Pantaskah Muzakkir Manaf Sebagai Waliyul ‘Ahdi?

Khairil Miswar menyoal independensi Muzakkir Manaf yang dilantik sebagai Waliyul 'Ahdi Wali Nanggroe. Karena Mualem merupakan Ketua Umum DPA Partai Aceh juga berpotensi maju kembali pada pilgub 2024. Foto: Dok. Penulis.
Khairil Miswar menyoal independensi Muzakkir Manaf yang dilantik sebagai Waliyul 'Ahdi Wali Nanggroe. Karena Mualem merupakan Ketua Umum DPA Partai Aceh juga berpotensi maju kembali pada pilgub 2024. Foto: Dok. Penulis.

Sejumlah media di Aceh mengabarkan prosesi pelantikan Muzakkir Manaf alias Muallem, bekas Panglima Perang Aceh Merdeka, sebagai Waliul ‘Ahdi dalam struktur Lembaga Wali Nanggroe.

Muallem secara resmi dilantik sebagai Waliul ‘Ahdi pada 27 Desember 2022 oleh Wali Nanggroe, Paduka Yang Mulia Malek Mahmud Al-Haytar, yang di masa perang menjabat sebagai Perdana Menteri dalam kabinet Gerakan Aceh Merdeka bentukan Hasan Tiro.

Oleh tuan-tuan netizen Aceh, pengukuhan Waliul ‘Ahdi ini ditanggapi dengan komentar yang beragam; ada yang bersikap dingin sembari menunjukkan mimik tak peduli, ada yang mendukung dengan nyanyian hikayat perjuangan yang heroik itu dan ada pula yang mengambil posisi ketawa sembari sesekali terbahak.

Baca juga: Muzakkir Manaf Dilantik Sebagai Waliyul ‘Ahdi Wali Nanggroe

Artinya, pelantikan tersebut tidak secara serta merta dan bulat dianggap sebagai sesuatu yang penting oleh tuan-tuan netizen yang merupakan representasi masyarakat Aceh di alam maya.

Dengan kata lain, ritual pelantikan Muzakkir Manaf sebagai Waliul ‘Ahdi hanya menjadi peristiwa biasa dalam pandangan masyarakat Aceh hari ini yang lebih sibuk dengan mahalnya harga telur dan penuhnya SPBU dengan para pengantre BBM. Dua yang disebut terakhir sepertinya lebih menjadi perhatian masyarakat Aceh ketimbang memaknai seremoni di Gedung Pendopo Wali Nanggroe yang hingga saat ini belum menunjukkan kontrobusi konkret terhadap mimpi kesejahteraan mereka.

Namun begitu, sebagai lembaga yang dibiayai dengan uang rakyat, masyarakat juga tak boleh abai tentang apa yang terjadi di sana. Catatan-catatan kecil tetap harus diberikan agar keberadaan Lembaga Wali Naggroe yang kerap diimajinasikan sebagai salah satu simbol kekhususan Aceh itu bisa sedikit bermakna, setidaknya di masa depan. Karena itu, posisi Waliul ‘Ahdi yang saat ini dijabat oleh Muzakkir Manaf menjadi penting untuk diperbincangkan.

Jika merujuk kepada qanun yang mengatur tentang lembaga itu, penetapan Muzakkir Manaf sebagai Waliul ‘Ahdi oleh Wali Nanggroe, Malik Mahmud Al-Haytar adalah sah-sah saja, sebab secara normatif tidak ada yang dilanggar. Namun demikian, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, khususnya terkait dengan definisi, tujuan dan fungsi dari Lembaga Wali Nanggroe agar penempatan seseorang di lembaga dimaksud tidak bias sehingga memunculkan polemik yang tidak produktif.

Dalam Qanun Aceh No. 10 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Qanun Aceh nomor 8 Tahun 2012 Tentang Lembaga Wali Nanggroe pada pasal 1 poin 4 disebutkan bahwa: “Lembaga Wali Nanggroe adalah lembaga kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, bahasa dan pemberian gelar/ derajat dan upacara-upacara adat lainnya.” Adapun tujuan pembentukan Lembaga Wali Nanggroe sebagaimana disebutkan dalam pasal 3 di antaranya untuk mempersatukan rakyat Aceh.

Pasal ini secara tegas menjelaskan bahwa Lembaga Wali Nanggroe adalah pemersatu yang independen. Ini adalah poin penting yang membedakan antara Lembaga Wali Nanggroe dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Lembaga yang disebut kedua memiliki kaitan erat dengan partai-partai politik di mana eksistensi anggota-anggotanya berangkat dari kontestasi politik. Sementara lembaga yang disebut kedua sama sekali tidak dan tidak boleh disusupi oleh kepentingan politik praktis, sebab ia telah secara tegas didefinisikan sebagai pemersatu yang independen yang pastinya harus terbebas dan merdeka dari kepentingan politik golongan manapun. Ini catatan pertama.

Kedua, dalam poin 10 pasal 1 dijelaskan definisi Waliul ’Ahdi sebagai “pemangku Wali Nanggroe atau orang yang merupakan perangkat kerja Lembaga Wali Nanggroe yang melaksanakan tugas, fungsi dan kewenangan Wali Nanggroe apabila Wali Nanggroe tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap dan melaksanakan tugas-tugas lain yang didelegasikan oleh Wali Nanggroe.” Adapun tugas-tugas Waliul ‘Ahdi lebih kepada membantu tugas-tugas Wali Nanggroe. Sementara terkait penetapan Waliul ‘Ahdi diatur dalam pasal 73: calon Waliul ‘Ahdi diusulkan oleh Majelis Tuha Peut Wali Nanggroe sekurang-kurangnya 3 orang di mana kemudian Wali Nanggroe menetapkan salah satunya sebagai Waliul ‘Ahdi. Dalam konteks ini tidak begitu jelas apakah ada pengusulan Waliul ‘Ahdi dari Tuha Peut atau tidak. Tapi, biarlah itu menjadi urusan internal Lembaga Wali Nanggroe.

Yang menjadi catatan di sini adalah fungsi Waliul ‘Ahdi yang boleh dikatakan sebagai “Putra Mahkota” jika secara tiba-tiba Wali Nanggroe berhalangan tetap. Dengan kata lain, Waliul ‘Ahdi adalah Wali Nanggroe “junior” yang sewaktu-waktu bisa menggantikan posisi Wali Nanggroe yang sekali lagi – fungsinya adalah sebagai pemersatu yang independen. Dalam konteks inilah posisi Muzakkir Manaf dipertanyakan, sebab ia adalah salah seorang pimpinan partai politik.

Meskipun secara normatif pengukuhan Muzakkir Manaf sebagai Waliul ‘Ahdi dapat dikatakan sah-sah saja, namun secara etik justru dapat menimbulkan masalah di kemudian hari, sebab independensi Waliul ‘Ahdi sebagai pemangku Wali Naggroe menjadi diragukan. Dalam hal ini adalah sulit bagi seorang ketua partai politik untuk bisa menampilkan diri sebagai pemersatu yang independen.

Di sisi lain, posisi Muzakkir Manaf yang bukan tidak mungkin akan berkontestasi dalam Pilgub 2024 juga akan menghadirkan masalah tersendiri bagi Lembaga Wali Nanggroe. Bukan hanya soal dia berpotensi “menggunakan jabatan” Waliul ‘Ahdi dalam kampanye politiknya, tapi sekiranya dia kalah dalam pertarungan politik pun akan menyisakan masalah, di mana kehormatan Lembaga Wali Nanggroe akan menjadi taruhan.

Kita tentu akan kebingungan mencari narasi yang pas jika nantinya Pemangku Wali Nanggroe kalah dalam kontestasi politik. Hal-hal semacam ini tentunya harus menjadi pertimbangan agar Lembaga Wali Nanggroe bisa tetap independen dan Muzakkir Manaf pun bisa lebih leluasa berkontestasi dalam Pilgub mendatang tanpa adanya “beban” sebagai Pemangku Wali Nanggroe.

Karena itu, Muzakkir Manaf harus membuat pilihan yang tepat; apakah tetap menjadi pemimpin partai politik atau mengambil posisi sebagai pemersatu rakyat Aceh dalam jabatan Waliul ‘Ahdi – yang bukan tidak mungkin suatu saat akan menggantikan posisi Malik Mahmud Al-Haytar. Saya pikir, pilihan kedua lebih tepat, sebab Aceh masih kekurangan figur pemersatu, sementara politisi di Aceh boleh dikatakan surplus.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here