlah orang yang sudah tamat dilatih untuk menyesuaikan diri dengan masyarakatnya. Melainkan, ia tamat berlatih mempersiapkan diri untuk hidup secara kreatif di antara batas-batas masyarakat yang diwarisi dari generasi sebelumnya, atau ia siap mengubah masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan tantangan-tantangan baru.”
Baca: Marhadi & Hasdiana, Sukses Sarjanakan Cahaya Mata
Tolstoy sungguh benar. Apa yang ia katakan mengandung makna, seorang yang sudah menjadi sarjana, modal utamanya adalah pengetahuan dan kreativitas.
Sarjana Apa? Tak Penting!
Dengan butiran pengetahuan, seorang sarjana mestinya punya potensi untuk mampu berpikir lebih jauh, dalam dan lebar. Dengan serpihan kreativitas, seorang sarjana mestinya mampu mencipta peradaban baru yang dapat dinikmati oleh orang lain.
Seorang sarjana yang mampu menggunakan pengetahuan dan kreativitasnya secara baik dan benar, akan menjadi pribadi yang sungguh berarti untuk generasi dalam kurun zaman yang terus bergulir membawa namanya sampai kapanpun.
Kamu sarjana apa? Sarjana apa pun boleh. Yang penting mampu berpikir lebih jauh dan kreatif. Seharusnya demikian.
Tulisan ini dikutip dari linimasa Frizt Meko.