Sendangbiru, Pantai yang Dilindungi Pegiat Konservasi

Meski sekarang dikenal sebagai penghasil tuna terbesar di Jawa Timur, Pantai Sendangbiru pernah mengalami degradasi ekonomi dan sosial. Berbekal kerja keras pelaku konservasi, kawasan tersebut kini telah menjadi lumbung ekonomi melalui perikanan laut dan ekowisata.

Dermaga TPI Sendangbiru tidak ramai seperti biasa. Ratusan boat yang biasanya berlayar ke tengah laut, berjejer di tepi pantai. Tempat pelelangan ikan juga sepi. Demikian juga nelayan, hanya sedikit yang berlalu-lalang di sana.

Musim barat sepanjang Oktober hingga April telah lama menjadi masalah bagi nelayan yang menggantungkan hidupnya pada hasil tangkapan di Laut Selatan Pulau Jawa. Ombak besar yang dihasilkan oleh embusan angin kencang dari Benua Asia ke Australia merupakan kendala alam dari generasi ke generasi.

Tidak jauh dari tempat pelelangan ikan, seorang lelaki tua duduk di tengah tumpukan jaring. Ia menjalin benang yang putus. Beberapa lainnya tidur-tiduran di geladak boat sembari bicara ngalor-ngidul.

Menjalin jaring: Seorang nelayan, Selasa (22/11/2022) menjalin jaring yang rusak. Aktivitas tersebut dilakukan untuk mengisi waktu selama musim barat. Foto: Komparatif.id/Muhajir
Menjalin jaring: Seorang nelayan, Selasa (22/11/2022) menjalin jaring yang rusak. Aktivitas tersebut dilakukan untuk mengisi waktu selama musim barat. Foto: Komparatif.id/Muhajir

Cuaca Selasa (22/11/2022) mendung. Di balik Pulau Sempu yang menjadi benteng alami Sendangbiru, ombak Laut Selatan berukuran raksasa bergulung-gulung; berlomba menuju bibir pantai berpasir putih.

Baca juga: Tokoh Tionghoa-Aceh: Serambi Mekkah Nyaman dan Harmoni

Bersisian dengan boat itu, awak kapal KMN Bintang Sonar Dita 02 sedang melangsir bahan bakar dan sejumlah barang lainnya ke dalam boat. Mereka akan melaut, memburu layur yang menjadi alternatif di musim paceklik ikan.

Slamet Abidin (47) nelayan yang bekerja pada Bintang Sonar Dita 02, kepada Komparatif.id mengatakan ia dan teman-temannya memilih melaut, demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Pun demikian, karena musim barat, mereka hanya melabuhkan jaring paling jauh 20 mil dari daratan.

“Kami tak berani terlalu jauh. Ombak Laut Selatan tidak bersahabat pada musim barat. Bila nekat terlalu jauh, boat kami akan jadi puing,” katanya.

Pria berkulit legam itu menyebutkan menjaring layur merupakan alternatif di tengah musim sepi tuna dan cakalang. “Bila musim timur saya dan teman-teman memancing tuna dan cakalang. Ikan layur harganya murah, sedangkan tuna, cakalang, harganya tinggi,” sebutnya.

Melaut di tengah gelombang besar dan terkadang juga badai, nelayan harus pandai “mencuri ombak”. Berbekal pengalaman, mereka mengarungi lautan. Meski di dalam hati tetap terbersit rasa takut, tapi mereka tak boleh takluk.

“Was-was tetap ada. Laut memiliki banyak misteri. Di sana kami hanya makhluk kecil,” sebut Slamet.

Hasil melaut terkadang tidak menentu. Tak selamanya berlayar bermakna dapat menangkap ikan sebanyak-banyaknya. Bila sedang tidak beruntung, mereka pulang dengan jumlah tangkapan minim.

“Kami melaut paling cepat pulang tiga hari. Paling lama satu minggu. Tangkapannya terkadang setengah ton, sering juga satu sampai 1,5 ton. Seperti musim barat ini, biasanya kami hanya mendapatkan layur setengah ton. Tapi daripada pulang kosong, lebih baik ada,” katanya.

Pengakuan yang sama juga disampaikan Winarto. Nelayan asal Cilacap, Jawa Tengah tersebut ditemui Komparatif.id ketika sedang bersiap-siap melaut bersama KMN Bangkit. Dia harus tetap berangkat menangkap ikan, karena kebutuhan ekonomi keluarga tidak bisa menunggu musim timur. Sama seperti Slamet, Winarto juga melaut untuk menjaring layur.

“Musim barat merupakan masa masa sulit para nelayan. Gelombang besar tak memungkinkan kami melaut terlalu jauh. Risikonya terlalu tinggi. Makanya mayoritas memilih bersandar sembari melakukan perbaikan kapal dan alat tangkap. Sebagian nelayan luar memilih pulang kampung,” terang Winarto.

Mufid Supriyanto, Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Pondokdadap, yang berkantor di Dusun Sendangbiru, Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, yang ditemui oleh wartawan peserta lomba karya tulis jurnalistik Pekan Olahraga Wartawan Nasional (Porwanas) XIII Malang Raya, menjelaskan Pelabuhan Perikan Pantai Pondokdadap yang ia Kelola, merupakan pusat pelelangan ikan terbesar di Jawa Timur.

Kepala UPTD PPP POndokdadap Mufid Saptoyo. Foto: Komparatif.id/Muhajir.
Kepala UPTD PPP Pondokdadap Mufid Supriyanto. Foto: Komparatif.id/Muhajir.

Komoditas laut yang menjadi primadona di tempat tersebut yaitu tuna. Ikan pelagik bersirip kuning dan biru yang dilabuhkan di Pantai Sendangbiru berkualitas ekspor. Saat ini ikan bangsa thunnini tersebut diekspor ke Australia hingga ke Uni Eropa.

“Tuna di sini dipasarkan ke Surabaya, Jakarta, Bali, Australia, hingga Uni Eropa,” terang Mufid, sembari menjelaskan hanya baby tuna—ukuran 10 kilogram ke bawah, yang dijual untuk kebutuhan lokal.

Dari tahun ke tahun jumlah tangkapan nelayan bertambah banyak. Tahun 2018 total ikan yang didaratkan di PPI Pondokdadap 15.669.874 kilogram. Nilai produksi yang dihasilkan Rp157,809 miliar.

Tahun 2019 hasil produksi 13.107.694 kilogram. Nilai produksi Rp128,246 miliar. Hasil tangkapan nelayan sempat menurun tahun 2020. Para pencari ikan di laut hanya mampu menangkap 8.522.137 kilogram. Pemicu utamanya karena pandemi Covid-19. Nilai produksi yang dihasilkan Rp96,465 miliar.

Produksi kembali meningkat pada tahun 2021, dengan total ikan yang berhasil ditangkap 11.251.430 kilogram. Uang yang dihasilkan dari proses produksi tersebut Rp180,945 miliar.

Hasil tangkapan nelayan Sendangbiru menurun pada tahun 2022. Hingga November ikan yang berhasil ditangkap 10.599.772 kilogram. Meski jumlah yang ditangkap lebih sedikit, tapi nilai produksinya justru meningkat pesat. Uang yang dihasilkan Sendangbiru dari Januari-November Rp226,801 miliar.

“Meski hasil tangkapan lebih kecil dari tahun lalu, tapi nilai produksinya justru bertambah sangat besar. Hal ini berkat penerapan sistem penangkapan terukur. Untuk menjaga nilai produksi, sumber daya kelautan tidak dikuras sebesar-besarnya,” sebut Mufid Supriyanto, yang juga menjelaskan, penerapan tangkapan terukur merupakan program Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Tujuannya demi meningkatkan kesejahteraan nelayan.

Peti Kemas Tak Bisa Masuk ke Sendangbiru

Di tengah kegembiraan semakin meningkatnya jumlah dan nilai produksi, nelayan beserta pengusaha perikanan yang beraktivitas di Pondokdadap memiliki kendala utama; rantai pasok. Saat ini, untuk membawa ikan ke Kota Malang, yang selanjutnya diangkut ke berbagai daerah dan luar negeri, mereka masih mengandalkan truk colt diesel.

Mufid Supriyanto mengatakan selain musim barat, kecilnya badan Jalan Lingkar Selatan Jawa merupakan kendala lainnya dalam upaya meningkatkan pendapatan nelayan di Sendangbiru.

Di UPTD Pulaudadap, pemerintah sudah membangun cold storage berkapasitas 100 ton yang disewakan dengan harga murah kepada pengusaha ikan. Tetap saja, kendala utama pengangkutan ke Kota Malang.

“Rantai pasoknya terlalu panjang. Jarak antara Kota Malang melalui Turen-Wanakerta-Sendangbiru hanya 65 kilometer. Tidak terlalu jauh. Tapi waktu tempuhnya membutuhkan waktu dua jam lebih. Ini disebabkan oleh laluan yang berkelok-kelok. Badan jalan juga sempit. Inilah yang membuat truk peti kemas tidak bisa langsung datang ke PP Pulaudadap. Selama ini ikan-ikan di sini diangkut dengan truk colt diesel yang hanya mampu membawa tiga ton ikan dalam sekali trip/truk,” jelasnya.

Meski belum memiliki jalan keluar terhadap sempitnya badan jalan, pihak UPTD Pondokdadap tidak berpangku tangan. Bersama KUD Mina Jaya mereka membina nelayan dan warga sekitar memproduksi abon tuna. Meskipun saat ini masih kalah saing dengan abon sapi dan ayam, mereka terus berinovasi.

Sekretaris KUD Mina Jaya Budi Ismiyanto menyebutkan abon tuna dibuat dari tuna berukuran besar. Rata-rata di atas 10 kilogram. Daging yang dijadikan abon diambil bagian terbaik, yaitu daging berwarna putih. Kepala, ekor, tulang, dan daging hitam tidak digunakan.

“Abon tuna masih kalah saing karena harganya lebih tinggi. Abon ini dibuat dari daging putih tuna berukuran di atas 10 kilogram. Tidak ada campuran lainnya.”

Ikan-ikan selain tuna juga diolah menjadi pindang dan ikan asap.

KUD Mina Jaya dan UPTD Pondokdadap juga membina pedagang ikan bakar yang disajikan kepada pengunjung pantai. Meskipun musiman—ketika musim timur—tapi sangat menjanjikan. Penikmat ikan segar sangat menggemari ikan bakar di Pantai Sendangbiru.

KUD Mina Jaya yang saat ini memiliki seratusan anggota aktif, juga pemasok berbagai kebutuhan lainnya untuk operasional nelayan. Seperti BBM, air bersih, dan lain-lain.

Berawal dari Curiga Menjadi Kolaborasi

Sebelum nelayan asal Sinjai, Sulawesi Selatan berlabuh ke Sendangbiru, hasil tangkapan nelayan tempatan tidak menggembirakan. Berhari-hari melaut, mereka hanya membawa pulang satu ton ikan. Mereka melaut tanpa ilmu yang memadai.

Dulu di lepas pantai itu dikuasai oleh nelayan luar negeri seperti Filipina. Nelayan asing membangun rumpon di tengah laut. Nelayan lokal sempat salah sangka; mengira pemberat rumpon sebagai rudal. Sekali waktu diangkut ke darat dan dibelah. Hasilnya, tidak ada bom. Besi yang mereka belah tidak berisi apa-apa.

“Begitulah kondisi saat itu. Mereka tidak memiliki pengetahuan tentang rumpon,” sebut Budi.

Mereka juga mencurigai nelayan Sinjai yang mampu menangkap ikan dalam jumlah besar. Sempat terjadi ketegangan. Namun setelah didamaikan oleh tokoh masyarakat dan aparatur pemerintah, mereka rukun kembali. Nelayan Sinjai mentransfer pengetahuan kepada nelayan Tambakrejo, termasuk cara membangun rumpon dan teknik memancing.

Budi yang sudah dua kali dipilih sebagai Sekretaris KUD Mina Jaya menjelaskan, saat ini jumlah rumpon di tengah laut tidak terhitung lagi. Dibuat per kelompok dan semuanya saling menjaga.

Merawat Tepian Sendangbiru Demi Keberlanjutan Tangkapan

Reformasi 1998 membawa angin segar demokrasi di Indonesia. Akan tetapi bagi Sendangbiru justru sebagai awal terjadinya degradasi kelestarian ekosistem.

Krisis moneter dan lemahnya penegakan hukum membuat warga dari luar Tambakrejo merambah Hutan Lindung Apusan. Tak ada yang dapat mencegahnya.

Pernyataan Presiden Kyai Haji Abdurachman Wahid (Gus Dur) hutan untuk rakyat, dimanfaatkan untuk merambah hutan secara tak terkendali.

Melihat warga luar mulai merambah Hutan Apusan, penduduk Tambakrejo pun tak mau ketinggalan. Mereka ikut-ikutan menebangnya dengan alasan kebutuhan ekonomi. Sepanjang 1998-2003 hutan di sepanjang Pantai Sendangbiru mengalami degradasi sangat parah.

Tahun 2004 nelayan di Tambakrejo mulai menuai dampak negatif. Mereka mengalami paceklik ikan. Bukannya menyadari dampak buruk akibat perbuatan sendiri, mereka justru semakin tak terkendali menebang hutan. Kerusakan hutan mangrove kala itu sudah mencapai lebih kurang 81 hektare.

Seorang nelayan Tambakrejo bernama Saptoyo, gelisah. Nyaris tak ada yang menyadari dampak buruk yang telah terjadi. Ikan semakin jauh dari pantai. Air bersih mulai krisis. Semakin melarat, bertambah pula energi warga menebang hutan.

Konservasionis: Saptoyo merupakan orang pertama yang melakukan penanaman kembali kawasan mangrove yang rusak di Sendangbiru. Sang konservasionis bergerak dengan semangat nirlaba. Foto: Komparatif.id/Muhajir.
Konservasionis: Saptoyo merupakan orang pertama yang melakukan penanaman kembali kawasan mangrove yang rusak di Sendangbiru. Sang konservasionis bergerak dengan semangat nirlaba. Foto: Komparatif.id/Muhajir.

Saptoyo bersama keluarga memulai gerakan restorasi lahan dengan cara menyemai bibit mangrove. Setelah tumbuh, mereka turun ke bekas hutan bakau yang telah ditinggalkan oleh perambah. Satu per satu benih rhizophora spp ditancapkan di atas tanah bekas tegakan bakau.

“Mereka menebang, kami menanam,” kata Saptoyo, ketika rombongan wartawan peserta lomba karya tulis jurnalistik Porwanas XIII bertandang ke Kantor Clungup Mangrove Conservation Tiga Warna (CMC Tiga Warna) yang tidak jauh dari UPTD PPP Pondokdadap.

Saptoyo yang pernah diundang ke acara Kickandy dan mendapatkan penghargaan Hero 2020, mengisahkan, aktivitas penanaman kembali hutan bakau dilakukan 2005 hingga 2011.

Setelah mendapatkan pelatihan dari dinas terkait pada 2012, Saptoyo merintis kelompok masyarakat pengawas (pokmaswas). Selama tiga bulan Saptoyo mengajak warga desa bergabung. Dia mendatangi warga dari pintu ke pintu. Akhirnya 25 orang bersedia bergabung. Akan tetapi ketika dia menjelaskan hal yang akan dilakukan oleh pokmaswas, orang-orang yang dia ajak justru mundur. Akhirnya, Saptoyo mengajukan diri sebagai ketua, dan kembali bergerak secara swadaya bersama keluarga.

Ketika putrinya yang bernama Lia Putrinda Anggawa Mukti kuliah di Universitas Brawijaya, Saptoyo mendapatkan “bala bantuan”. Setiap akhir pekan Lia membawa teman-temannya dari kampus untuk ikut menanam dengan cara terlebih dahulu membeli bibit yang telah disediakan.

Pola kampanye itu didapatkan setelah Saptoyo berdiskusi dengan Lia dan beberapa pemuda Tambakrejo yang memiliki semangat restorasi.

Mendapatkan energi baru, Saptoyo tambah semangat. Dia dan tim kecilnya memperbanyak bibit, kemudian menjualnya kepada mahasiswa. Mereka secara bersama turun ke padang lumpur tepi pantai, menanam bibit bakau berbagai jenis.

Hikmah Setelah Dipenjara

Melihat semakin hari bertambah banyak berpartisipasi, timbullah kecemburuan dan kecurigaan. Beberapa pihak mengira Saptoyo mendapatkan keuntungan finansial dari aktivitas konservasi.

Pada tahun 2015 polisi datang ke rumahnya. Menggeledah seisi kediaman. Ia juga diangkut ke kantor polisi dan harus meringkuk di dalam sel selama dua hari. Berkat bantuan banyak pihak dia dibebaskan.

Peristiwa itu menyadarkan Saptoyo bahwa aktivitasnya ternyata masih ilegal bila ditinjau dari sisi hukum. Dia merangkul beberapa pihak dan mendirikan Yayasan Bhakti Alam Sendang Biru. Setelah legalitas terpenuhi, Yayasan Bhakti Alam Sendang Biru melakukan perjanjian kerja sama dengan Perhutani.

Dalam titimangsa aktivitas menanami kembali hutan yang rusak, CMC Tiga warna telah menghijaukan kembali green belt hutan pantai.

Demikian juga hutan bakau yang pada tahun 2005 tersisa lebih kurang lima hektare, kini telah berhasil dikembalikan fungsinya sebagai kanopi pantai seluas 77,7 hektare yang ditanami kembali sejak 2005-2022. Untuk tahun-tahun selanjutnya, masih ada 3,3 hektare yang akan ditanami bakau. Selain itu CMC Tiga warna juga mengelola kawasan terumbu karang seluas 10 hektar. Mereka juga mengelola kawasan padang lamun (sea grass). Di kawasan terumbu karang dan padang lamun yang dikelola CMC dilarang adanya aktivitas penangkapan ikan.

Seperti kata pepatah, sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui. Selalu ada bonus atas tiap kerja keras yang terukur. Ketekunan Yayasan Bhakti Alam Sendang Biru membuahkan hasil berganda. Kini nelayan Pantai Sendangbiru kembali dapat memanen ikan di laut dalam jumlah yang banyak. Tuna berkualitas ekspor, cakalang, dan ikan-ikan lainnya melimpah. Masa panen ikan pun bertambah panjang.

CMC Tiga Warna juga mendapatkan “hadiah lain”. Kawasan yang mereka restorasi kini telah menjadi ekowisata berbasis masyarakat. Warga yang dulunya merupakan pelaku perambahan hutan, kini menjadi pemandu wisata.

Spot Foto Clungup: Sebuah spot foto dibangun di tepi Pantai Clungup yang telah ditanami kembali bakau. Clungup merupakan kawasan pertemuan air asin dan air tawar (estuari). Foto: Komparatif.id/Muhajir
Spot Foto Clungup: Sebuah spot foto dibangun di tepi Pantai Clungup yang telah ditanami kembali bakau. Clungup merupakan kawasan estuari. Foto: Komparatif.id/Muhajir

Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan, CMC Tiga Warna merupakan wujud ekowisata berbasis masyarakat yang sangat baik di Jawa Timur.

CMC Tiga Warna mengelola 6 pantai di kawasan itu yaitu Pantai Clungup, Pantai Gatra, Pantai Savana, Pantai Mini, Pantai Watu Pecah dan Pantai Tiga Warna.

Sejak dibuka tahun 2015, jumlah wisatawan yang berkunjung ke kawasan CMC Tiga warna terus meningkat. Sempat mencapai 61.739 orang pada tahun 2019. Akibat Covid-19—dengan berbagai kebijakan yang diberlakukan, jumlah pengunjung turun pada tahun 2020-2021. Tahun lalu pengunjung yang berkesempatan datang ke sana hanya 21.067 orang. Namun sejak Januari-Agustus 2022, pelancong ekowisata meningkat menjadi 31.343 orang.

Lia Putrinda Anggawa Mukti menyebutkan, bila dihitung rata-rata, sebelum pandemi Covid-19, jumlah pengunjung setiap bulan berkisar 5000 sampai 6000 visitor. Setelah wabah itu berlalu, pengunjung yang datang 3000 sampai 4000 per bulan.

Meski dibuka untuk umum, untuk dapat berkunjung ke sana, tidak serta merta bisa dilakukan. Harus reservasi terlebih dahulu. Pengunjung juga diwajibkan menjaga sampah masing-masing. Setiap item sampah yang tidak dibawa kembali ke luar kawasan CMC Tiga Warna, akan didenda Rp100 ribu.

Berkat komitmen tersebut, tak ada sampah plastik yang ditemui di sepanjang pantai yang mereka Kelola.

Sebagai kawasan konservasi, pengunjung tidak dapat membawa kendaraan ke tepi pantai. Pengelola menyediakan track jalan kaki dan jalur Viar. Jaraknya dari pos pertama ke tepi Pantai Gatra sekitar 1,5 kilometer.

Harmoni di Tengah Perbedaan

Setiap Kamis enam pantai yang dikelola CMC Tiga Warna ditutup untuk umum. Masa lowong kunjungan itu dipergunakan untuk aktivitas bersih-bersih. Tak ada bangunan permanen di objek wisata tersebut. Pengelola semaksimal mungkin mempertahankan kealamian kawasan.

Hal unik lainnya, enam pantai itu tidak pernah kosong dari pengawasan. Meskipun setiap Idulfitri objek wisata itu ditutup untuk umum selama 10 hari, tapi di dalamnya pengelola beragama Nasrani tetap bertugas.

Pantai Gatra: Pantai Gatra menyajikan keindahan alam nan eksotis. Pun demikian setiap Idulfitri, Natal dan tahun Baru, pantai itu ditutup untuk umum selama 10 hari. Foto: Komparatif.id/Muhajir.
Pantai Gatra: Pantai Gatra menyajikan keindahan alam nan eksotis. Pun demikian setiap Idulfitri, Natal dan Tahun Baru, pantai itu ditutup untuk umum selama 10 hari. Foto: Komparatif.id/Muhajir.

Demikian juga saat Natal dan Tahun Baru, pantai ditutup, giliran pengelola beragama Islam yang menjaga pantai selama 10 hari.

Meskipun berbeda keyakinan, ikatan batin antara mereka sudah sangat kuat. Bila Lebaran, maka penjaga pantai dikirimkan makanan oleh pengelola yang merayakan Hari Raya. Demikian juga sebaliknya.

“kami di sini hanyalah manusia biasa, yang memiliki semangat bersama menjaga kelestarian alam. Kami adalah konservasionis,” tutup Saptoyo.

Artikel SebelumnyaBakri Siddiq Ajak Warga Banda Aceh Tanam Cabai di Pekarangan
Artikel SelanjutnyaSiswa Minati Jurusan Spa & Kecantikan SMKN 1 Kutacane
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here