Ethiopia, dari Miskin Menjadi Negara Kaya di Afrika

Ethiopia
Negara Ethiopia bangkit dari keterpurukan. Salah satu proyek besar yang dibiayai melalui obligasi dan pajak yaitu bendungan raksasa di Blue Nile, yang membuat Mesir ketar-ketir. Foto: GNFI.

Tentang penderitaan rakyat Ethiopia pernah dikemas dalam sebuah lagu balada oleh Iwan Fals, membuat kita pernah meliriknya dengan rasa sedih. Liriknya padat derita. Tapi kini, Ethiopia berubah menjadi negara penuh harapan di tanduk Afrika. Pemerintah Cina punya andil memajukan negara yang sempat dikecamuk perang saudara dan bencana kelaparan.

Iwan Fals merekam secara apik derita Ethiopia dalam album lagunya berjudul Ethiopia yang diluncurkan ke publik tahun 1983.

“Di sana terlihat ribuan burung nazar

Terbang di sisi iga-iga yang keluar

Jutaan orang memaki takdirnya

Jutaan orang mengutuk nasibnya

Jutaan orang marah

Jutaan orang tak bisa berbuat apa-apa”

Liriknya menyayat, derita warga di negara seluas 110 juta hektare ditulis dengan bait yang tajam. Negeri tanpa lautan, dan kelaparan di mana-mana. Dari data yang dihimpun Komparatif.ID, pada tahun 2000, kemiskinan akut masih bersemayam di negara beribukota Addis Ababa. Secara peringkat, nomor tiga termiskin di dunia. Pendapatan perkapita sekitar $350. Lebih dari setengah warga hidup di bawah garis kemiskinan global, sebuah tingkat paling tinggi di dunia.

Baca: Hati-hati Berkunjung ke Jogja, Klitih di Mana-mana

Dengan kondisi itu, banyak pengamat yang menilai negara hulu Sungai Nil itu akan tamat riwayatnya. Pilihan paling mungkin, bergabung dengan negara tetangga. Melebur diri dalam entitas politik lain yang mapan di Benua Hitam.

Tapi itu masa lalu. Kini, negara tertua di dunia tersebut telah menjadi tanah penuh harapan. Pemerintah dan rakyatnya bangkit menjadi yang wajib dipandang karena kesuksesan membangun ekonomi.

Data yang dilansir World Bank, dalam rentang 2000 hingga 2018, pertumbuhan ekonomi di sana terbaik di dunia, antara negara-negara yang berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa. Sungguh sebuah keajaiban.

Kemajuan ekonomi tidak hanya dinikmati segelintir orang. Catatan World Bank, tingkat harapan hidup pada tahun 2000 hanya 52 tahun, bergerak maju menjadi 66 tahun pada 2017. Tingkat kematian bayi berkurang hingga 50 persen. Kemiskinan turun menjadi 31% pada tahun 2015.

Ethiopia, dari Tani ke Sektor Jasa

Parlemen Ethiopia kembali memilih Abiy Ahmed sebagai Perdana Menteri, setelah Partai Kemakmuran yang ia pimpin kembali memenangkan Pemilihan Umum pada Juni 2021.

Saat pelantikan Abiy Ahmed, Presiden Sahle Work-Zewde mengurai prioritas pembangunan negara di Afrika Timur itu.

“Kita hanya memiliki satu negara dan kita harus bekerja keras untuk membuat negara tercinta makmur,” pesan perempuan kelahiran 21 Februari 1950, dan merupakan lulusan Universitas Montpellier, Prancis.

Pesan Sahle sangat dalam. “Kita hanya memiliki satu negara”, merupakan kalimat yang padat catatan. Mereka pernah terpuruk, hancur, dan nyaris tak punya harapan hidup, setelah diamuk perang saudara selama dua dekade. Kemudian bertempur melawan Somalia pada 1977 dan 1988, serta berkonflik dengan Eritrae pada 1999.

Pemerintah dan rakyat sangat menderita, dan mereka tak ingin pengalaman buruk itu terulang. Seluruh isi negara sepakat bahwa perang dan konflik tak perlu diulang. Mereka tak mendapatkan kebaikan. Justru yang dituai adalah bencana.

Kestabilan politik merupakan kunci membangun negara. Mereka percaya bahwa bila bersungguh-sungguh, mimpi menjadi negara hebat bukan isapan jempol. Tak ada yang curang dalam menegakkan komitmen. Kini, kesenangan telah menjadi cerita hari-hari negara asal kopi tersebut.

Bila negara lain menjadikan Amerika Serikat sebagai role model pembangunan. Pemerintah Republik Demokratik Etiopia menjadikan Republik Rakyat Cina (Cina Mainland) sebagai sumber inspirasi. Mereka kagum dengan kemajuan Tiongkok Daratan. Kemudian Cina terlibat dalam proses membangun negara yang secara politik dan pemerintahan sudah ada sejak 190 SM.

Dalam dua dekade, Addis Abbaba dilengkapi dengan jalan lingkar seharga 86 juta dollar AS, persimpangan seharga 12,7 juta dollar, jalan raya 6 lajur pertama seharga 800 juta dollar AS, dan jalur kereta api Ethio-Djibouti senilai 4 miliar dollar AS. China juga membangun sistem kereta bawah tanah pertama di kota ini. Jalur kereta ini melintasi pusat kota dan mampu membawa 30.000 penumpang per jam.

Sebagai negeri yang tak punya laut, Ethiopia perlu mengakses laut, dan jalur kereta api sepanjang 750 km tersebut akan berfungsi sebagai penghubungnya dengan laut, yakni Teluk Persia, melalui pelabuhan di Djibouti.

Sejak 2011 Pemerintah Ethiopia membangun bendungan raksasa Grand Ethiopia Renaissance Dam (GERG) di Sungai Blue Nile yang merupakan hulu Sungai Nil. Proyek senilai lebih dari $AS 5 miliar yang akan menjadi pembangkit listrik terbesar di Afrika itu mengundang kekuatiran sejumlah yang tergantung pada air Sungai Nil.

Bendungan Grand Renaissance di Ethiopia yang dianggap paling ambisius sedaratan Afrika menjadi salah satu contoh proyek karya anak bangsa sendiri. Pembangunan bendungan tersebut mengerahkan 8.500 tenaga buruh. Dari bendungan tersebut, diharapkan mampu mengeluarkan tenaga listrik sekitar 6.000 megawatt yang diperuntukkan bagi pemakaian domestik dan ekspor. Termasuk bertujuan untuk menggerakkan industrialisasi. Menurut pihak berwenang, 20 persen proyek bendungan itu dibiayai obligasi, sisanya dari pajak negara.

Ethiopia juga menjadi pelopor di Afrika dalam pembanguan industrial parks (kawasan indutri) untuk menarik investasi di bidang manufaktur ringan, terutama tekstil dan pakaian jadi, dan merangsang ekspor. Saat ini, ada lima kawasan industri buatan pemerintah yang telah menciptakan puluhan ribu lapangan pekerjaan untuk orang-orang Ethiopia, pihak swasta pun sudah juga mulai membangun kawasan-kawasan serupa.

Negara tersebut berencana untuk membangun hingga 30 kawasan industri pada tahun 2025 untuk meningkatkan lapangan kerja, menghasilkan pendapatan ekspor, dan menumbuhkan kontribusi sektor manufaktur pada ekonomi negara tersebut dari 5 % saat ini menjadi 22 % . Merek-merek seperti Michael Kors, H&M, Children’s Place, dan raksasa pakaian jadi lainnya membuat produk-produknya di negara itu.

Sejumlah perusahaan Indonesia juga membuka bisnis di sana. Peace Success Industry  PLC (anak perusahaan Sinar Ancol), Salim Wazaran Yahya Food Manufacturing PLC (anak perusahaan PT Indofood Sukses Makmur Tbk), Century Garment PLC (anak perusahaan Busana Apparel Group), Sumbiri Initimate Apparel PLC anak perusahaan PT Sumber Bintang Rejeki, dan Golden Sierra Abyssinia PLC PT Bukit Perak.

Dengan keberadaan perusahaan-perusahaan itu, menyebabkan Indomie dengan cita rasa lokal menjadi makanan populer di sana. Demikian juga sabun B-29 menjadi sangat terkenal. Konon lagi, pekerja migran asal Indonesia juga sangat banyak di negara tanduk Afrika.

Maskapai Ethiopian Airlines dalam beberapa tahun terakhir ini mencapai kegemilangan. Skytrax, menempatkan Ethiopian Airlines sebagai maskapai terbaik di Afrika. Maskapai ini kini mempunyai 125 armada pesawat, termasuk di dalamnya pesawat-pesawat superjumbo terbaru, yakni Boeing 787 Dreamliners, dan Boeing 777-200LR. Di Afrika, Ethiopian Airlines adalah yang pertama memiliki kedua jenis pesawat tersebut.

Sebelumya, kontribusi sektor pertanian mencapai hampir 80% dari ekonomi negara. Kini meskipun masih menjadi kontributor terbesar, porsinya hanya di bawah 40%. Sektor terbesar kini adalah bidang jasa. Industri, termasuk manufaktur dan konstruksi, kini juga makin menonjol dalam perekonomian, sekitar seperempat dari PDB. Namun, pertanian tetap sangat penting: karena petani dan pekerja pertanian mempekerjakan tiga perempat dari SDM Ethiopia.

Kini, Ethiopia adalah negeri penuh harapan. Tempat 113.656.596 penduduk hidup dengan penuh kegembiraan, ditambah para migran yang juga menggantungkan impian dari kebangkitan negara tempat kopi pertama kali dibudidayakan di muka bumi.

Sumber: World Bank, GoodnewsfromIndonesia, Konfrontasi.com, Wikipedia, dan sumber-sumber lain yang relevan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here