Setiap sekolah memiliki pekarangan. Bagian depan, samping, atau belakang. Sayangnya, di daerah saya masih banyak pekarangan sekolah hanya dipenuhi rumput liar. Dibiarkan kosong, tidak produktif. Padahal, lahan ini dapat dimanfaatkan menjadi kebun sekolah. Sarana untuk ladang pembelajaran yang hidup bagi siswa.
Kebun sekolah bukanlah hal baru. Beberapa sekolah seperti SDN 2 Kampung Kotaagung, SMKN 1 Singkil Utara, hingga SLB YPPC Banda Aceh telah berhasil memanfaatkannya. Bahkan, SMKN 1 Singkil Utara telah mengembangkan kebun hidroponik dan budidaya jamur tiram sebagai bagian dari program ketahanan pangan.
Tapi untuk sampai pada tahap itu tentu butuh waktu dan sumber daya lebih. Untuk tahap awal, kita dapat memulainya dari langkah kecil, yakni menjadikan pekarangan sekolah yang sempit sebagai kebun mungil sederhana.
Dahri dan Kebun di Sudut Sekolah
Saya ingin bercerita tentang pengalaman seorang sahabat, Dahri namanya. Dia merupakan guru PAI (Pendidikan Agama Islam) di SLB (Sekolah Luar Biasa) YPPC Banda Aceh. Dia masuk dan mengajar di sekolah ini sejak tahun 2022.
Awalnya, dia mendapati pekarangan belakang sekolahnya itu kosong, pekarangan itu tidak luas, hanya berukuran 1×5 meter, letaknya pun di sudut belakang. Katanya “hanya ada dua batang cabai yang hampir punah” di situ.
Melihat itu, dia berinisiatif untuk menjadikannya kebun kecil. Dia mulai menanam tanaman hijau seperti bayam dan kangkung dengan siswa. Dua bulan kemudian, hasil panennya cukup bagus, bahkan sempat dijual ke sekolah lain.
Panen pertama itu ternyata membangkitkan semangat warga sekolah. Siswa-siswa setiap pagi menyiram tanaman. Kegiatan ini juga berfungsi sebagai latihan motorik bagi mereka. Hasil panen berikutnya kadang digunakan untuk praktik tata boga—belajar memasak dari bahan yang mereka tanam sendiri. Kegiatan ini tentunya sangat berkesan, karena merupakan kegiatan belajar hulu ke hilir, dari tanah ke meja makan.
Bagi siswa berkebutuhan khusus seperti di SLB YPPC Banda Aceh, berkebun bukan hanya sebatas kegiatan tambahan. Ia menjadi stimulus motorik, melatih konsentrasi, dan menumbuhkan rasa tanggung jawab. Salah satu kebanggaan bagi mereka ialah ketika melihat hasil jerih payah mereka tumbuh subur.
Pengalaman Dahri hanyalah satu contoh kecil dari banyak kemungkinan besar yang bisa lahir dari kebun sekolah. Dari sana kita bisa melihat bahwa ruang kecil pun dapat menjadi wadah tumbuhnya pembelajaran yang penuh makna bagi siswa.
Mengapa Kebun Sekolah Penting?
Kebun sekolah merupakan ruang belajar lintas pelajaran. Dalam pelajaran IPA misalnya, siswa dapat belajar fotosintesis sembari menanam cabai. Dalam pelajaran Ekonomi, mereka bisa belajar tentang ketahanan pangan dan kewirausahaan. Dalam pelajaran Matematika, siswa bisa belajar mengukur tinggi tanaman atau menghitung hasil panen. Semua itu dapat dilakukan secara konkret, kontekstual, dan menyenangkan.
Lebih dari itu, kebun sekolah juga dapat menjadi media untuk membentuk karakter pada siswa seperti kesabaran, kerja keras, cinta lingkungan, serta kemandirian.
Siswa belajar tentang asal-usul makanan yang saban hari mereka konsumsi, mereka pun menjadi bagian dari proses itu—bukan sekadar konsumen, tapi juga produsen. Ini merupakan keterampilan bertahan hidup yang relevan, terutama di tengah ancaman krisis pangan.
Di Majalengka, kebun sekolah bahkan menjadi bagian dari strategi mitigasi perubahan iklim. Di Vietnam dan sejumlah sekolah Indonesia yang tergabung dalam program Nutrition Goes to School, kebun sekolah dijadikan ruang edukasi gizi dan sumber pangan sehat. Kita bisa meniru itu dengan cara yang sederhana dan kontekstual.
Lebih jauh lagi, kebun sekolah bisa menjadi pintu masuk bagi regenerasi petani. Ini dapat menjadi sumbangsih untuk menjawab permasalahan krisis regenerasi petani saat ini.
Fakhrurrazi, seorang penyuluh pertanian di Aceh Barat pernah menyampaikan keresahan utamanya ini dalam sebuah obrolan di warung kopi. Dia mengungkapkan “masalah utama kami di lapangan adalah makin sedikit orang yang mau bertani.”
Menurutnya, banyak anak petani saat ini justru enggan melanjutkan profesi orang tuanya. Mereka beranggapan bahwa bertani itu merupakan pekerjaan kolot, kotor, dan tidak bergengsi. Mereka lebih suka menjadi karyawan kantoran dalam ruangan berpendingin udara. Jika seperti ini, maka siapa lagi yang mau menanam, semuanya ingin menjadi pembeli.
Baca juga: Hari Pendidikan: Generasi Stroberi vs Generasi Emas
Barangkali ada benarnya anggapan bertani itu merupakan pekerjaan kolot. Namun, itu dikarenakan belum banyak inovasi yang masuk ke dunia pertanian di sekitar mereka.
Padahal, bila para pemuda mau terjun ke sektor ini dengan membawa ide dan inovasi, pertanian bisa menjadi bidang yang menjanjikan. Di banyak daerah yang sudah maju, pertanian berkembang ke arah yang lebih efisien, ramah lingkungan, dan modern. Artinya, pertanian tidaklah sesuram yang mereka bayangkan.
Pertanian modern telah mengintegrasikan teknologi canggih yang membuat pengelolaan lahan lebih efisien dan presisi, meningkatkan produktivitas serta kualitas hasil panen. Kementerian Pertanian (Kementan) juga aktif mendorong generasi muda untuk menjadi petani modern dengan menyediakan beragam pelatihan dan akses terhadap teknologi pertanian.
Melalui hadirnya program-program tersebut, pemerintah berharap agar anak muda dapat melihat pertanian bukan sebagai profesi yang kotor dan tidak bergengsi, melainkan sebagai profesi yang inovatif dan menjanjikan.
Di sinilah letak penting adanya kebun sekolah. Memperkenalkan pertanian sejak dini, bukan sebagai pekerjaan rendah, tapi kecakapan hidup dan bentuk kehormatan. Karena sejatinya, petani adalah penjaga kehidupan. Langkah kecil ini dapat menjadi awal dari perubahan besar untuk membangun kembali generasi tangguh dan berdaya saing tinggi.
Memulai dari Langkah Kecil
Untuk memulai sesuatu, dalam hal ini membuat kebun sekolah, tentunya ada tantangan. Namun, perubahan tidak harus menunggu program besar dari pemerintah.
Seperti cerita Dahri sebelumnya, dia memulai itu dengan inisiatif untuk membuat produktif lahan kecil di belakang sekolah. Bukan karena disuruh, tapi karena ada kepedulian dan kemauan. Dia pun bukan guru tata boga, melainkan guru PAI. Ini menunjukkan dengan jelas bahwa kegiatan ini dapat diprakarsai oleh siapa saja, asal ada kemauan dan usaha tentu akan dapat diraih.
Saat memulai membuat kebun sekolah mungkin akan muncul beberapa tantangan;
Pertama, terbatasnya lahan dan sarana. Sebagian sekolah mungkin tidak memiliki lahan yang luas. Namun, ini tidak menjadi hambatan, lahan sempit pun dapat dimanfaatkan untuk kebun, atau pun dapat juga menggunakan metode tanam dalam pot atau polybag.
Kedua, minimnya pengetahuan tentang pertanian. Tak bisa dipungkiri bahwa tidak semua guru atau siswa paham cara menanam. Untuk mengatasi hal ini, berkebun dapat dimulai dengan tanaman yang mudah tumbuh dan tidak membutuhkan perawatan rumit, seperti ubi, kangkung, cabai, atau kunyit.
Pengetahuan dasar tentang cara menanam dapat diperoleh dengan mudah melalui Google, Youtube, petani lokal, atau penyuluh pertanian.
Ketiga, kurangnya dukungan awal. Kadang kegiatan berkebun ini tidak menjadi prioritas di sekolah. Namun, jika ada satu atau guru yang berinisiatif dan mau menjadi penggerak, lambat laun semangat tersebut akan menular ke warga sekolah yang lain.
Keempat, keterbatasan waktu dan tenaga. Jadwal sekolah yang padat dapat membuat kegiatan seperti berkebun sulit untuk dilakukan. Namun, hal ini sebenarnya dapat diatasi dengan beberapa strategi dari guru. Salah satunya adalah menjadikan berkebun sebagai bagian dari rutinitas harian sederhana siswa.
Misalnya, guru dapat meminta siswa untuk menyiram tanaman setiap pagi sebelum memulai pelajaran di kelas. Kegiatan ini tentunya tidak memakan waktu lama, tapi bermanfaat untuk menjaga kebun tetap terawat. Selain itu, kegiatan juga dapat dijadwalkan secara berkala misalnya melalui program “Jumat Bersih”, di mana siswa bersama-sama membersihkan area kebun.
Strategi lain seperti membagi tugas secara bergilir dengan membentuk kelompok siswa. Setiap kelompok secara bergantian bertugas selama seminggu untuk menyiram tanaman, membersihkan rumput, atau memanen hasil kebun. Kegiatan berkebun juga dapat diintegrasikan ke dalam proses pembelajaran.
Semisal guru IPA dapat memberikan tugas praktikum berupa pengamatan pertumbuhan tanaman. Sementara guru Ekonomi dapat membahas aspek kewirausahaan dari hasil panen. Dengan cara ini, berkebun dapat menjadi bagian integral dari pendidikan sehingga tidak dianggap sebagai beban tambahan.
Langkah awal dapat dimulai dari kegiatan sederhana, seperti mengajak siswa untuk menyiangi rumput, menanam bibit bersama, dan menyiram tanaman setiap pagi. Kegiatan ini dapat dipadukan dengan mata pelajaran relevan agar menjadi lebih bermakna. Bahkan, hasil panen pertama, sekecil apa pun, dapat menjadi penyemangat luar biasa bagi yang terlibat.
Penutup
Kisah Dahri dan siswanya menunjukkan bahwa kebun sekolah dapat menjadi ruang belajar yang hidup. Tempat siswa belajar tanggung jawab, kerja sama, cinta lingkungan, dan keterampilan hidup. Lewat berkebun, mereka tak hanya menghafal nama tumbuhan, tapi juga terlibat langsung menanam dan merawatnya.
Teori dan praktik menyatu, menjadikan pembelajaran lebih kontekstual dan bermakna. Bahkan, kebun sekolah bisa menjadi awal lahirnya generasi petani masa depan yang tak hanya tahu cara menanam, tapi juga memahami nilai kerja keras dari setiap tetes keringat petani di ladang.
Bayangkan jika di sekolah-sekolah kita, siswa tak hanya menghafal tentang jenis-jenis tanaman, tapi juga ikut menanam dan merawatnya. Mereka tak hanya mengerti teori, tapi juga belajar langsung dari alam.
Sekolah menjadi tempat yang benar-benar hidup, tempat ilmu tumbuh bersama rasa peduli dan cinta pada kehidupan. Sudah saatnya kita tidak hanya menunggu program besar atau instruksi dari atas untuk bergerak. Cukup mulai dari pekarangan yang ada, dari guru yang peduli, dan dari langkah-langkah kecil yang berkelanjutan.