Mengapa Orang Aceh Banyak Dalam Bisnis Narkoba?

narkoba murthalamuddin
Murthalamuddin.

Sayed Fackrul menjadi terpidana narkoba yang mendapatkan dua kali vonis mati. Terakhir dia divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Idi, Aceh Timur, karena menjadi otak pengendali bisnis narkoba. Tahun 2023 dia juga sudah divonis hukuman mati. Ia sedang menunggu proses eksekusi. Untuk vonis kedua kalinya, Sayed Fackrul mengendalikan bisnis narkoba dari dalam Lapas Kelas II A Lambaro.

Narkoba telah lama menjadi persoalan krusial di Aceh. Bahkan saat ini narkoba telah menjadi bahaya laten. Menggurita hingga ke lapisan paling bawah di masyarakat. Nyaris tidak ada kampung di Aceh yang tidak memiliki pencandu sabu-sabu. Kabarnya di banyak penjara Aceh, napi narkoba yang paling banyak.

Dalam banyak kasus peredaran ilegal sabu-sabu di luar Aceh, umumnya juga melibatkan orang Aceh. Fenomena tersebut mengundang tanya. Ada apa dengan orang Aceh? Atau, ada apa dengan Aceh? Kenapa bisa begini? Kenapa orang Aceh begitu nekad?

Baca: Seludup 185 Kg Sabu-sabu, Sayed Fackrul Divonis Mati

Baca: Ini Aset Nyonya N yang Jadi Barang Bukti TPPU

Persoalan pokok adalah sulitnya lapangan kerja di Aceh. Juga sempitnya ruang usaha di Aceh.  Ini juga terkait rendahnya skill anak muda Aceh. Dunia pertanian yang seharusnya menjadi primadona, tidak menjanjikan kesejahteraan. Menjadi petani di Aceh, berarti telah memilih jalan menuju kemiskinan yang dapat diwariskan. Angkatan kerja di Aceh tidak lagi percaya bila dunia pertanian dapat menjadi sektor ekonomi menjanjikan.

Demikian juga kelautan. Umumnya nelayan di Aceh adalah buruh. Mereka dibayar pas-pasan. Menjadi nelayan tidak akan mengubah ekonomi keluarga menjadi lebih baik. Menjadi lebih buruk? Umumnya demikian.

Aceh juga daerah bekas konflik. Manusia di daerah bekas konflik bersenjata memiliki kenekatan yang lebih. Para penyintas perang umumnya tidak takut mati, bilamana memiliki peluang keluar dari jerat kemiskinan. Bagi mereka, kemiskinan yang berpuluh tahun sangat menyiksa. Tantangan keluar dari kemiskinan membuat orang gelap mata dan berpikir pendek.

Budaya permisif di masyarakat bahkan telah merasuki dunia politik dan keagamaan. Saya menduga gembong narkoba menjadi penyumbang dana politik. Bahkan kegiatan masyarakat maupun kegiataan keagamaan mendapat sumbangan besar dari hasil narkoba.

Banyak orang kaya baru (OKB) baru di gampong-gampong yang asal-muasal kekayaannya misterius. Mereka terduga gembong narkoba. Masyarakat menerima mereka dengan lapang. Diberi podium kehormatan, diangkat sebagai tokoh yang dibanggakan.

Jika ini tidak segera menjadi gerakan semesta memberantas. Maka ambang kehancuran sistemik Aceh sedang berlangsung.

Harus ada gerakan menolak narkotika secara kultural dan sosial. Harus dihidupkan kembali tradisi di masyarakat yang tidak kompromis dengan bisnis candu. Jangan berharap pada pemberantasan hukum semata. Karena terbuka ruang cincai-cincai pada penegakan hukum. Kita harus mampu melahirkan kesadaran semesta, mengusir dan menolak narkoba di Serambi Mekkah.

Di Asia Tenggara, hanya Brunai Darusalam yang mendeklarasi diri sebagai negara syariat Islam. Di Indonesia, untuk provinsi yang sah menyebut dirinya bersyariat hanya Aceh. Lalu apakah kita membiarkan daerah bersyariat hidup dari gelimangan narkotika?

Artikel SebelumnyaPemerintah Tunda Pengangkatan CPNS & PPPK, Ini Jadwal Terbarunya
Artikel SelanjutnyaDiancam Mesum, Tukang Las Rampas HP Remaja Blang Oi

1 COMMENT

  1. Saya cuma mau kutip penggalan tulisan dari sebuah opini yang ditulis di media sebelah (yang tulisannya terbit kemarin), yang cukup menohok dan cukup terkait sama tulisan ini yaitu :

    > Label “gengsi tinggi” masih melekat kuat, membentuk mentalitas masyarakat yang mengutamakan status dan simbol dibandingkan esensi perjuangan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here