Lihatlah, Jalan Kami di Peusangan Selatan Rusak Parah

jalan peusangan selatan
Jalan utama yang menghubungkan seluruh desa di Peusangan Selatan, seperti jalan-jalan negeri tak berpemimpin. Foto: Mutia Hasdi for Komparatif.ID.

Peusangan Selatan jarang terlihat. Karena lokasinya di pedalaman Bireuen. Data tahun 2023, jumlah penduduk di Peusangan Selatan berjumlah 15. 579 jiwa. Di antara beberapa ketertinggalan, jalan merupakan salah satunya.

Jalan yang beraspal di Peusangan Selatan tidaklah begitu panjang. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bireuen, panjang jalan beraspal di Peusangan Selatan hanya 12,35 kilometer. Sisanya tidak beraspal.

Jalan akses utama Kecamatan Peusangan Selatan ini adalah satu-satunya nadi penghubung antara kampung dan kota, antara ladang dan pasar, antara rumah dan sekolah. Ia juga menjembatani harapan dengan kenyataan. Jalan ini nadi kehidupan  kami, pengantar mimpi dan penyambung hidup.

Dulu, jalan tersebut pernah kokoh. Tak mulus, tapi cukup untuk dilalui dengan senyum. Becak sayur melaju pelan tiap pagi buta, membawa hasil panen ke kota. Wajah-wajah petani berseri meski peluh membasahi dahi. Anak-anak melintas dengan motor kecil, menembus kabut pagi dengan semangat sekolah yang tak pernah luntur. Dan ambulans pernah bisa datang tepat waktu, membawa harapan dalam darurat. Jalan itu, tak sempurna, tapi setia.

Baca: Melanjutkan Pembangunan Peusangan Raya

Namun, waktu mengubah segalanya. Kini, jalan itu tak lagi setia, lebih dari separuh jalan itu telah rusak. Retakannya menjalar seperti urat luka yang tak kunjung sembuh. Lubang-lubang menganga di atasnya. Jika kemarau datang, debu mengepul dan mengaburkan pandangan dan menyumbat nafas.

Jika hujan tiba, air menggenang, menyembunyikan lubang, dan membuat jalan berubah seperti kolam panjang yang tak menentu kedalamannya. Kadang roda kendaraan tercebur ke dalamnya, bahkan diambang kejatuhan. Lalu, cipratan air keruh menyembur, mengenai pengendara lainnya yang berusaha melewati jalan yang penuh rintangan. Jalan ini tak lagi hanya rusak secara fisik, tapi juga mengoyak pelan-pelan keteguhan batin kami.

Kami yang tinggal di ujung peta itu, terus melatih sabar agar tidak mencederai harapan. Siang hari, kami menghafal letak lubang demi lubang, berusaha mencari sisa aspal mana yang masih bisa dilalui roda. Malam hari, kami berjibaku dalam gelap, karena tak ada penerangan kecuali cahaya redup dari rumah warga di tepi jalan.

Tak jarang pula merasa seperti penonton di pinggiran pesta pembangunan. Ketika kota menikmati jalan mulus yang megah, kami justru mendapat tambalan aspal seadanya. Seolah perbaikan hanya datang sebagai ritual tahunan yang tak tuntas. Diperbaiki di sini, rusak di sana. Diperbaiki di sana, rusak di sini. Seperti tambal sulam yang tak pernah jadi kain utuh.

Hal yang membuat hati semakin kesal adalah ulah oknum yang tidak bertanggung jawab. Ia dengan seenaknya menggali bukit, tanpa memikirkan dampaknya. Akibatnya, air tanah kuning dari lereng itu mengalir deras setiap kali hujan turun, membawa lumpur yang kemudian mengumpal dan membuat jalanan menjadi becek serta licin.

Pernah suatu malam, saat hujan deras mengguyur, saya terpeleset dan jatuh tepat di atas tumpukan lumpur itu. Tubuhku kotor, bajuku basah bercampur tanah, dan beberapa bagian tubuh memar. Untung ada orang yang melihat dan segera menolong. Tapi sejak malam itu, rasa takut dan trauma kerap muncul tiap kali melintasi tempat itu saat hujan turun.

Sabar ada batasnya. Kejenuhan dalam menunggu perbaikan yang tak kunjung tiba, akhirnya membuat sebagian warga menggantungkan harap pada siapa saja yang datang membawa janji, terutama saat musim pesta rakyat menjelang.

Suatu hari, beberapa truk besar datang membawa pasir dan kerikil. Katanya untuk menutup lubang-lubang di jalan. Tapi alih-alih membaik, jalan justru semakin rusak. Batu-batu kecil itu dilindas oleh roda-roda besar yang lalu-lalang, menyebabkan aspal yang tersisa semakin terkikis dan berlubang sedikit demi sedikit. Bantuan itu datang seperti tamu saat kampanye: ramai sekejap, tapi cepat menghilang.

Kerusakan jalan ini bukan sekadar kerikil yang mengganggu ban kendaraan. Ia telah menjadi batu besar yang menghambat roda kehidupan kami. Hasil kebun yang seharusnya bisa dijual dengan harga tinggi di kota, jadi membusuk karena kendaraan rusak di jalan. Jika kendaraan rusak tapi bisa langsung diperbaiki, mungkin kami tak akan terlalu mengeluh. Tapi kenyataannya, bengkel pun jauh, suku cadang mahal, dan waktu terbuang makin panjang. Waktu tempuh makin lama, ongkos makin besar. Belum lagi hasil panen yang berjatuhan, berhamburan di atas tanah akibat terantuk-antuk dalam perjalanan. Para petani pun enggan lagi membawa hasil ke kota. Rantai ekonomi kecil itu perlahan terputus.

Dalam pendidikan, anak-anak Peusangan Selatan yang seharusnya bisa berangkat dengan semangat, kini sering kali terlambat. Bus sekolah enggan menjemput dan mengantar generasi pelanjut dari Peusangan Selatan. Takut oleng, takut tersangkut di lubang, atau mungkin takut rusak di jalan tanpa ditebak. Motor orang tua pun tak selalu bisa melintasi jalan yang licin dan berlubang. Ada yang jatuh. Ada yang sakit. Ada yang akhirnya menyerah tak bersekolah karena jalan menjadi tembok tak kasat mata.

Dalam urusan kesehatan, kami di Peusangan Selatan bahkan lebih waswas. Ketika ada yang melahirkan di malam hari atau terserang demam tinggi, perjalanan ke puskesmas jadi ujian hidup. Mobil tak bisa cepat, motor terlalu berisiko. Dalam banyak cerita yang kami simpan diam-diam, kadang rasa takut lebih besar dari rasa sakit itu sendiri.

Kerusakan ini memutus rantai ekonomi. Membuat cita-cita sekolah jadi rapuh. Bahkan kesehatan pun terasa jauh. Tapi kami tak pernah menyerah. Di antara lubang dan debu, kami tetap berjalan, tetap berharap.

Kami tidak hendak menyalahkan. Kami hanya ingin didengar. Peusangan Selatan ingin diperhatikan dan dibangunkan jalan yang representatif. Karena kami di sini warga, bukan mamalia.

Kami tahu membangun jalan bukan perkara sehari. Tapi kami juga tahu, menunda perbaikan berarti menunda masa depan kami. Jalan ini bukan sekadar soal anggaran, bukan pula hanya proyek yang dicatat dalam berita. Di atas jalan ini ada mimpi yang menunggu untuk tiba. Ada cita-cita anak-anak, ada hasil panen petani, ada keselamatan ibu hamil, dan ada ketenangan warga lanjut usia.

Kami tak butuh jalan sangat lebar. Karena takkan mungkin Pemerintah Bireuen mampu membangunnya. Rakyat Peusangan Selatan hanya ingin jalan yang layak untuk dilalui ke kota atau sebaliknya. Jalan yang bisa dilalui anak-anak tanpa harus terjatuh  di pagi hari. Jalan yang tak membuat kami ragu membawa orang sakit ke puskesmas saat malam tiba.

Pengunjung atau tamu yang baru pertama kali berkunjung ke kampung kami pasti akan merasa sangat lelah. Mereka mengeluh sepanjang perjalanan, merasakan betapa sulitnya melewati jalan yang penuh lubang dan guncangan. Pernah juga ada pejabat yang datang, tetapi apakah mereka merasakan hal yang sama? Mungkin saja iya. Tapi mereka menafikannya. Toh, mereka hanya sekali datang,

Kami percaya, suatu hari nanti, akan ada yang benar-benar datang. Bukan dengan janji, tapi dengan langkah pasti. Karena jalan ini adalah bukti, bahwa harapan bisa tumbuh bahkan dari tanah yang retak.

Kami di Peusangan Selatan memang terpencil. Tapi hati kami tak pernah mengecil. Kami masih merajut asa, meski di atas jalan yang retak. Lubang di aspal ini bukan hanya soal infrastruktur, tapi tentang rasa keadilan. Luka yang kami simpan diam-diam, luka karena merasa dianaktirikan, luka karena tak dianggap cukup penting.

Namun kami percaya, suatu hari, akan datang seorang pemimpin yang melihat jalan bukan hanya sebagai susunan  batu dan aspal, tetapi sebagai jalur yang menghubungkan rakyat dengan kemanusiaan.

Penulis: Mutia Hasdi. Warga yang lahir, bertumbuh, dan dewasa di Peusangan Selatan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here