Komparatif.ID, Banda Aceh—Jumlah UMKM di Aceh mencapai 624.521 unit. Tersebar di 23 kabupaten/kota. Lalu,Aceh berada di peringkat nasional dalam hal jumlah UMKM. Tapi mengapa pertumbuhan perekonomian Aceh stagnan?
Kadis Koperasi dan UMKM Aceh Azhari, S.Ag.,M.Si, dalam Simposium Ekonomi Aceh, yang dihelat oleh PWI Aceh dan Bank Syariah Indonesia Regional Aceh, Kamis (24/4/2025) mengatakan jumlah UMKM di Aceh 624 ribu lebih. Dengan jumlah yang begitu besar, UMKM berstatus mikro mencapai 622.394 unit, berstatus kecil 1.839, dan yang berstatus menengah hanya 288 unit.
Azhari dalam presentasinya menyebutkan meskipun jumlah UMKM di Aceh mencapai ratusan ribu unit, tapi belum mampu menjadi tulang punggung ekonomi. Jumlah UMKM tidak berbanding lurus dengan peningkatan ekonomi di Serambi Mekkah.
Dalam hal keuangan dan pendapatan, Aceh sampai saat ini mengalami budget shock. Pertumbuhan ekonomi Aceh stagnant dan melambat. Pertumbuhannya sangat bergantung kepada Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) dan Anggaran Pendapatan Belanja Kabupaten (APBK).
Sampai dengan jelang berakhirnya dana otonomi khusus, Aceh belum mampu menjadi daerah yang mandiri fiskal.
Sumber pendapatan ekonomi baru yang potensial—bila digarap serius—yaitu industri, investasi, pariwisata, dan UMKM.
Perihal UMKM, Azhari tidak bicara bagaimana cara memajukan UMKM di Aceh. Hanya saja dia mengatakan bahwa penguatan UMKM rakyat Aceh masuk dalam 21 rencana prioritas pemerintahan Mualem-Dek Fadh.
Dari segi pembiayaan, Azhari mengatakan, untuk tahun 2025 —dihitung Januari hingga Maret, kredit usaha rakyat (KUR) yang sudah disalurkan perbankan untuk UMKM di Aceh sebesar Rp1,8 triliun.
Namun ada persoalan mendasar yang menjadi tantangan, masih banyak pelaku UMKM yang berusaha sekadar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Masih Sedikit para pelaku usaha [UMKM] yang memiliki keinginan untuk tumbuh [lebih besar].
Pendapat tersebut lahir setelah melihat proporsi rasio kewirausahaan yang dibantu buruh tetap dengan Angkatan kerja pada tahun 2023 yang hanya 3.04 persen.
Zubir Marzuki, praktisi perdagangan, secara terpisah mengatakan, stagnannya pertumbuhan ekonomi Aceh, karena Pemerintah Aceh tidak mengurus ekonomi secara benar. Mereka sibuk memunculkan perpanjangan dana otsus sebagai ruang ekonomi Aceh. Tapi mengabaikan potensi dana pangan yang setiap tahunnya mencapai Rp52 triliun.
Baca juga: Tips Supaya Produk UMKM Aceh Tembus Pasar Internasional
Dana pangan yang begitu besar, bermuasal dari kantong-kantong rakyat, yang dibelanjakan ke luar daerah, sehingga uang di kantong rakyat hanya berputar sekali di Aceh, dan kemudian mengalir deras keluar daerah.
Zubir Marzuki mengatakan mustahil bicara peningkatan perekonomian ketika pemerintah tidak tahu potensi yang sebenarnya.
“Produk pangan merupakan kebutuhan sehari-hari. Tidak bisa tidak ada. Sektor ini sangat banyak menghasilkan uang. Tapi sampai sekarang tidak digarap,” kata Zubir Marzuki.
Adron, seorang diaspora Aceh di Amerika Serikat, Jumat (2/5/2025) mengatakan meskipun jumlah UMKM di Aceh sangat banyak, tapi produknya masih banyak yang belum layak go global. Produk Aceh yang sudah go internasional hanyalah kopi dan sawit.
Adron menjelaskan, dengan jumlah UMKM di Aceh yang begitu besar, pemerintah harus melakukan sejumlah Langkah, supaya sektor tersebut dapat menjadi salah satu tulang punggung ekonomi.
Dia menyarankan supaya dipilih beberapa produk yang dijadikan pilot project, kemudian kualitasnya ditingkatkan. Dalam konteks ini harus melibatkan para ahli di bidangnya.
Perlu dibangun jaringan distribusi supaya produsen bisa terhubung dengan pembeli. Dalam konteks ini, dapat dilakukan dengan konsep cooperative alliance. Para produsen dan buyer bekerja sama untuk tujuan yang sama dan keuntungan yang sama.
Dengan jumlah UMKM di Aceh yang begitu banyak, harus ada skenario menjadi pemenang di pasar lokal. Pasar lokal sangat potensial karena hambatan masuknya tidak seberat market nasional dan internasional.
Di sini pemerintah harus menjadi mediator. Di bidang perizinan jangan ada yang dipersulit. Bila perlu, izin disediakan gratis bagi yang mau berusaha, dan bila perlu bebaskan pajak—misalnya bebas pajak selama dua tahun.
Di samping itu pemerintah meminta bantuan universitas-universitas yg menerima dana dari pemerintah, untuk membantu usahawan UMKM dalam bidang product improvements melalui riset, management usaha, financial management, memahami regulasi dan perpajakan.
“Dengan begitu usahawan UMKM bukan saja bisa memperbaiki produknya,tapi juga bisa menjalankan usaha secara profesional.
Hal utama yang tidak boleh diabaikan adalah pendanaan. Pemerintah harus bekerjasama dengan lembaga keuangan untuk menyediakan pinjaman lunak kepada usahawan UMKM.
“Dari segi financial kita juga perlu solusi out of the box. Misalnya membentuk Aceh Funds yang bisa menghimpun dana melalui jualan saham atau obligasi. Semua orang Aceh bisa beli saham tersebut. Jadi orang-orang Aceh diaspora juga bisa ikut partisipasi dalam meningkatkan ekonomi Aceh. Dana Aceh Funds bisa digunakan untuk membantu usaha UMKM. Saran ini perlu dipelajari lebih detail,” sebutnya.