Pada 20 September lalu, Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) pada Rapat Paripurna mengesahkan Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) Tahun Anggaran 2025.
Dilansir dari kemenkeu.go.id, Pendapatan Negara dalam APBN 2025 direncanakan sebesar Rp3.005,1 triliun. Jumlah tersebut merupakan gabungan dari penerimaan pajak sebesar Rp2.490,9 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp513,6 triliun. Berdasarkan Buku Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2023 tentang APBN.
Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan target pada tahun 2024, yaitu Penerimaan Perpajakan sebesar Rp2.309,9 triliun dan PNBP sebesar Rp492 triliun.
Penerimaan perpajakan memiliki porsi yang sangat besar dalam pemenuhan target APBN kita. Untuk itu, pemerintah perlu mengambil langkah yang tepat dalam usaha meningkatkan penerimaan perpajakan negara di tahun 2025.
Berdasarkan dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM & PPKF) Tahun 2025, pemerintah menerapkan beberapa rencana kebijakan pajak.
Disampaikan juga kebijakan umum perpajakan 2025 diarahkan untuk mendukung akselerasi pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan sebagai titik tumpu menuju Indonesia Emas 2045. Lalu, apa saja kebijakan yang direncanakan pemerintah?
Tarif PPN 12% dan Tax Amnesty
Dalam upaya memenuhi target penerimaan pajak 2025, pemerintah menghadapi beberapa pertimbangan yang kompleks. Salah satunya adalah penerapan kebijakan pengenaan tarif PPN 12% terhadap barang mewah yang berlaku mulai 1 Januari 2025.
Kenaikan tarif PPN menjadi 12% sendiri berangkat dari amanat Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), atas pengesahan DPR RI pada 29 Oktober 2021 lalu.
Dilansir dari tempo.co, ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai keputusan pemerintah ini sama saja dengan menaikkan tarif Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM).
Menurutnya, kenaikan PPN 12% pada barang mewah tidak akan memberikan dampak signifikan bagi penerimaan negara, sehingga seharusnya ini menjadi opsi kesekian untuk dilakukan.
Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sudah memastikan bahwa kenaikan tarif PPN yang sebelumnya 11% menjadi 12% mesti dilaksanakan sesuai amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Banyak pembicaraan mengenai penolakan serta permintaan penundaan terhadap kenaikan PPN 12% tersebut, hal ini karena masih banyak dari masyarakat yang merasa bingung tentang sistematis penerapan dan pengenaannya.
Baca juga: Penerimaan Pajak Hingga April 2024 Capai Rp624,19 T
Banyak yang merasa kenaikan tarif dikhawatirkan akan menurunkan minat konsumsi masyarakat. Namun, Kementerian Keuangan sampai saat ini belum ada hilal untuk mengagendakan rapat konsultasi dengan Komisi XI untuk membahas penundaan PPN 12%. Padahal, DPR sudah mulai reses pada 6 Desember 2024.
Disamping itu, pemerintah memiliki agenda untuk melaksanakan program pengampunan pajak atau tax amnesty jilid III pada 2025.
Tax amnesty merupakan kebijakan untuk memberikan pengampunan dan penghapusan pajak yang seharusnya terutang dengan tidak mengenakan sanksi administrasi maupun pidana.
Tax amnesty jilid I diterapkan pada 18 Juli 2016-31 Maret 2017, kemudian jilid II pada 1 Januari 2022-30 Juni 2022. Dalam sejarahnya, pengampunan pajak ini juga sempat dilaksanakan pada tahun 1964, 1984, dan 2008 dengan nama sunset policy.
Fakta bahwa kebijakan ini terlalu sering diterapkan membuat rencana penerapan tax amnesty ini mendapatkan beragam respon dan kritik dari berbagai kalangan. Dapat disimpulkan kebijakan tax amnesty kini dianggap sebagai cara reaktif pemerintah dalam menangani permasalahan perpajakan.
Tujuan tax amnesty untuk meningkatkan penerimaan pajak dengan memberikan kesempatan kepada wajib pajak yang selama ini belum patuh, mengatasi shadow economy, dan meningkatkan kepatuhan jangka panjang.
Namun, banyak masyarakat yang merasa bahwa kebijakan dari tax amnesty ini tidak adil bagi wajib pajak yang sudah taat membayar pajak dengan patuh. Jika program ini terus diulang, akan timbul kemungkinan wajib pajak yang sudah patuh menjadi tidak patuh dengan dalih “akan diampuni”. Ini dapat merusak kedisiplinan para wajib pajak dalam membayar pajak.
Kebijakan kenaikan tarif PPN 12% terhadap barang mewah dan tax amnesty jilid III ini menimbulkan dilema tersendiri bagi pemerintah. Masih banyak ketidaksetujuan masyarakat di tengah-tengah beberapa kebijakan ini. Namun, pemerintah Indonesia juga memiliki usaha lain dalam memenuhi target penerimaan perpajakan APBN 2025.
Usaha Lain Pemerintah
Berdasarkan dokumen KEM & PPKF 2025, salah satu kebijakan yang disiapkan pemerintah untuk diimplementasikan di tahun 2025 adalah dengan melakukan integrasi teknologi melalui implementasi Core Tax Administration System (CTAS) dalam pengelolaan administrasi perpajakan.
CTAS merupakan sistem yang dirancang pemerintah dengan menggunakan suatu integrasi data dan pemrosesan otomatis dalam melakukan rangkaian pelaporan dan pembayaran pajak.
Sistem ini diharapkan dapat memperbaiki pengelolaan data pajak, mengurangi kesalahan perhitungan, dan mempercepat proses administrasi pajak. Otomatisasi dan sistem yang lebih transparan ini diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pembayaran pajak para wajib pajak sehingga akhirnya dapat mempengaruhi peningkatan penerimaan pajak negara.
Sejalan dengan CTAS, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga menyusun daftar Sasaran Prioritas Pengamanan Penerimaan Pajak (DSP4) yang berbasis risiko.
Dilansir dari DDTC.News, penyusunan DSP4 dilaksanakan dengan kaidah compliance risk management (CRM). Nantinya, DJP akan menyusun daftar pengawas terhadap ketidakpatuhan wajib pajak yang dikategorikan berdasarkan tingkatan risiko. Dengan ini, diharapkan pengawasan pemerintah khususnya DJP terhadap kepatuhan pembayaran pajak wajib pajak bisa lebih efektif lagi.
Usaha selanjutnya yang direncanakan pemerintah adalah dengan memperkuat basis perpajakan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Untuk ekstensifikasi, pemerintah akan menambah jumlah Wajib Pajak serta melakukan edukasi dalam rangka mengubah perilaku kepatuhan pajak.
Kemudian, intensifikasi dilakukan dengan melakukan pengawasan atas pembayaran pada tahun berjalan oleh DJP. Penguatan basis pajak akan dilakukan melalui penguatan pengawasan dan penegakan hukum. Pemerintah akan memprioritaskan pengawasan pada wajib pajak orang kaya, wajib pajak yang melakukan transaksi afiliasi, dan wajib pajak yang bergerak pada sektor ekonomi digital.
Pemerintah juga akan melakukan kerjasama perpajakan internasional serta menerapkan digital forensic dalam mendukung intensifikasi dan ekstensifikasi di tahun 2025.