Pasar Lueng Daneun, ibukota Kecamatan Peusangan Siblah Krueng, tidak lagi ramai. Malam telah dini hari. Simpang tiga yang satu jam sebelumnya penuh sesak manusia dan kendaraan roda dua, kini sudah agak lengang.
Saya melirik jam di telepon genggam. Lima menit lagi menuju pukul 01.00 WIB. Senin telah berganti Selasa. Tanggal telah berganti menjadi angka 5 November 2024.
Saya yang terkantuk-kantuk membuka pintu Toyota Kijang LGX berkelir hitam metalik. Minibus tersebut telah menemani saya menempuh perjalanan meliput peristiwa sejak beberapa tahun lalu. Kebersamaan kami mungkin telah lebih dari satu periode kekuasaan di Republik ini.
Saya langsung duduk di jok depan sebelah kiri. Embun menutupi secara sempurna kaca depan. Saya membuka tutup botol air mineral, mengangkat botolnya dan meneguknya dua kali.
Kerongkongan langsung terasa lega. Saya teguk sekali lagi. Pelan-pelan rasa pegal di tengkuk hilang.
Saya menatap layar smartphone. Hiruk pikuk dunia maya sudah mereda. Para pemilik akun media sosial sudah banyak yang beranjak ke peraduan.
Beberapa orang yang bermukim di belahan bumi lainnya, ada yang masih mengirim link media online, dan menimpalinya dengan beberapa komentar. Tapi grup WA yang mayoritas dihuni oleh orang lokal di Aceh, telah sunyi. Tak ada respon.
Saya merapatkan punggung ke sandaran jok. Dari dalam kabin mobil saya melihat ke luar. Suasana Pasar Lueng Daneun terlihat eksotis. Lampu-lampu ruko memberikan terang, di tengah gelayut malam yang memenuhi bumi Indonesia bagian barat.
Baca juga: Nadhira Raup Cuan di CFD Sambil Garap Skripsi
Kala hendak memejamkan mata sejenak, tiba-tiba indera dengar menangkap suara petikan gitar. Duh! Sepertinya saya akrab dengan melodi itu.
Mungkin suatu masa kan bersama lagi, engkau dan aku pasti jua nikmati, satu cinta yang indah……..
Ingatan langsung bergerilya. Mencari data di memori, bintang kejora! Otak berhasil menemukannya. Itu lirik lagu band favorit saya kala masih menimba ilmu di STM Bireuen.
Pantas saja petikan gitar itu sangat dekat dengan saya. Ya, itu lagu Satu Nama Tetap di Hati, miliknya grup EYE, Malaysia, yang diluncurkan 1997.
EYE saya ketahui dari Masrizal, classmate di kelas III SD Inpres Teupin Mane, kala kami bersantai di pos jaga di depan Meunasah Seuneubok Dalam, kala Aceh masih dibekap konflik bersenjata era 2000-an.
Saya mencari arah suara. Sepertinya tidak begitu jauh dari tempat mobil parkir. Tapi rasa penasaran siapa yang menyanyikan di tengah malam saya hentikan. Tak lucu bila saya mencari siapa yang berdendang di tengah malam di kampung yang umumnya tidak mengenal saya.
Pun demikian, siapapun itu, suasana hatinya pasti sedang syahdu. Mungkin ia sedang merindu. Atau ia sedang masygul karena baru putus cinta. Siapapun dia, saya menduga ia pria yang romantis, dan dianugerahi suara empuk dan kemampuan memetik gitar. Dua hal yang tidak saya miliki.
Petikan gitar dan nyanyian tersebut membuat saya keluar dari mobil. Berdiri di luar, menikmati kesyahduan itu.
Malam kian larut. Tapi beberapa kedai tak kunjung tutup.
Dua jam sebelumnya seorang teman yang menyeruput kopi bersama saya menerangkan ada dua kedai kopi yang buka 24 jam.
Saya tertarik mendengar informasi tersebut. Di pusat kecamatan pedalaman, ada kedai yang buka 24 jam. Sungguh sangat menarik.
“Ada saja orang yang datang sekadar untuk menyeruput kopi dan makan nasi goreng,” kata Fauzi, teman yang sudah lama tak bertemu.
Ia menceritakan, di kawasan Lueng Daneun masih ada petani yang menjaga kebun. Tengah malam mereka turun ke kedai membeli makanan.
“Ekonomi di sini lebih baik, Bang. Warga aktif bertani,” terangnya sembari mengaduk kopi sachet yang diproduksi perusahaan di seberang laut.
Dari bincang-bincang dengan beberapa orang di Kedai Lueng Daneun, mereka mengutarakan kerinduan lahirnya perubahan. Mereka tidak menuntut banyak. Hanya ingin adanya pemimpin yang peduli terhadap petani dan kepastian kerja bagi angkatan muda.
Lueng Daneun telah bersolek. Jauh lebih baik ketimbang dulu. Apalagi sejak Saifannur menjadi Bupati Bireuen. Jalan di sana telah banyak yang diaspal. Bahkan, ada jalan buntu yang ikut di aspal, supaya petani bisa membawa pulang hasil kebunnya dengan riang gembira.
Sebelum pulang, saya memotret suasana Kedai Lueng Daneun yang telah sepi. Saya perhatikan gambar hasil potret. Hhmmm, diorama vintage masih terasa.
Sepanjang perjalanan pulang, saya kembali teringat petikan gitar dan nyanyian itu. Semoga suasana hati pria itu dalam kondisi merindu, bukan tumpahan lara karena putus cinta.