Komparatif.ID, Jakarta—Ketua Umum Partai Demokrasi Perjuangan (PDIP) Hj. Megawati Soekarnoputri, Selasa (10/1/2023) menyampaikan bahwa dirinya tahu bahwa saat ini sedang mewabah korupsi berjamaah. Selain itu dia juga mengisahkan betapa beratnya perjuangan PDI ketika berkompetisi di era Orde Baru.
Hal tersebut disampaikan oleh Hj. Megawati ketika berpidato di hadapan 17 ribu kader yang berada di dalam dan luar ruangan JIExpo Kemayoran Jakarta.
Pada kesempatan itu, Megawati mengatakan sengaja tidak mengundang partai lain, karena ia ingin kangen-kangenan dengan kader yang selama tiga tahun tidak pernah bertatap muka. Sebagai ibu, Megawati ingin bertemu langsung dan bicara apa adanya dengan anak-anaknya.
Baca juga: PDIP Tidak Silau Elektabilitas Ganjar Pranowo
Putri Bung Karno tersebut tampil dengan gaya santai meskipun aura ketegasannya sebagai ketua Umum tidak luntur sedikitpun.
Di hadapan Presiden Indonesia Ir. Joko Widodo dan Wakil Presiden Kyai Ma’ruf Amin, Megawati menyebutkan saat ini sedang mewabah korupsi berjamaah. Banyak orang yang masuk partai politik hanya demi mencari jabatan dan kekayaan.
Sebagai partai yang berbasis rakyat dan pro wong cilik,PDIP merupakan organisasi yang dekat dengan rakyat, peduli kepada rakyat, dan memahami penderitaan rakyat.
Ia menyentil tentang kemiskinan yang masih banyak di ibukota Indonesia: Jakarta. Masih banyak yang hidup di kolong jembatan. Semestinya yang demikian perlu diperhatikan dan diberikan tempat yang lebih pantas.
Perihal wabah korupsi berjamaah, Megawati menyebutkan dia tahu, dan dia berpesan kepada kader jangan mengira bahwa dirinya tidak tahu. Banyak yang masuk partai politik [PDIP] hanya demi mendapatkan kekuasaan dan kekayaan, kemudian magrok-magrok, tidak peduli terhadap penderitaan rakyat.
Megawati: Saya Dijuluki Ratu Preman
Pada kesempatan itu, Megawati seringkali berguyon dengan belasan ribu kadernya. Ia menyebutkan ketika berniat terjun ke dunia politik, dia ditawari masuk partai lain. Tapi ia memilih Partai Demokrasi (PDI) yang berasal dari fusi Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo) Partai Katolik, Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) dan Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba).
Sebagai anak ideologi PNI sekaligus anak kandung Bung Karno, Megawati tentu tidak mungkin berpaling dari PDI. Karena di sanalah ideologi dan semangat perjuangan ayahnya paling mungkin dilanjutkan.
Ketika masih di bawah rezim Orde Baru, untuk turun bertemu dengan rakyat susahnya minta ampun. Harus minta izin kepada polisi, dan lain sebagainya. Nah ketika itu dia mendengar pembicaran radio antara polisi yang mengawal dirinya dengan polisi lain yang bertugas di lapangan. Ternyata dalam bahasa sandi polisi, kader PDI disebut semut-semut merah, dan Mega sendiri disebut Ratu Preman. Mega tertawa dan bangga diberikan julukan sebagai Ratu Preman; bermakna kader partainya terkenal loyal, pantang menyerah dan berasal dari kalangan akar rumput.
“Dulu ibu-mu ini dikasih nama Ratu Preman. Dulu kader PDI disebut semut-semut merah. Itu bahasa sandi. Yang terutama ratu premannya ada di mana? Itu ketika polisi bicara di radio. Saya tanya siapa Ratu Preman, pengawal saya bilang bahwa sayalah Ratu Preman. Saya bangga, karena anak buah saya banyak yang “preman”. itu peristiwa lucu,” sebut Mega sembari tersenyum.
Ia mengingatkan kader, dulu menjadi bagian PDI tidak enak. Banyak halangan, banyak rintangan. Sangat berbeda dengan saat ini, ketika PDIP menjadi partai besar.
Pada kesempatan itu, Megawati juga menyampaikan salah satu alasan mengapa Bung Karno bergerak berjuang membebaskan rakyat Nusantara dari penjajahan, supaya tidak ada pengisapan antar manusia.
Jalan yang ditempuh oleh Sukarno dan teman-temannya penuh risiko. Berkali-kali ditangkap dan berkali-kali dibuang dijauhkan dari sanak keluarga. Tapi Bung Karno tetap teguh, berdiri tegak membela rakyat hingga akhirnya Indonesia merdeka sebagai sebuah negara dan bangsa.
Oleh karena itu, Mega berpesan kepada kader supaya tidak berkhianat terhadap partai. Teguh memegang komitmen menjalankan instruksi partai, dan jangan enggan bertemu dengan rakyat kecil.
Jangan jadikan PDIP tempat mencari kekuasaan dan kekayaan, yang menjadikan kader lalai mengurus kepentingan rakyat. Bila itu terjadi maka ia tidak akan segan-segan menerbitkan surat pemecatan. Atau dalam pendekatan lebih lembut, bila ada kader yang tidak menjalankan instruksi partai dan tidak sejalan dengan cita-cita partai dipersilakan mengundurkan diri.