Mengapa Muhammadiyah Ditolak di Aceh?

Muhammadiyah
Pilar tiang Masjid Taqwa Muhammadiyah di Sangso, Samalanga, Bireuen, Aceh. Dikutip via Republika.

Muhammadiyah telah hadir di Aceh jauh sebelum Indonesia menjadi sebuah negara. Konsul pertama Muhammadiyah dibentuk di Aceh pada tahun 1927. Konsul pertama yaitu Teuku Hasan Geulumpang Payong.

Meski telah begitu lama, namun keberadaan organisasi Islam Muhammadiyah di Aceh hingga saat ini masih seperti tamu asing. Perkembangannya harus diakui cukup pesat. Organisasi ini tumbuh dengan cepat di perkotaan. Memiliki berbagai badan usaha, lembaga amal, dan organ yang begitu rapi. Tapi organ tersebut tidak leluasa berdakwah di kampung-kampung yang secara mayoritas merupakan wilayah otoritas Islam tradisional.

Sejak 2015 bara konflik antara Muhammadiyah dan unsur Islam lokal telah menjadi bara di dalam sekam di Bireuen. Rencana pembangunan Masjid Taqwa Sangso diadang oleh sejumlah orang atas nama mayoritas tempatan.

Baca: Tangkap Provokator Pembakar Balai Muhammadiyah di Samalanga

Peristiwa pertama penolakan pembangunan masjid tersebut berupa pembakaran tiang yang sedang dicor. Kemudian berlanjut dengan penempatan batu besar di jalan menuju areal pembangunan masjid. Baru-baru ini, tepatnya pada Selasa (30/5/2023) Subuh, sebuah balai milik Muhammadiyah di sana dibakar oleh seseorang yang belum dikenali.

Meskipun pihak panitia pembangunan telah melengkapi persyaratan administrasi berupa surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Nomor: 63/2017, 13 Juni 2017, yang diterbitkan oleh Dinas Penanaman Modal Perdagangan Koperasi dan UKM Kabupaten Bireuen, tidak berarti pembangunan sudah dapat dilakukan.

Terbitnya izin tersebut juga sangat mengelitik, karena di Aceh khusus pembangunan masjid tidak membutuhkan persyaratan yang ribet. Qanun Aceh No. 4/2016 tanggal 28 Juli 2016 tentang Pedoman Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Tempat Ibadah.

Qanun tersebut menghapus syarat rekomendasi dari beberapa lembaga untuk mengajukan IMB masjid. Lembaga itu seperti keuchik desa, camat, FKUB (Forum Komunikasi Umat Beragama), dan Kantor Kemenag.

Pada 14 April 2018, Pemerintah Kabupaten Bireuen melalui surat yang ditandatangani oleh Bupati (Alm) H. Saifannur menghentikan pengerjaan pembangunan masjid. Ia mengatakan keputusan itu diambil untuk menjaga kerukunan dan ketentraman masyarakat.

Senin (19/9/2022) Pj Bupati Bireuen Dr. Aulia Sofyan menegaskan pembangunan masjid tidak boleh dilanjutkan sebelum adanya dialog dengan para ulama di Kabupaten Bireuen.

Mengapa Muhammadiyah Ditolak di Aceh?

Pelarangan pembangunan Masjid Taqwa di Sangso, Samalanga, Bireuen, merupakan puncak gunung es atas hubungan Muhammadiyah dengan pengikut Islam tradisional yang telah mengakar di Aceh sejak masa sangat lampau.

Di tataran akar rumput, meski sama-sama Aceh, antara pengikut MD dan pengikut Islam yang diajarkan di dayah-dayah tradisional, seringkali terlibat saling kecam. Lalu, di mana akar masalah sehingga penolakan tersebut terjadi?

Dalam penelitian  berjudul Perbandingan Metode Dakwah Antara Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam Penguatan Agama Masyarakat di Kota Banda Aceh, Lisa Arianti menuliskan semangat dakwah yang dibawa Muhammadiyah melalui pembaharuan dan purifikasi agama sangat bertentangan dengan kepercayaan kultural masyarakat Aceh.

Islam Aceh yang besar dengan pendekatan kultural mendapat perlawan dari gerakan dakwah purifikasi Muhammadiyah, yang memandang tindakan-tindakan sinkretisme sebagai bagian dari syubhat dan kemusyrikan.

Lisa menyebut orang Aceh melakukan formalisasi Islam melalui kebudayaan. Pada perjalanannya, asimilasi budaya Aceh dan Islam menimbulkan dilema mana yang harus lebih dominan sehingga tidak jarang dihadapkan pada sinkretisme.

Lebih lanjut Lisa mengatakan sinkretisme ini tidak dapat dihindari, dan merupakan watak orang Aceh, sehingga Islam di Aceh sangat kultural. Akibatnya, pergerakan dakwah Muhammadiyah tertolak karena mengusung semangat purifikasi agama.

Lebih jauh, Arifin Zain dalam tulisannya berjudul“Internalisasi Nilai-Nilai Modernitas Dalam Gerakan Dakwah Organisasi Muhammadiyah” yang diterbitkan di dalam jurnal Al-Idarah: Jurnal Manajemen dan Administrasi Islam, berujar persepsi yang terbangun dalam pikiran masyarakat Aceh sudah kadung buruk terhadap organisasi tersebut.

Mendengar kata Muhammadiyah saja masyarakat sudah alergi. Kondisi penolakan makin parah disebabkan dakwah purifikasi agama Muhammadiyah sering kali menabrak tradisi mapan, dan telah hidup sejak lama dalam amalan keagamaan masyarakat Aceh. Seperti nazar di kuburan, zikir berjamaah, tidak qunut, dan lain-lain.

Secara garis besar konflik sektarian di Aceh berakar pada perbedaan pemahaman dan pengamalan ibadah dalam masyarakat. Marzuki Abubakar dalam “Berebut Masjid: Resistensi dan Penolakan Masyarakat Islam Lokal di Aceh Terhadap Aliran Islam Pendatang” yang diterbitkan oleh jurnal Penamas, menyebut konflik seperti ini di satu sisi merupakan tindakan yang tidak pantas dalam pandangan pluralisme hidup bermasyarakat.

Namun ia juga mengatakan penganut Islam lokal memiliki hak untuk mempertahankan dan melawan semua bentuk ancaman yang merusak tatanan sosio-kultural dan sosio-religi masyarakat setempat.

Artinya, di Aceh pergerakan dakwah Muhammadiyah merupakan ancaman yang sebisa mungkin diminimalisir secepatnya.

Bila digali lebih jauh, menurut Jajat Burhanuddin dalam Budi Juliandi “Perebutan ‘Otoritas’ Dalam Hukum Islam: Pergumulan antar Pranata Ulama Aceh Tamiang” menjelaskan otoritas ulama tradisional senantiasa vis a vis dengan kemunculan generasi ulama yang lebih menyukai pemikiran-pemikiran Islam modern.

Kemunculan NU yang didirikan KH Hasyim Asy’ari juga merupakan upaya perlawanan dari pemikiran-pemikiran baru, serta dalam rangka mempertahankan wibawa keagamaan tradisional atas ancaman kaum pembaharu seperti organisasi yang didirikan oleh Kyai H. Ahmad Dahlan di Kauman, Yogyakarta.

Gejala serupa bukan tidak mungkin juga terjadi di Aceh. Penolakan dakwah Muhammadiyah, apalagi oleh-oleh ulama yang memobilisasi masyarakat juga merupakan bentuk aksi defensif untuk mempertahankan status quo dan otoritas yang telah berlangsung sejak lama.

Muhammadiyah Korban Perluasan Makna Wahabi

Menurut Khairil Miswar dalam jurnalnya yang berjudul Wahhábi dalam Perspektif HUDA dan Implikasinya terhadap Kehidupan Sosial Keagamaan di Aceh, mengungkapkan Muhammadiyah merupakan korban dari perluasan makna Wahabi dalam perspektif ulama dayah di Aceh.

Kesalahpahaman ini menyebabkan pergerakan Muhammadiyah dipandang sebagai sesuatu yang menyesatkan karena memiliki dianggap memiliki kesamaan ideologi dengan Wahabi. Polemik ini menimbulkan keresahan, khususnya di Kabupaten Bireuen yang menjadi basis pergerakan dayah.

Dalam penelitiannya itu, Khairil Miswar menuliskan, beberapa ulama kaliber besar Aceh menolak tudingan penyamaan Muhammadiyah dan Wahabi. Teungku Muhammad Amin Mahmud menyebut organisasi yang didirikan Ahmad Dahlan itu bukanlah Wahabi meski memiliki kemiripan dalam praktek ibadah.

Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua MPU Aceh Tengku Faisal Ali (Lem Faisal) yang menegaskan Muhammadiyah sebagai kelompok moderat, berbeda dengan Wahabi yang berpaham radikal.

Lem Faisal mengatakan keduanya tampak seolah bersatu karena Wahabi ingin menunggangi organisasi tersebut sebagai pintu masuk ke Aceh.

Artikel Sebelumnya2 Terdakwa Korupsi Monumen Samudera Pasai Bebas Sementara Waktu
Artikel Selanjutnya10 Pemain Bergaji Tinggi di Liga Inggris 22-23

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here