Rahmad Aulia (11) setiap 10 hari sekali harus menempuh perjalanan 115 kilometer, demi membawa ayahnya ke rumah sakit. Setiap kali berangkat, ia dan sang ayah membutuhkan waktu enam jam perjalanan dari Ulim, Pidie Jaya menuju Buket Rata, Lhokseumawe.
Kisah perjuangan Rahmad Aulia, bocah asal gampong Geulanggang, Kecamatan Ulim, terkuak pada kamis siang (26/1/2023) pukul 14.00 WIB, ketika Ridha yang akrab dipanggil Yanto (28) warga Blang Mee, Kutablang, Bireuen, bersimpati melihat seorang bocah berkulit gelap mengendarai becak bermotor ringkih, melintas di kawasan Cot Buket, Peusangan, Bireuen.
Ridha mengikutinya di belakang. Suasana hatinya tidak tenang, jantungnya berdegup kencang kala mengetahui bocah pengendara becak tua itu mengangkut seorang pria dewasa yang terbaring tak berdaya.
Baca juga: Uswatun Hasanah, Lumpuh dan Tertangkup Miskin di Simpang Mamplam
Tepat di depan Kantor Urusan Agama (KUA) Peusangan, Ridha memberhentikan becak tersebut. Dari sanalah sebuah cerita kemanusiaan terkuak.
Setelah mengetahui sedikit cerita tersebut, Ridha menghubungi Azmi Murtala, seorang relawan sosial dan politik di Bireuen. Azmi kemudian menghubungi Rahmad Geurugok, sopir ambulans sosial yang dikelola di bawah manajemen PT Takabeya Perkasa Group.
Rahmad bercerita, siang itu dia sedang mengantar pasien RS Bireuen Medical Centre ke Matang Sagoe, Peusangan. Dalam perjalanan dia mendapatkan telepon dari Azmi Murtala tentang Rahmad Aulia. Setelah mengantar pasien, Rahmad Geurugok pun mendatangi tempat Ridha dan Rahmad Aulia beristirahat sembari berbincang.
Rahmad Aulia Melanjutkan Pengabdian Sang Ibu
Rusli Yusuf (46) merupakan pria kelahiran Punteut, Aceh Utara. Dia menikahi belahan jiwanya yang bernama Maryati, warga Gampong Geulanggang, Kecamatan Ulim, Pidie Jaya.
Dalam perjalanan waktu, pendapatan Rusli Yusuf di kampung halaman istri tidak begitu menjanjikan. Ia memutuskan merantau ke Banda Aceh. Tiba di ibukota Provinsi Aceh, ia berjualan ikan di Peunayong. Sedikit demi sedikit uang yang dihasilkan di sana, ia simpan dan dikirim kepada istrinya.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Tiba-tiba Rusli Yusuf jatuh sakit. Semakin hari bertambah parah. Perutnya mulai buncit. Ia pun melempar handuk dan memutuskan pulang.
Maryati menerima kepulangan sang suami dengan perasaan gundah gulana. Ia khawatir dengan kondisi kesehatan sang belahan jiwa.
Baca juga: Resep Palsu Pengentasan Kemiskinan di Aceh
Setelah berobat ke sana kemari, akhirnya mereka mendapatkan perawatan di RS Cut Mutia, Lhokseumawe. Rusli mengalami pembengkakan limpa, yang menyebabkan cairan tidak dapat keluar dari tubuhnya.
Saat itu sampai sekarang, hanya dua rumah sakit yang memungkinkan Rusli Yusuf mendapatkan perawatan medis. RSU Cut Mutia dan RSUD dr. Zainoel Abidin. Tentu Maryati tak mungkin membawa suami ke banda Aceh. Jaraknya terlalu jauh dan harus mendaki lekuk Gunung Seulawah. Ia memutuskan berobat ke RSU Cut Mutia. Setiap 10 hari sekali cairan di dalam perut Rusli harus disedot.
Demikianlah Maryati, setiap 10 hari sekali dia menempuh perjalanan ratusan kilometer, dengan mengendarai becak butut, demi membawa suaminya ke rumah sakit. Tetangga mereka turut membantu. Ada yang memberikan beras, lauk pauk, dan uang. Maryati sangat berterima kasih atas bantuan dari jiran-jirannya.
Setelah bertahun-tahun rutin membawa suami ke rumah sakit, akhirnya Maryati juga jatuh sakit. Mungkin ia kelelahan, dan empat bulan lalu pamit dari dunia fana pada usia 38 tahun.
Rusli berduka, demikian juga dua buah hati mereka, Rahmad Aulia dan seorang kakaknya berjenis kelamin perempuan yang saat ini berumur 12 tahun. Mereka hanya dapat meneteskan air mata. Sang srikandi yang tak kenal lelah sepanjang hayatnya, telah pergi, meninggakan mereka bertiga di tengah ketikpastian hidup.
Setelah kepergian sang bunda, Rahmad Aulia dan kakaknya berbagi tugas. Di rumah sang ayah dirawat oleh kakak Rahmad, sedangkan urusan mengantar dan membawa pulang ayah menjadi tanggung jawab bocah 11 tahun tersebut.
Setiap 10 hari sekali, Rahmad Aulia memacu becak bututnya yang bermesin Honda Supra X, menempuh 115 kilometer, dengan kondisi tak dapat disebut pas-pasan. Setiap perjalanan dia membutuhkan waktu enam jam.
Bocah itu tidak mengeluh, bila sang ayah meringis kesakitan, dia menghiburnya. Upaya Rahmad menghibur sang ayah, meski tidak dapat mengurangi rasa sakit di tubuhnya, tetapi menjadi obat hati untuk Rusli. Ia melihat Rahmad memiliki ketulusan yang sama seperti istrinya yang telah almarhumah.
Bagi Rahmad yang masih duduk di bangku kelas VI SD, pengabdiannya kepada sang ayah merupakan tanggung jawab. Ia wajib melakukannya, dan ia tulus melaksanakannya.
Ia mengaku tak ingin berhenti merawat Rusli Yusuf. Ia juga berharap suatu hari nanti ayah sembuh dari sakitnya yang telah menahun.
“Saya berharap ayah sembuh. Itu doa yang selalu saya ucapkan,” sebutnya.
Bila mengukur jarak tempuh Rahmad dalam 10 hari sekali, berarti ia harus mengaspal sejauh 230 kilometer pulang-pergi. Dia membutuhkan waktu 12 jam untuk akumulasi setiap perjalanan menuju dan pulang dari RS Cut Mutia.
Rahmad harus bekerja ekstra. Bila tugasnya sudah selesai, dia bekerja tarek pukat di pantai. Upah yang ia terima disimpan untuk akomodasi di perjalanan. Sisanya untuk biaya sekolah kakaknya dan makan di rumah.
Bila hasil panen pukat banyak, Rahmad Aulia mendapatkan upah Rp150.000. Bila tidak panen, maka ia harus pulang dengan tangan kosong. Malam harinya ia mengaji pada teungku di kampungnya.
Duka Rahmad Aulia “Dibaca” Oleh Ridha
Selalu ada orang tulus di dunia ini. Demikianlah perjalanan hidup Rahmad Aulia. Dia tidak menyangka akan bertemu sang pria muda yang bermukim di Blang Mee. Setelah ambulans kemanusiaan Takabeya tiba, Ridha memberikan uang Rp1 juta kepada sang bocah. Seorang polisi juga memberikan sumbangan kepada sang anak.
Anak 11 tahun itu terharu, dia tidak menyangka bila pada Kamis siang, ada yang memberikan perhatian kepadanya.
Matanya sembab. Ia tidak dapat menahan haru. Ia tambah terkejut, ketika becaknya itu diangkut dengan pick up dan dibawa serta ke RSU Cut Mutia.
Sepanjang perjalanan menuju Rumah Sakit Cut Mutia, dia berkali-kali menyapu matanya yang basah. Ia bercerita banyak kepada Rahmat Geurugok, sang sopir ambulans Takabeya. Ia mengatakan, menurut kabar yang didengarnya, bila ingin mngoperasikan ayahnya, harus dirujuk ke Penang, Malaysia.
Mendengar nama Penang, Rahmad kecut. Ia masih terlalu kecil, dan terlalu miskin bila harus ke Penang.
“kami tidak punya uang, Bang,” katanya lirih.
Tiba di RSU Cut Mutia, petugas segera menyambutnya dan mebawa ke ruang perawatan. Rahmad Aulia mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang telah membantu dirinya dan Rusli.
Rahmat Geurugok yang sejak dalam perjalanan ke rumah sakit mencoba tegar, ketika pulang ia kalah melawan gejolak hati. Ia berharap ada solusi terbaik untuk sang bocah dan keluarganya.