Di dunia yang serba terkoneksi ini, konflik bukan hanya urusan personal atau terbatas pada suatu wilayah. Ia telah menjadi komoditas, sebuah bisnis. Bahkan lebih sering tanpa kita sadari, ada tangan yang diam-diam mengelola, mendistribusikan, hingga mendapatkan keuntungan dari ketegangan orang lain.
“Konflikmu adalah bisnisku” bukan hanya sekadar candaan atau omong kosong, melainkan realitas dingin yang mencerminkan bagaimana penderitaan dapat menjadi sumber penghasilan.
Baca: Soal Ekonomi Aceh Bertumbuh, Bank Indonesia Asal Bunyi
Mari kita mulai dari yang paling kasat mata, industri media. Konflik adalah bahan bakar utama bagi siklus pemberitaan. Semakin panas situasi, semakin besar trafik yang masuk. Saat terjadi perang, kerusuhan, atau skandal politik, bukan hanya wartawan yang akan bergerak, tapi juga pengiklan, dan pemilik media.
Setiap ledakan bom atau pertikaian tokoh publik menjadi headline yang menjual. Kita pun, sebagai konsumen, ikut terjebak dari pusaran ini, klik demi klik, komentar demi komentar, memperpanjang umur koflik dengan perhatian yang kita berikan.
Tapi media hanya salah satu wajah dari bisnis konflik. Lihat lebih jauh, dan kita akan menemukan perusahaan senjata, kontraktor militer swasta, hingga perusahaan teknologi lainnya. Konflik di suatu belahan dunia bisa berarti pesanan baru bagi sebuah industri di belahan lain. Misalnya perang, menciptakan peluang ekonomi. Senjata harus diganti, pasukan harus dilatih, dan infrastruktur harus dibangun ulang.
Tidak hanya konflik berskala besar yang jadi sumber keuntungan. Bahkan pertikaian sosial, ras, agama, orientasi seksual, hingga politik identitas telah menjadi ladang bisnis tersendiri.
Di media sosial, algoritma dirancang untuk mendorong keterlibatan emosional. Semakin marah kita, semakin sering berinteraksi. Dan interaksi berarti data. Data berarti uang. Tak heran jika platform-platform digital tampak tidak terlalu tergesa menyelesaikan masalah polarisasi. Ada ladang bisnis yang besar di balik itu.
Dalam lanskap konflik, perdamaian menjadi tidak menarik. Narasi damai tidak menjual. Rekonsiliasi tidak menghasilkan klik. Moderasi terdengar membosankan. Kita hidup di era di mana menyulut konflik bisa lebih menguntungkan dari pada menyelesaikannya. Ini berlaku tidak hanya bagi sebuah perusahaan besar, tapi juga bagi individu. Influencer, buzzer, bahkan akun anonim bisa memanfaatkan sentimen publik untuk memperbesar pengaruh mereka. Provokasi adalah strategi, bukan kesalahan.
Namun sebelum kita menunjuk jari keluar, ada baiknya bertanya pada diri sendiri, apakah kita bagian dari ekosistem konflik ini? Seberapa sering kita membagikan konten penuh amarah tanpa memastikan kebenarannya? Seberapa sering kita menanggapi komentar provokatif hanya karena merasa tidak bisa diam saja? Tanpa sadar kita menjadi pekerja sukarela di pabrik konflik global. Kita menyumbangkan waktu, perhatian, dan emosi untuk menjaga mesin itu tetap menyala.
Jika konflik telah menjadi ladang bisnis, siapa yang benar-benar berkepntingan dengan kedamaian? Jawabannya rumit. Karena kedamaian meskipun tampak ideal, tidak serta merta menguntungkan secara ekonomi. Maka tak heran banyak perdamaian hanya bersifat kosmetik, penuh slogan, tapi kosong implementasi.
Perdamaian yang sebenarnya membutuhkan pengorbanan, negoisasi, dan keberanian untuk mengubah sistem. Sayangnya, itu sangat jarang terjadi, tidak semua orang mau berkorban. karena tidak mudah, tidak cepat, dan tidak selalu populer.
Tidak ada yang sepenuhnya netral. Bahkan diam bisa jadi sikap yang memihak. Maka dari itu, kesadaran menjadi penting. Bukan untuk merasa lebih baik, tapi agar kita tidak terus-menerus menjadi pion dalam permainan yang kita sendiri tidak pahami.
Dunia tidak akan tiba-tiba berubah menjadi tempat damai hanya karena kita berharap. Tapi satu-satunya cara untuk mulai menggeser arah, sekecil apa pun adalah dengan tidak terus memberi makan sistem yang menggantungkan hidupnya di perpecahan.
Hal yang bisa kita lakukan di tengah situasi ini adalah menyadari bahwa emosi kita adalah aset. Jika kita mudah dipicu maka kita mudah dijual. Kemudian, berhenti mengonsumsi konflik sebagai hiburan. Tidak semua pertikaian layak untuk dikomentari dan dibagikan. Selanjutnya dukung media yang mempromosikan jurnalisme damai, bukan hanya sensasi.
Mulailah dari hal-hal kecil belajar berdialog tanpa mencaci, berbeda pendapat dan membenci. Jika kita terus membiarkan konflik dijadikan komoditas, maka suatu saat, mungkin giliran kita yang menjadi bahan bakarnya. Dan saat itu tiba, akan ada orang lain yang dengan santai berkata: “konflikmu adalah bisnisku”.
Audy Safalas, Mahasiswa Jurusan Pengembangan Masyarakat Isla, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Ar-Raniry.