Menggunakan bahasa Arab dan berpakaian ala Arab memang baik, namun menjadi norak ketika dianggap sebagai bentuk hijrah, padahal tidaklah sesederhana itu, melainkan menginternalisasi semangat Nabi Muhammad dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
***
Musim haji 1445 H telah berakhir, para jemaah haji yang melaksanakan rukun Islam kelima telah kembali ke tanah air dengan wajah penuh kebahagiaan dan hati yang tenang, semoga seluruh rangkaian ibadah yang dilaksanakan diterima Allah sebagai haji mabrur, lebih dari sekedar membawa pulang oleh-oleh khas Arab, seperti kurma, air zam zam, dan souvenir lainnya yang merupakan kenang-kenangan perjalanan suci tersebut.
Namun dibalik kebahagiaan ini ada juga yang berduka, mereka tidak lagi sempat bertemu keluarganya yang meninggal saat melaksanakan rangkaian ibadah haji dan dimakamkan di sana, di tempat yang diberkati itu. Semoga mereka dicatat sebagai syuhada yang menerima pahala di sisi Allah yang maha kuasa.
Berakhirnya bulan Dzulhijjah menandai datangnya tahun baru Islam 1446 H. Tanggal 1 Muharram sebagai awal kalender Hijriyah selalu menjadi momentum yang dinanti umat Islam seluruh dunia yang dijadikan sebagai titik balik untuk kembali merenung, memperbaiki diri, dan memulai babak baru kehidupan yang penuh semangat dan harapan.
Umat Islam di berbagai belahan dunia, menyambut tahun baru ini dengan berbagai kegiatan keagamaan, mulai dari lomba yang mengasah ilmu keislaman, hingga pawai obor yang meriah sebagai simbol penerang kegelapan, semuanya dirancang untuk mempersatukan umat dan memperkuat rasa kebersamaan.
Meskipun di balik semarak perayaan ini terdapat ironi yang mencolok karena sebagian memaknai hijrah tidak sampai menyentuh aspek substansi dari peristiwa bersejarah itu.
Panggilan seperti “ana-antum, akhi-ukhti, abi-ummi” dan mengenakan pakaian ala Arab pernah menjadi tren generasi muda Indonesia yang mengatasnamakan diri sebagai kaum hijrah.
Padahal, antara religiusitas dan penggunaan bahasa atau pakaian tertentu adalah dua hal yang berbeda. Jika religiusitas adalah tentang iman, maka arabisasi bahasa dan pakaian hanyalah aspek budaya.
Menggunakan bahasa Arab dan berpakaian ala Arab memang baik, namun menjadi norak ketika dianggap sebagai bentuk hijrah. Hijrah tidaklah sesederhana itu, melainkan menginternalisasi semangat hijrah Nabi Muhammad dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Transformasi Moral-Spiritual
Peringatan tahun baru hijriyah seharusnya menjadi momentum untuk refleksi diri dan evaluasi, bukan sekadar seremonial belaka. Apakah kita sudah benar-benar memahami dan mengamalkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan kita? Apakah semangat hijrah telah mendorong kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik, lebih bertakwa, dan lebih peduli terhadap sesama?
Sebagai umat Muslim, kita perlu kritis terhadap diri sendiri dan lingkungan kita. Jangan biarkan perayaan tahun baru Hijriyah hanya menjadi ritual tahunan pergantian angka tanggal bulan dan tahun.
Makna hijrah perlu terus direkonstruksi agar tetap relevan dalam konteks modern. Hijrah seharusnya berarti perubahan positif dalam diri, meningkatkan kualitas iman, moral, dan kontribusi terhadap masyarakat luas. Dengan demikian, makna hijrah tidak terjebak pada simbol-simbol superfisial, tetapi benar-benar dipahami dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Hijrah dapat berarti mengubah gaya hidup ke arah yang positif, memperdalam ilmu dan pengetahuan agama, serta meninggalkan perilaku yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Hijrah dalam konteks ini adalah perjalanan personal menuju peningkatan kualitas iman dan akhlak, yang pada akhirnya membawa dampak positif bagi diri sendiri dan lingkungan sekitar.
Baca juga: Jemaah Haji Asal Banda Aceh Wafat di Mekkah
Adaptasi Era Modern
Jika ditelisik dalam sejarah Islam, hijrah merujuk pada perjalanan fisik Nabi Muhammad dan para sahabatnya dari Mekah ke Madinah, namun dalam konteks modern, makna hijrah telah melampaui sekedar makna perpindahan geografis dan fisik, tapi bisa dimaknai sebagai metafora untuk perubahan dan adaptasi berbagai perkembangan dunia modern, transformasi individu dan masyarakat menuju keadaan yang lebih baik yang syarat dengan nilai-nilai keislaman. Pemaknaan yang lebih luas ini penting untuk menjaga relevansinya dalam dunia yang terus berubah dan berkembang.
Spirit hijrah harus bisa merespon isu modern seperti perlindungan hak asasi manusia dan lingkungan, perdamaian, serta adaptasi perkembangan teknologi. Pemaknaan hijrah yang dangkal dan terbatas pada arabisasi bahasa dan pakaian justru mengaburkan esensi dan mereduksi makna hijrah yang sebenarnya sebagai suatu proses terus-menerus untuk memperbaiki diri dan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam).
Hak asasi manusia merupakan hak-hak dasar yang dimiliki setiap individu semata-mata karena mereka adalah manusia. Hak ini mencakup hak atas kehidupan, kebebasan, keamanan, dan kebebasan dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi.
Perlindungan hak asasi manusia penting untuk memastikan bahwa setiap orang dapat hidup dengan martabat dan kebebasan, serta terlindungi dari pelanggaran dan ketidakadilan. Spirit hijrah dalam konteks perlindungan hak asasi manusia dapat dimaknai sebagai perubahan dari praktik dan sistem yang melanggar hak asasi manusia menuju yang lebih adil, inklusif, dan menghormati hak asasi setiap individu menuju kehidupan yang lebih adil dan setara bagi semua.
Spirit hijrah di era modern ini juga mencakup upaya untuk beralih dari praktik yang merusak lingkungan ke praktik yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Perlindungan lingkungan merupakan salah satu aspek penting yang memerlukan perhatian serius karena dampaknya yang luas terhadap kehidupan manusia dan alam.
Kerusakan lingkungan membawa berbagai dampak negatif seperti perubahan iklim, polusi, penurunan keanekaragaman hayati, dan penipisan sumber daya alam. Ini semua berpengaruh langsung pada kualitas hidup manusia, kesehatan, dan kesejahteraan ekonomi. Oleh karena itu, perlindungan lingkungan adalah suatu keharusan yang tidak bisa ditunda lagi.
Selain itu, hijrah juga merujuk pada adaptasi terhadap perkembangan teknologi. Spirit hijrah dalam adaptasi teknologi mengandung semangat untuk meninggalkan cara-cara lama yang kurang efisien atau tidak efektif, dan beralih ke metode yang lebih baik dengan memanfaatkan teknologi.
Spirit hijrah dalam adaptasi teknologi adalah tentang transformasi menuju penggunaan teknologi yang lebih baik untuk meningkatkan kualitas hidup dan memenuhi tujuan spiritual dan sosial.
Dengan mengadopsi teknologi secara bijak dan bertanggung jawab, individu dan masyarakat dapat meraih kemajuan dan keberlanjutan alam yang lebih baik seperti Nabi Muhammad SAW yang membawa perubahan besar dan positif bagi seluruh kehidupan manusia.