Atas restu Sultan Aceh, pada tahun 1824 Sutan Main Alam dari barus mengukuhkan dirinya sebagai Raja Barus. Permohonan yang diajukan kepada Sultan Aceh, karena Barus merupakan wilayah kedaulatan Kesultanan Aceh. Saat itu Aceh merupakan penguasa ekonomi dan politik di sana. 100 saudagar Aceh dari Meulaboh menetap di negeri tersebut. Teuku Raja Udah dari Bakongan, menetap di Tapus, yang berada di sebelah utara Kota Barus. Teuku Raja Udah merupakan pemimpin politik Aceh kala itu.
Pada tahun 1834, Sutan Ibrahim bergelar Tuanku Bendahara naik takhta di Barus, menggantikan Sutan Main Alam yang mangkat. Inilah Wakil Sultan Aceh di negeri penghasil kamper. Dalam masa berdekatan, penguasa hulu Barus di kampung Mudik mangkat, dan ada dua calon pengganti yang berebut takhta yaitu Sutan Mara Tua yang didukung Belanda dan Marah Sutan yang didukung Aceh. Nama kedua berhasil berkuasa sehingga menjadikan derah hulu Barus sama visi politiknya dengan hilir yaitu menjadi bagian dari Aceh.
Baca: 4 Pulau Hilang dan Singkil yang Terlupakan
4 Pulau Sengketa Dalam Catatan Anak Singkil
Sejarah tersebut dicatat dalam laporan berjudul A Malay Frontier: Unity and Duality in a Sumatran Kingdom oleh Jane Drakard, diterbitkan Cornell University Ithaca, New York 1990 hal.43-49.
Keberhasilan Marah Sutan menaklukkan Mara Tua kaki tangan Belanda, merupakan politik keacehan. Bagi Aceh negeri Barus adalah millik Aceh dan tak akan diserahkan ke Belanda dengan mudah seperti Aceh kehilangan pantai Pariaman sampai Tiku karena traktat Panian pada 6 juli 1663.
Merasa ditantang oleh Aceh maka Belanda menyerang Barus pada tahun 1840. Bersama penguasa Barus yang bersumpah setia pada Sultan Aceh, Aceh pun mengajak Belanda berduel di kota Barus. Perang pecah, tak ada yang meminta ampun dan memberi ampun.
Bendera Aceh masih berkibar di benteng kota Barus pada awal Maret 1840. Belanda mengirimkan 4.000 tentara dari Padang di bawah pimpinan Kapten Johan Jacob Roeps untuk mengusir orang Aceh dari Barus. Roeps datang dengan segudang pengalaman tempur. Ia pernah ikut ekspedisi Bone tahun 1824-1825 bahkan prestasi terbesarnya adalah menangkap Kiai Mojo, sahabat Pangeran Di Ponegoro tahun 1828. Ia sudah membayangkan keberhasilan selanjutnya dengan mudah mengusir orang Aceh di tempat tugasnya yang baru. Namun ia malah terluka dan gagal memenangkan pertempuran sehingga pada 23 Maret 1840 ia mati karena infeksi luka.
Kematian Roeps membuat Belanda murka sehingga menambah pasukan menjadi 8.000 tentara. Orang Aceh dan orang Barus yang memihak Aceh tertekan. Belanda berhasil menerobos masuk ke benteng Aceh. Sorang perwira Belanda bernama Letnan Satu C.H. Bisschoff maju menurunkan bendera Aceh. Tapi keberanian itu harus dengan darah. Ia terkena hujaman pedang prajurit Aceh. Beberapa hari kemudian ia jugamati akibat luka. Pun demikian, Belanda berhasil merebut negeri itu dari Aceh. Orang Aceh mundur ke Tapus dan Singkil yang secara bertahap juga direbut oleh Belanda.
Kekalahan menyakitkan ini tak membuat Aceh jera. Bagi Aceh, Barus, Tapus dan Singkil adalah milik Aceh yang harus dipertahankan, meski dengan tebusan apa pun.
Hal ini terbukti pada catatan manuscript Aceh yang disimpan di British Library dengan kode – Digitised Manuscipts – Or 16764 (sumber : https://www.mapesaaceh.com/2019/06/usaha-mengambil-kembali-negeri-barus.html) dengan bunyi ” Adapun maka tatkala Hijrah Nabi Shalla-Llah ‘alaihi wa Sallam seribu dua ratus lima puluh enam tahun (28 Agustus 1840), maka pergi Teungku Lam Kraq (Lam Krak) dan Teungku ‘Id serta dengan jama’ah keduanya ke Negeri Barus berperang Sabil pada sehari bulan Rajab, maka syahid Teungku Lam Kraq dan Teungku ‘Id dan jama’ah keduanya di Negeri Barus dalam sehari bulan Sya’ban sanah 1259 (26 Agustus 1843).
Dari rentetan fakta sejarah di atas kita bisa menyimpulkan perkara tanah air bagi Aceh adalah perkara besar yang menyangkut kehormatan dan identitas sehingga akan dipertahankan sampai titik darah penghabisan.
Empat Pulau di Singkil Milik Aceh
Ada banyak bukti yang beredar di timeline media sosial, menunjukkan status kepemilikan Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan dan Panjang adalah milik Aceh. Dalam konteks ini penulis ingin memberikan bukti lainnya dari pendekatan toponim (penamaan) pulau tersebut yang belum banyak terekspos.
Bukti ini bermula dari klaim kepemilikan pulau tersebut oleh Teuku Rusli Hasan sebagai ahli waris Teuku Raja Udah pada video https://www.youtube.com/shorts/bb3gCWPBfs4. Nama Teuku Raja Udah yang dimaksud dalam video itu adalah tokoh Aceh yang sama dengan Teuku Raja Udah yang penulis sebutkan di paragraf pertama tulisan ini. Penulis menemukan bukti nama Teuku Raja Udah disebutkan oleh Jane Drakard dengan ejaan Tok Ku Raja Uda pada bukunya berjudul A Malay Frontier: Unity and Duality in a Sumatran Kingdom.
Teuku Rusli Hasan dalam kesaksiannya menyebutkan pulau Mangkir Besar dan Mangkir Kecil itu dinamai berdasarkan nama kampung yang ada di Bakongan yaitu Ujong Mangki. Pada dokumen kepemilikan yang ia pegang nama pulau ini memakai Bahasa Aceh yaitu Mangki Rayek dan Mangki Cut. Toponim rayek dan cut dalam bahasa Aceh dialek selatan di Bakongan, memang konsisten menunjukkan ukuran tempat yang berkaitan dengan pulau atau tanjung. Ini masih bisa kita saksikan hari ini ada pada nama kampung Ujong Pulo Rayek dan Ujong Pulo Cut di Bakongan Timur.
Kedua kampung ini berhadapan dengan Pulo Dua dan tanjung yang mengapit pulau ini dinamakan Ujong Pulo Rayek dan Ujong Pulo Cut. Kebiasaan toponim di Bakongan ini dibawa oleh Teuku Raja Udah saat menamai dua pulau miliknya dengan nama Mangki Rayek dan Mangki Cut. Bahkan tanah di seberang dua pulau ini juga dinama dengan nama Ujung Mangki Gadang (Rayek) dan Ujung Mangki Ketek (Cut). Persis sebagaimana toponim asalnya di Bakongan Aceh Selatan.
Apakah toponim Mangki tersebut belum cukup ? Oke, mari penulis berikan bukti lainnya.
Akhir tahun 2018 penulis pertama kali berkunjung ke Pantai Cemara Indah (PCI), Mukim Gosong Telaga Kabupaten Aceh Singkil. Seorang teman tempatan menujukkan pulau kecil di lepas pantai PCI, itu adalah Pulau Birahan. Menariknya nama Birahan pada toponim pulau ini adalah berasal dari nama kampung Padang Beurahan di Bakongan Aceh Selatan. Pulau Beurahan atau Birahan ini juga dimiliki oleh Teuku Raja Udah dan terletak dalam gugusan pulau yang sama dengan empat pulau lainnya yang sedang diklaim sebagai milik Sumatera Utara.
Lantas bagaimana ceritanya peralihan nama dari Bahasa Aceh pada Pulau Mangki Rayek, Pulau Mangki Cut, Pulau Beurahan itu ke Mangkir Gadang, Mangkir Ketek dan Birahan yang merupakan kosa kata bahasa Minangkabau ? hal ini mudah saja dijawab karena lokasi pulau-pulau tersebut terletak di pantai selatan Aceh, tempat di mana orang beretnis Aceh dan beretnis Minang kawin campur menjadi saudara selama ratusan tahun sehingga melahirkan identitas baru bernama Aneuk Jamee yang di Singkil lebih dikenal dengan sebutan Singkil Pesisir. Pertukaran frasa rayek menjadi gadang, cut menjadi ketek, beurahan menjadi birahan adalah hal yang lazim bagi wilayah yang lidah penduduk aslinya bisa bercakap lebih dari satu bahasa tempatan.
Bukti toponim dan historis yang melekat padanya ini kiranya sudah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwasanya 4 pulau tersebut adalah milik Aceh, khususnya Kabupaten Aceh Singkil sebagai empu wilayah dan keturunan ahli waris Teuku Raja Udah, pahlawan Aceh pada perang Barus sebagai pemilik sah tanah pulaunya.
Jika dahulu indatu kita orang Aceh berjuang sampai gugur mempertahankan Barus, Tapus dan Singkil dari jajahan Belanda, maka hari ini adalah sebuah kewajiban bagi kita orang Aceh mempertahankan 4 pulau di Singkil. Tentu caranya bukan dengan berperang karena orang Sumatera Utara adalah saudara kita sesama warga negara Republik Indonesia. Cara kita membelanya adalah dengan menunjukkan dengan santun bukti dan fakta kepemilikan Aceh terhadap Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Cut, Lipan dan Panjang. Insyaallah pulau-pulau di Singkil itu akan kembali menjadi milik Aceh Singkil; milik Aceh.
Munawar. Pemerhati kajian budaya dan sosial. Bermukim di Singkil.
Cut itu bukan dialek aceh selatan. tapi dialek aceh besar yang dibawa ke sana. begitu juga dengan mana krung raya = sungai besar. krung cut = sungai kecil.
kètèk itu juga bahasa sehari-hari di Aceh, seperti oh.. anak kètèk ni.