Menyoal Kualitas Bimtek Desa yang Menyasar Bireuen

Surat undangan dari dua lembaga penyelenggara bimtek yang tidak jelas portofolionya. Foto: koleksi Rakyat Aceh.
Surat undangan dari dua lembaga penyelenggara bimtek yang tidak jelas portofolionya. Foto: koleksi Rakyat Aceh.

Tahun 2021, sejumlah lembaga yang tidak jelas portofolionya berfoya-foya dengan Dana Desa di Bireuen. Ratusan miliar uang negara yang diperuntukkan untuk membangun ekonomi rakyat, mengalir ke luar provinsi, melalui bimtek dengan hasil yang tidak dapat dipertanggung jawabkan. Semata menjalankan kepentingan oknum pejabat dan oknum aparat.

Tahun ini, hal tersebut kembali hendak diulang. Dua lembaga yaitu Kompak Nusantara dan Lembaga Pelatihan Pendidikan dan Pelatihan Manajemen (LPPM) Anak Bangsa Bersatu, kembali datang ke Bireuen, mengirimkan undangan pelatihan, disertai kewajiban menyetor biaya pelatihan.

Kompak Nusantara mematok Rp7.500.000, per peserta, dan LPPM ABB mematok Rp14.5 juta per peserta. Bila ditambah dengan ongkos perjalanan dan akomodasi lainnya, tentu angka tersebut akan lebih besar.

Kompak Nusantara yang pemiliknya saya kenali sebagai “kontraktor bimtek desa” kali ini memberikan nama kegiatannya dengan judul bimtek nasional dan diselenggarakan di Jakarta. Sementara LPPM ABB memberi nama kegiatannya pelatihan life skill dan ketahanan pangan, dan dilaksanakan di hotel di Brastagi, Sumatera Utara.

Terlepas bila kedua lembaga tersebut memiliki backing di belakang, karena hal demikian memang sudah lumrah di negara ini. Banyak oknum aparat dan pejabat rela menggadaikan harga diri dan marwah keluarga untuk kepentingan duniawi yang sementara. Itu sudah menjadi rahasia umum. Jabatan dan pangkat, dipergunakan di jalan yang salah, dan mereka bangga melakukannya.

Mari kita simak, tema bimtek dan pelatihan kali ini. Kedua lembaga tersebut mengangkat tema ”peningkatan ketahanan pangan”. Kedua lembaga itu tahu bahwa di tema tersebut ada DD sebanyak 20 persen yang diamanahkan oleh negara, dapat dipergunakan sebagai biaya pelatihan. Right? Okey.

Dana itu disasar oleh Kompak Nusantara dan LPPM ABB, tapi yang jadi masalah, mengapa harus di luar daerah? Mengapa harus ke hotel di Jakarta? Mengapa harus ke hotel di Brastagi?

Bukankah bila bicara tema ketahanan pangan, harusnya yang dilatih adalah kelompok tani, dan tempatnya di balai Latihan kerja (BLK). Bukankah bicara life skill bermakna keterampilan hidup? Bila dikaitkan dengan ketahahan pangan, maka yang dilatih bagaimana memproduksi bibit, bahan baku, serta memperbanyak panen pangan. Nah, harusnya pelatihan itu di BLK, bukan di hotel.

Kemudian, bicara ketahanan pangan, pesertanya bukan kepala desa, atau sekdes. Tapi kelompok tani. Minimal ketua dan sekretarisnya. Karena bicara ketahanan pangan, maka peserta dibekali kemampuan produksi bahan baku makanan. Kan tidak mungkin kepala desa setelah pulang bimtek kemudian mengajari lagi warganya.

Selanjutnya, Kompak Nusantara yang beralamat di Banda Aceh dan LPPM ABB asal Sumatera Utara, merupakan lembaga tanpa portofolio yang jelas. Kompak Nusantara katanya didirikan tahun 2015, tapi di website-nya—sekarang sudah tidak bisa diakses lagi—tidak ada jejak kegiatan mereka yang menunjukkan kembaga itu professional. Ketika saya masih bisa menelusuri web lembaga itu, hanya sedikit bahan yang tersedia, dan sama sekali tidak ada yang berkaitan dengan lembaga itu.

Bagaimana dengan LPPM ABB? Itu lebih tragis lagi. Lembaga tersebut menyebutkan dirinya berdiri tahun 2021. Selebihnya tidak ada keterangan apa pun. Melacak mereka di internet, seperti mencari jarum di dalam padang pasir. Sehingga saya simpulkan lembaga tersebut juga tidak memiliki portofolio yang jelas.

Dengan demikian, kedua lembaga tersebut menurut hemat saya tidak memiliki kapasitas menyelenggarakan pelatihan dengan menggunakan uang negara.

Teman-teman di desa, pahamilah, bahwa Dana Desa merupakan uang rakyat. Harus dipergunakan secara bertanggung jawab, terukur dan berintegritas. Setiap sen yang dikeluarkan wajib dipertanggungjawabkan. Bila tidak, rakyat dapat menggugat.

Bila pun kemudian dipergunakan untuk peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) aparatur, harus terukur dampaknya. Setelah pulang dari pelatihan, aparatur harus menunjukkan hasilnya.

Tahun 2021 Bireuen pernah dilanda bimtek, yang sampai sekarang belum terlihat perubahan nyata dari hasil rangkaian bimtek-bimtek itu. Menurut banyak sumber hanya sekadar jalan-jalan sebagai bentuk bagi-bagi dana desa untuk oknum aparat dan pejabat.

Ada pertanyaan, mengapa banyak sekali oknum yang berani merampok dana desa di Bireuen? Jawabannya karena Bupati Bireuen saat iti Dr. Muzakkar A.Gani tidak memiliki daya tawar. Ia lemah, dan tidak bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Ia tidak berdaya, dan itu pengalaman buruk bagi kita semua, bahwa seorang birokrat senior, mantan akademisi, juga bisa dihumbalang oleh sesuatu yang tidak terlihat. Ada apa?

Dr. Muzakkar sudah berlalu. Ia menyelesaikan masa kepemimpinannya dengan beberapa catatan merah. Meskipun pahit bagi kita semua, tapi mau apalagi?

Kini, Bireuen ada di tangan kaum mudanya. Baik ketua pemuda, keuchik muda, mahasiswa, dan seluruh stakeholder. Bupati lemah telh purna tugas, lalu, apakah kita juga akan meneruskan kelemahan itu?

Tahun 2021, Bireuen pernah diserang hingga ke ulu jantung. Dana desa dirampok dengan cara-cara yang sangat tidak pantas. Dan nyaris semuanya diam. Tak ada yang bersuara. Kita ditampar san dilecehkan langsung di dalam rumah, dan nyaris tidak ada yang melawan.

Anggap saja itu masa sulit dan banyak di antaranya butuh uang untuk bertahan hidup. Simbiosis mutualisme, meskipun yang menderita adalah rakyat kecil. Anggap saja itu extra ordinary situation. Tapi apakah tahun 2022, hal itu kembali kita biarkan?

Saya dan Anda tentu tidak anti terhadap bimtek. Tapi kita sangat tidak sepakat dengan bimtek pura-pura, yang berupa “perampokan” dana desa dengan cara legal formal.

Negara ini, pemimpin daerah ini, boleh telah mati akal budi dan nurani. Tapi kita sebagai rakyat, jangan sampai memadamkan integritas dan rasa peduli, bila kita masih sepakat bahwa premanisme bukan bagian budaya Islam. Bila kita masih sepakat bahwa orang Bireuen masih punya marwah dan harga diri.

Mari kita bangkit, lawan upaya penggasakan dana desa untuk kepentingan oknum pejabat dan aparat.

Artikel SebelumnyaEkonomi Aceh Tetap Positif Meski Sedikit Melambat
Artikel SelanjutnyaPetaka Ferdy Sambo Gara-gara Kecerobohannya
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here