Etnoparenting Gayo Internalisasi Islami: Refleksi Kritis Disertasi Mahdi

Etnoparenting Gayo Internalisasi Islami: Refleksi Kritis Disertasi Mahdi
Foto: Dok. Penulis.

Etnoparenting Gayo bisa menjadi model dalam pendidikan karakter berbasis nilai-nilai Islam dan kearifan lokal. Namun tantangannya besar. Mahdi mencatat bahwa gempuran media sosial dan konten luar telah memengaruhi cara berpikir dan bertindak generasi muda.

***

Dalam lanskap pendidikan Islam kontemporer, integrasi antara nilai-nilai keislaman dan kearifan lokal menjadi diskursus yang semakin relevan. Di tengah arus globalisasi dan viralnya budaya digital, nilai-nilai lokal menghadapi tantangan serius, terutama dalam praktik pengasuhan anak.

Mahdi, seorang Guru MAN 1 Bener Meriah memberikan kontribusi penting dalam wacana tersebut melalui disertasinya yang berjudul “Pola Asuh Orang Tua Perspektif Budaya Gayo: Sebuah Kajian Etnoparenting pada Pengasuhan Anak di Bener Meriah”, yang mengantarkan ia lulus dalam meraih gelar doktor ke-328 di Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh pada selasa, 15 April 2025. 

Penelitian tersebut yang dipromotori oleh Alm. Prof. Dr. Luthfi Auni, MA, dan co-promotor Prof. Dr. Salami, MA, tidak hanya bersifat deskriptif-kualitatif, tetapi juga bersifat reflektif-kritis, yang menggali kembali fondasi-fondasi pengasuhan berbasis nilai agama dan budaya lokal Masyarakat Budaya Gayo.

Tulisan ini mengaitkan pokok-pokok penting dari disertasi Mahdi dengan teori-teori psikologi Pendidikan seperti teori pola asuh Diana Baumrind, teori perkembangan kognitif Jean Piaget, dan teori sosiokultural dari Lev Vygotsky.

Dengan pendekatan interdisipliner ini, kita dapat memperoleh pemahaman mendalam tentang bagaimana praktik etnoparenting masyarakat Gayo tidak hanya relevan secara budaya lokal, tetapi juga memiliki koherensi dengan teori psikologi pendidikan modern.

Pola Asuh Gayo sebagai Etnoparenting Islami

Penelitian Mahdi menyatakan bahwa praktik pengasuhan dalam masyarakat Gayo tidak dapat dipisahkan dari dua fondasi utama: nilai-nilai keislaman dan budaya lokal. Pengasuhan dilakukan dalam kerangka kolektif.

Di mana orang tua, keluarga besar, tokoh adat, dan tokoh agama memiliki peran penting dalam pembentukan karakter anak.  Nilai-nilai tauhid, ibadah, akhlak, dan muamalah menjadi inti dari pengasuhan tersebut, namun disampaikan dalam bingkai budaya Gayo yang sakral.

Mahdi menyebut praktik ini sebagai the sacred Islamic etnoparenting, yakni model pengasuhan yang tidak hanya bersifat spiritual, tetapi juga memiliki muatan budaya yang kuat. Dalam konteks ini, pengasuhan menjadi aktivitas transendental sekaligus sosial, sebuah sistem yang membentuk identitas keislaman dan ke-Gayo-an anak sejak usia dini.

Lebih jauh, dari hasil penelitian Mahdi adalah: pertama, pola asuh orang tua Gayo bersifat demokratis, dengan keseimbangan antara tuntutan (kontrol) dan kasih sayang (kehangatan).

Kedua, nilai agama Islam menyatu dengan budaya lokal, menjadikan praktik pengasuhan anak yang khas dan sakral.

Ketiga, terdapat berbagai praktik etnoparenting, seperti pembiasaan ibadah, penghormatan kepada orang tua, pemahaman adat, dan penguatan tanggung jawab sosial sejak kecil.

Keempat, tantangan utama adalah pergeseran nilai budaya akibat media digital, teknologi informasi, dan pernikahan lintas budaya yang mengaburkan identitas tradisional.

Baca jugaPost-Holiday Blues di Dunia Pendidikan

Kelima, pola asuh Gayo membentuk praktik yang dikenal sebagai the sacred Islamic ethnoparenting mengintegrasikan nilai-nilai Islam dan kearifan lokal.

Selanjutnya dalam konteks budaya Gayo, Mahdi mengidentifikasi beberapa nilai inti yang menjadi dasar dalam membentuk karakter anak: 1) Mukemel: kesopanan dan tata krama dalam interaksi sosial. 2) Tertib: keteraturan dalam menjalani kehidupan sehari-hari, termasuk rutinitas ibadah dan tanggung jawab rumah. 3) Setie: loyalitas terhadap keluarga, masyarakat, dan agama. 

4). Semayang gemasih: kasih sayang dan empati terhadap sesama. 5) Amanah: kejujuran dan kepercayaan dalam mengemban tugas. 6) Mutentu: keteguhan dalam memegang prinsip dan nilai. 7) Genap mupakat: pengambilan keputusan bersama sebagai bentuk musyawarah. 8. Alang tulung: gotong royong dan saling membantu. 9. Bersikekemelen: kerja keras dan ketekunan dalam mencapai cita-cita.

Nilai-nilai ini diajarkan tidak hanya melalui kata-kata, tetapi juga praktik nyata dalam keluarga dan masyarakat. Anak diajak belajar secara aktif melalui partisipasi dalam kehidupan komunal, menjadikan mereka bagian dari pewarisan budaya dan agama secara simultan.

Analisis Teoretis: Teori Diana Baumrind

Baumrind (1966) mengklasifikasikan pola asuh ke dalam empat gaya utama: otoriter, permisif, demokratis (authoritative), dan neglectful. Mahdi menyimpulkan gaya pengasuhan orang tua Gayo termasuk dalam kategori authoritative parenting —yakni gaya pengasuhan yang menyeimbangkan antara demandingness (tuntutan/kontrol) dan responsiveness (kehangatan/respons).

Dalam budaya Gayo, demandingness tercermin dari nilai-nilai adat dan keislaman yang ditegakkan secara konsisten, seperti kewajiban shalat, hormat kepada orang tua, dan ikut serta dalam kegiatan adat.

Responsiveness muncul melalui kasih sayang, kedekatan emosional, komunikasi terbuka, dan penguatan nilai-nilai kebaikan melalui teladan. Dengan demikian, pola asuh masyarakat Gayo bersifat ideal dalam konteks psikologi perkembangan, karena mendorong anak untuk tumbuh menjadi individu yang mandiri, bertanggung jawab, namun tetap terikat dengan nilai moral dan sosial.

Teori Kognitif Jean Piaget: Pengasuhan dan Tahapan Perkembangan Anak

Piaget menekankan pentingnya lingkungan dan pengalaman dalam perkembangan kognitif anak. Dalam perspektif Piagetian, proses pendidikan dan pengasuhan seharusnya menyesuaikan dengan tahap perkembangan anak: sensorimotor, praoperasional, operasional konkret, dan operasional formal.

Dalam praktik etnoparenting Gayo, anak usia dini (praoperasional) diajarkan nilai-nilai melalui simbol dan ritual adat (misalnya, doa bersama, tradisi penyambutan kelahiran, dan interaksi dalam bahasa Gayo).

Anak usia sekolah (operasional konkret) mulai diajak terlibat dalam pengambilan keputusan keluarga, belajar dari pengalaman konkret melalui musyawarah, kerja sama, dan tanggung jawab sosial.

Di usia remaja (operasional formal), anak mulai diperkenalkan nilai-nilai abstrak seperti keimanan, etika sosial, dan tanggung jawab sebagai anggota komunitas Gayo dan umat Islam.

Dengan kata lain, praktik pengasuhan ini sudah sejalan dengan tahapan perkembangan kognitif ala Piaget, pendidikan nilai diberikan secara bertahap dan kontekstual sesuai perkembangan usia anak.

Teori Sosiokultural Lev Vygotsky: Interaksi Sosial dan ZPD

Vygotsky berargumen bahwa interaksi sosial adalah jantung dari pembelajaran. Konsep Zone of Proximal Development (ZPD) menyebut bahwa anak belajar paling efektif saat dibimbing oleh orang yang lebih berpengalaman (orang tua, guru, tetua adat).

Dalam budaya Gayo, pengasuhan dilakukan secara komunal, di mana bukan hanya orang tua yang membimbing, tapi juga kakek-nenek, tetua adat, tokoh agama, dan masyarakat. 

Praktik seperti, mengajak anak ke meunasah/surau, melibatkan mereka dalam upacara adat, Mengikutsertakan dalam gotong royong dan diskusi keluarga,

Semuanya tersebut adalah bentuk konkret dari ZPD —di mana anak belajar melalui bimbingan sosial dalam konteks yang bermakna secara budaya.

Diskusi dan Relevansi Kontemporer

Disertasi hasil penelitian Mahdi menjadi relevan bukan hanya untuk komunitas Gayo, tetapi juga untuk pengembangan kebijakan pendidikan dan keluarga di Indonesia secara luas. Dalam konteks kurikulum Merdeka Belajar, pendekatan berbasis budaya lokal sangat ditekankan.

Etnoparenting Gayo bisa menjadi model dalam pendidikan karakter berbasis nilai-nilai Islam dan kearifan lokal. Namun tantangannya besar. Mahdi mencatat bahwa gempuran media sosial dan konten luar telah memengaruhi cara berpikir dan bertindak generasi muda.

Selanjutnya, Keluarga Gayo mulai mengalami fragmentasi nilai, terutama akibat pernikahan lintas budaya dan urbanisasi. Dalam hal ini, ada kecenderungan orang tua muda lebih permisif karena pengaruh budaya populer dan kurangnya waktu interaksi dengan anak.

Untuk itu, dibutuhkan pendekatan revitalisasi budaya dan pendidikan keluarga Islam berbasis komunitas, agar warisan etnoparenting yang telah teruji ini tidak hilang.

Adapun relevansi akademik dan praktis dari hasil penelitian Mahdi penting untuk sebagai dasar pengembangan kurikulum pendidikan karakter berbasis nilai lokal dan Islam. 

Referensi dalam kebijakan penguatan pendidikan keluarga, dan Landasan pengembangan kajian interdisipliner tentang pendidikan, budaya, dan psikologi Islam.

Tidak bisa dipungkiri bahwa Mahdi telah membawa praktik pengasuhan lokal Gayo ke tingkat akademik tertinggi melalui hasil penelitian disertasinya. Dengan menggali, merumuskan, dan memformalkan pola asuh Gayo dalam kerangka Islam dan teori pendidikan modern, ia membuka jalan baru dalam diskursus pendidikan Islam berbasis lokalitas.

Di tengah krisis nilai dan derasnya arus globalisasi, etnoparenting bukan saja sebuah nostalgia masa lalu. Namun sebagai salah satu strategi masa depan untuk membangun generasi yang cerdas, beriman, dan berakar pada nilai-nilai budaya dan spiritualitas bangsa. 

Maka model ini layak terus dikembangkan dan direplikasi dalam komunitas-komunitas lokal lainnya di Nusantara. Wallahu a’lam bis ash-shawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here