Kebijakan Publik di Aceh Masih Kurang Islami

Kebijakan publik
Dekana FEBI UIN Ar Raniry, Banda Aceh, Hafas Furqani. Foto: Tangkapan layar oleh Komparatif.ID.

Komparatif.ID, Banda Aceh—Penyusunan kebijakan publik di Aceh masih kurang Islami. Meskipun memiliki kewenangan khusus yang diberikan oleh Pemerintah Pusat, tapi belum dipergunakan dengan sebaik mungkin untuk membangun Serambi Mekkah.

Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh, Kamis (8/6/2023) dalam kata sambutannya pada acara Seminar Nasional Islam dan Pembangunan Ekonomi (SN IPE) ke-5 dengan tema “Ekonomi Islam Dalam Pembangunan dan Kebijakan Publik” yang digelar di Auditorium Prof. Ali Hasjmy, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, menyebutkan bahwa hasil riset, penyusunan kebijakan publik di Aceh belum memberikan ruang besar untuk kearifan lokal.

Pada kesempatan itu Hafas Furqani mengutip hasil riset seorang mahasiswi Australian National University (ANU) tentang perbandingan dua daerah istimewa di Indonesia yaitu D.I Yogyakarta dan Aceh.

Baca:Malaysia MADANI, Ekonomi Manusiawi Ala Anwar Ibrahim

Dalam disertasi tersebut disebutkan dalam penyusunan kebijakan publik, Pemerintah Daerah Istimewa Jogyakarta menyerap sangat banyak unsur-unsur kearifan lokal berbasis Jawa dalam berbagai penyusunan kebijakan publik.

Sedangkan di Aceh, meskipun telah memiliki kekhususan, akan tetapi dalam penyusunan perencanaan pembangunan masih sangat kurang memasukkan unsur islami dalam penyusunan kebijakan publik.

Dalam konteks ekonomi, sejak dilahirkannya Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah, Aceh telah memiliki modal dalam penyusunan perekonomian islami. Qanun tersebut mengatur seluruh transaksi keuangan masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha di Aceh harus sesuai dengan prinsip syariat.

Bagian Kedua UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Pasal 155 disebutkan:Perekonomian di Aceh diarahkan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing demi terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dengan menjunjung tinggi nilai-nilai Islam, keadilan, pemerataan, partisipasi rakyat, dan efisiensi dalam pola pembangunan berkelanjutan.

“Di Aceh kita memiliki kewenangan besar termasuk mengatur ekonomi kita. Aceh dikenal sebagai daerah yang menjalankan syariat Islam, tuntutannya kita harus mengatur dengan semangat Islami,” sebut Hafas Furqani.

Lembaga-lembaga keuangan konvensional tidak boleh beroperasi lagi setelah penerapan Qanun Lembaga Keuangan Syariat. Karena berdasarkan perintah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 bahwa ekonomi Aceh harus dijalankan berdasarkan prinsip syariat.

“Jadi jelas bahwa di dalam UUPA (Undang-Undang Pemerintahan Aceh) menginginkan bahwa perekonomian Aceh disusun dengan nilai-nilai Islami. Inilah salah satu tugas kami di kampus untuk menyusun berbagai konsep yang kelak disumbangkan untuk menyusun perencanaan pembanguan ekonomi Aceh,” sebutnya.

Hafas Furqani berharap ke depan penyusunan berbagai kebijakan pembangunan di Aceh memberikan prioritas pada penyerapan nilai-nilai islami. Baik dalam sisi pembangunan ekonomi petani, nelayan, tata Kelola kota, dan lainnya, sangat perlu memberikan ruang besar untuk prinsip-prinsip/nilai islami, sebagaimana Yogyakarta memberikan ruang kepada nilai kejawaannya.

“Ini tugas kita bersama. Penelitian yang dibuat oleh mahasiswi ANU tersebut menantang kita, supaya Aceh menjadi contoh tentang prinsip islami bisa masuk ke dalam agenda pembangunan,” sebut Hafas Furqani.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here