Marhadi & Hasdiana Sukses Sarjanakan Cahaya Mata

Marhadi
Dari kiri ke kanan: Marhadi, M. Rizal, Mauliza, Cut Husna, Muhazir, Hasdiana. Foto: Koleksi M. Rizal.

Komparatif.ID, Bireuen—“Ayah tak punya harta, tapi kalian harus sarjana.” Demikian kalimat Marhadi (59) untuk memotivasi empat anaknya supaya tetap menempuh studi meskipun kondisi ekonomi mereka sedang sulit.

Marhadi merupakan pemimpi besar. Pria kelahiran Bireuen, 12 Desember 1964 hanya mampu menyelesaikan pelajarannya sampai SMP. Ia alumnus SMP Negeri 2 Bireuen. Pria berkulit gelap itu tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi karena terkendala masalah ekonomi.

Pun demikian, meski gagal bersekolah di tingkat formal, ia belajar dari kerasnya kehidupan. Begitu merasa yakin bisa bertarung di pasar, ia keluar dari kampungnya. Ia mencoba peruntungan di sektor transportasi. Berkat kegigihannya, Marhadi akhirnya diangkat sebagai kernet angktan umum antar desa line Bireuen-Matangglumangdua.

Baca: M. Rizal, Anak Muda yang Fokus Bangun Usaha Mandiri

Di masa Marhadi muda, menjadi kernet merupakan pencapaian yang luar biasa di akar rumput. Banyak anak muda yang memimpikannya, karena bila sudah jadi kernet, selangkah lagi menjadi sopir.

Dulu kursus mengemudi hanya ada di kota besar. Jumlah kendaraan bermesin juga masih sangat sedikit. untuk dapat tiket menjadi kernet, harus dimulai dari masuk terminal, menjadi relawan, mencuci mobil, kemudian harland, kernet, baru kemudian menjadi sopir.

Durasi yang dibutuhkan bertahun-tahun. Tidak semudah membalikkan telapak tangan. Integritas, keberanian, dan keramahtamahan haruslah dimiliki supaya berhasil menjadi orang penting di balik kemudi. Satu lagi, mental wajib sangat kuat. Kehidupan terminal sangatlah keras.

Berkat ketekunannya, Marhadi kemudian dipercaya oleh toke menjadi sopir angkutan desa pada line yang sama. Kota Bireuen-Matangglumpangdua.

Pada suatu siang yang panas, pada tahun 1990, Marhadi sedang ngetem di terminal Bireuen. tiba-tiba di depannya melintas seorang dara. Perempuan itu bernama Hasdiana binti Yakob. Dara hitam manis itu bermukim di Teupin Mane, Kecamatan Jeumpa, Aceh Utara. Saat ini Kecamatan Juli, Bireuen.

Dara itu masuk ke dalam kabin labi-labi (sudaco-red) yang sedang menunggu penumpang di terminal umum Bireuen.

Marhadi tertarik. Dia menyapa. Dara itu membalas. “Boleh saya ke rumah kamu?

“Untuk apa,” tanya Hasdiana.

“Melamar kamu menjadi istriku,” jawab Marhadi.

“Kalau berani datang saja,” kata Hasdiana.

Hasdiana mengira bila pria berkumis di depannya hanya bercanda. Ia tidak serius. Setelah pertemuan tersebut dia melupakan apa yang telah mereka bincangkan di siang yang panas itu.

Baca: KBP Muhammad Insja, Pendiri Sekolah Polisi di Aceh

Ternyata lelaki itu serius. Beberapa hari kemudian, pria kurus berkumis itu berdiri di halaman rumah Hasdiana di Teupin Mane. Rumah itu berjarak sekitar empat kilometer dari tepi jalan besar Bireuen-Takengon. Untuk ke sana, dari jalan besar, pria itu berjalan kaki. Sungguh so sweet untuk sebuah perjalanan cinta.

Hasdiana kaget luar biasa. Ia yang baru beberapa bulan lulus Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Bireuen, tak menyangka bila lelaki yang menyapanya beberapa hari lalu benar-benar nekat. Hasdiana khawatir. Pria itu belumlah ia kenali secara dekat. Ia bertambah cemas, karena ayahnya, M. Yakob, dikenal tak kenal kompromi.

Entah apa yang dibaca oleh Marhadi, hari itu M. Yakob pun tidak meledak-ledak. Dia sangat menghargai pria muda yang duduk di hadapannya. “Bila kamu benar-benar serius ingin menikahi putri saya, datanglah kembali, bawa serta orangtua ataupun yang dituakan di gampongmu. Lamar putri sata secara resmi.”

Marhadi tersenyum bahagia. Dia pamit dengan perasaan lega. Dia menang. Hasdiana yang dibuat dag-dig-dug. Kalaulah lelaki itu bercanda: tak kembali setelah itu, apa yang akan terjadi? Ana dilanda dilema.

Satu misteri lagi, Hasdiana disekolahkan di SPG Bireuen, supaya kelak menjadi guru. Tapi baru saja lulus, kok Yakob menerima pinangan, dari laki-laki tak dikenal pula. Inikah jalan Ilahi? Hasdiana hanya dapat meraba-raba jawaban.

Sempat terbersit keinginan bertanya kepada sang ayah. Tapi ia tidak memiliki keberanian yang mencukupi. Di rumah itu, dan umumnya di rumah tangga lainnya di Aceh kala itu, keputusan kepala rumah tangga adalah perintah. Tidak ada ruang negosiasi.

Lagi-lagi, Marhadi membuat kejutan. Beberapa hari kemudian, rombongan dari Cot Putek datang melamar. Pinangan itu diterima. Mereka menikah tahun itu juga.

Tahun 90-an merupakan masa-masa sangat kelam di Aceh, termasuk Bireuen. Pemerintah baru saja menerapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Namanya Operasi Jaring Merah. Pasukan tempur pemerintah memburu Angkatan Gerakan Aceh Merdeka yang kala itu dikenal dengan sebutan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK).

Setelah melangsungkan pernikahan dan menggelar pesta sederhana, Marhadi merantau ke Julok, Aceh Timur. Di sana dia bekerja sebagai kernet angkutan.

Saat tunangan, ia membelikan Ana satu baju kemeja lengan pendek warna biru. Baju itu sangat disayang oleh Ana. Maklumlah, pemberian dari yang terkasih.

Setelah menikah, keadaan ekonomi mereka masih sangat awut-awutan. Dalam kondisi pengantin baru, mereka harus saling berjauhan. Rindu pasti datang. Bila rindu tiba, keduanya hanya dapat mengenang wajah sang tercinta yang seakan-akan sedang tersenyum di atas awan.

Setiap rindu tak dapat lagi ditahan, Marhadi pulang. Di sela-sela “cuti” Marhadi Mar sering meminjam baju kemeja biru untuk menghadiri kenduri. Hasdiana tentu memberikannya. Kemeja unisex itu memudahkan mereka saling bertukar pakai.

Tahun 1991 putra pertama mereka lahir. Marhadi kembali ke Bireuen dan menetap secara permanen. Sejak kelahiran putranya, ia bertekad bahwa apa yang ia alami jangan diulang lagi oleh cahaya mata mereka. caranya? Ia akan memberikan pendidikan terbaik sejauh ia sanggup. Kesanggupan yang ia tancapkan menembus batas. “Aku boleh tak sempat SMA, tapi anak-anakku harus sekolah setinggi-tingginya.” Demikian tekad sang ayah muda di dalam hati. Tekad itu diamini oleh sang istri.

Komitmen itu mereka jalankan dengan segenap jiwa. Hasdiana yang lulusan SPG mencoba peruntungan menjadi guru sekolah dasar. Siapa tahu suatu saat akan diangkat menjadi pegawai negeri. Marhadi bekerja mocok-mocok hingga akhirnya menjadi agen jual beli mobil bekas.

Seiring waktu, setelah M. Rizal lahir pada 1991, seorang putri juga lahir. Dara kelahiran 1993 itu diberi nama Mauliza. Selanjutnya pada tahun 1995, seorang putra lainnya juga lahir. Diberi nama Muhazir. Tahun 2000 Cut Husna juga dilahirkan ke dunia. Setelah empat orang anak lahir ke dunia, mereka bersepakat bahwa cukup empat anak saja. Dua angka lebih tinggi dari program Keluarga Berencana (KB) yaitu cukup dua anak saja.

Meski tak mudah, semuanya diberikan kesempatan mewujudkan mimpi masing-masing. Marhadi dan Hasdiana menjadi motor penggerak, sedangkan anak-anaknya melaju di jalan pendidikan.

“Jaga marwah kami, jangan permalukan kami. Ayah dan ibu akan bekerja keras supaya kalian semua menjadi sarjana,” kata Marhadi, tiap kali berbincang dengan anak-anaknya.

Kini, empat putra-putrinya, semuanya telah sarjana. Ns. M.rizal, S.Kep, CAN. alumni profesi ners STIKES Muhammadiyah Lhokseumawe. Ns.Mauliza, S.Kep, CTTC. alumni profesi ners STIKES Muhammadiyah Lhokseumawe. Muhazir, S.Kom, alumnus Universitas Almuslim, dan Cut Husna, S.Pd, lulusan PAI IAIN Lhokseumawe. Si bungsu ditabalkan sebagai sarjana pada Juli 2023.

Sebagai bonus, kakek tiga cucu itu juga berhasil mengantarkan istrinya menjadi Sarjana Pendidikan, yang lulus di PGSD Universitas Almuslim. Hasdiana gagal menjadi guru yang berstatus pegawai negeri. beberapa tahun lalu, karena alasan kesehatan, dia berhenti mengabdi untuk mencerdaskan anak bangsa di tingkat paling bawah. Ia “pensiun” tanpa SK.

Di hari-hari tua, keduanya yang bermukim di Gampong Uruek Anoe, Juli, Bireuen, hidup damai. Aktivitasnya sebagai agen mobil bekas, tidak lagi dilakukan secara ketat oleh sang pria hitam manis bermisai tebal. Di rumah mungil, keduanya seringkali bermain dengan cucu-cucu yang silih berganti datang menjenguk kakek dan nenek.

“Kami tidak meninggalkan harta selain rumah tua ini. Anak-anak semuanya telah kami sekolahkan hingga sarjana. Itulah modal mereka bertarung mewujudkan impian masing-masing,” kata Marhadi yang dibarengi senyum Hasdiana.

Bagaimana dengan baju kemeja warna biru? Ternyata baju itu masih mereka simpan di lemari. Baju itu merupakan saksi bisu perjalanan kisah cinta mereka dalam mengarungi samudera cinta, yang terkadang manis, terkadang asam, sering pula asin. Seperti rasa permen yang pernah sangat banyak diiklankan di televisi.

Apa yang mereka idamkan? Semoga anak-anak mereka tetap berperilaku santun, ramah, fokus pada impian, dan jangan sekali-kali bertindak curang.

Artikel SebelumnyaSaingi ChatGPT, Elon Musk Dirikan Startup Kecerdasan Buatan xAI
Artikel SelanjutnyaMengenal Lebih Dekat Ganjar Pranowo
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here