Hikayat Prang Gompeuni merupakan karya sastra yang ditulis oleh Do Karim (Abdul Karim), seorang sastrawan Aceh yang sangat memusuhi Belanda dan kaum penjajah lainnya.
Sebagai sebuah karya sastra klasik bertulisan Arab berbahasa Aceh-Melayu, Hikayat Prang Gompeuni, merupakan salah satu literatur Aceh yang tidak lagi diperhatikan secara luas. Hanya kelompok-kelompok kecil yang memberikan perhatian khusus untuk hikayat-hikayat klasik.
Keluarga Aceh Besar Yogyakarta (KABY) merupakan salah satu yang masih memberikan perhatian kepada pelestarian sastra klasik Aceh. Baru-baru ini, satu kelompok mahasiswa yang bergabung dalam KABY menggelar meudrah karya sastra Prang Gompeuni yang masuk kategori karya sastra perang.
Baca: Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki Telah Diganti
Ketua KABY Muhammad Mufariq, dalam siaran persnya yang dikirim kepada Komparatif.ID, Jumat, 8 Maret 2024, meudrah tersebut sebagai upaya mereka melestarikan khazanah keacehan. Hikayat Prang Gompeuni yang ditulis Do Karim, merupakan catatan sejarah yang difokuskan untuk mengganyang Kolonialis Belanda yang menduduki dan menyerang Aceh Darussalam.
Muhammad Mufariq menjelaskan, di mata orang Aceh, Belanda merupakan kompeni yang bermuasal dari compagnie Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang masyur di masa itu.
Hikayat Prang Gompeuni memuat kisah perjuangan heroik masyarakat Aceh Besar melawan penjajahan Belanda.
Lalu apa yang melatarbelakangi anak-anak muda KABY menggelar meudrah Hikayat Prang Gompeuni? Mufariq menjelaskan semakin ke sini, bertambah banyak anak muda yang sekadar tahu hikayat tersebut.
“Mereka hanya tahu namanya saja, tapi tidak tahu isinya,” kata Mufariq.
Sebagai bentuk merawat ingatan anak muda Aceh, mahasiswa pun menggelar meudrah –belajar bersama—hikayat Prang Gompeuni.
“Selain mempelajarinya secara bersama, kami juga menulis ulang. Harapannya ke depan semakin mudah untuk dipelajari. Mudah-mudahan hikayat tersebut terkenal ke seluruh dunia,” katanya.
KABY bekerja sama dengan Center for Hikayat Studies @hikayat.studies dalam melakukan penulisan ulang naskah tersebut ke dalam ejaan yang telah disempurnakan. Penulisan ulang ini penting untuk memudahkan pembaca masa kini dalam memahami naskah teks masa lalu yang masih dalam ejaan lama. Dengan begitu karya sastra tersebut dapat bermanfaat dan mampu menjangkau audiens yang lebih luas.
Langkah selanjutnya yang diambil oleh KABY adalah memulai proses penulisan ulang hijayat yang ditulis Do Karim. Dengan tujuan untuk membuatnya lebih terstruktur dan dapat dipahami oleh pembaca modern. Upaya penulisan ulang bertujuan untuk menjaga relevansi karya sastra ini bagi generasi masa kini dan mendatang.
Mengenal Penulis Hikayat Prang Gompeuni
Penulis Hikayat Prang Gompeuni yaitu Abdul Karim alias Do Karim. Menurut Teuku Ibrahim Alfian dalam buku Perang di Jalan Allah, yang diterbitkan Pustaka Sinar Harapan, 1987, Abdul Karim berasal dari Keutapang II, Mukim VI, Sagie XXV Mukim, Aceh Besar.
Tidak diketahui tahun kelahiran Do Karim. Menurut Ali Hasjmy, Do Karim dilahirkan sebelum Perang Aceh (1873) dan meninggal sebelum 1903. Penanda yang dibaca oleh Hasjmy yaitu hikayat itu tidak menyebutkan kisah berakhirnya Perang Aceh.
Dalam buku Do Karim Sastrawan Tradisi Hikayat yang ditulis oleh Sudirman dan diterbitkan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh, 2020, disebutkan bila Do Karim seorang sastrawan Aceh yang fundamental.
Sebagai sastrawan, Do Karim berjuang menurut keahliannya. Dengan bekal kemahiran berbahasa, seniman yang juga pengarah seudati atau kesenian perintang waktu/sejenisnya, Do Karim mampu menyampaikan pesan-pesan moral kepada masyarakat Aceh melalui syair dan hikayat.
Hikayat Prang Gompeuni—sudirman menulisnya Prang Kompeuni—mengandung beberapa latar belakang. diawali dengan cerita tentang Aceh sebelum perang yang kaya raya, makmur, dan diperintah oleh raja yang adil.
Aceh sebuah negeri yang kaya rempah-rempah seperti lada, cengkeh, kemiri, kapur barus, kemenyan,yang harganya sangat mahal di Eropa.
Ia juga menceritakan rapat-rapat di Den Haag, yang menyusun rencana penyerangan terhadap Aceh.
Dalam hikayat Prang Gompeuni juga dikisahkan kekejaman Belanda yang membunuh rakyat Aceh dengan sangat keji. Penjajah membakar perkampungan, menjarah isi rumah, dan menghancurkan sumber-sumber pangan rakyat.
Pun demikian, rakyat Aceh tidak gentar. Wanita-wanita Aceh melawan Belanda. Menghina tentara Belanda dengan cara meludahi mereka dengan air kunyahan sirih.
Rakyat melarikan diri ke gunung-gunung, bercerai-berai dengan sanak saudara.
Rakyat yang tidak lari, diawasi secara ketat oleh marsose. Mereka diperiksa tatkala masuk dan keluar kampung. Setiap warga harus menyertai diri dengan surat keterangan, dan tidak diperkenankan membeli barang dalam jumlah banyak.
Hikayat tersebut juga mengisahkan kepemimpinan Teungku Chiek Ditiro saat memimpin kaum muslimin berperang melawan Belanda.