
Di Singkil, orang Aceh bukan hanya menetap. Tapi berperang jihad fisabilillah. Jejak orang Aceh di Singkil dicatat dalam rekaman sejarah.
Aman padişahım, eldenalbizi…deni Islam gayret, yok sen bilesin. (wahai Sultanku, selamatkanlah kami dari orang asing, ketahuilah hanya Islam agama yang benar).
Itulah syair yang bergema di antara reruntuhan kota Vidin pada 1878 ketika orang Turki terusir oleh tentara Rusia. Saat aku mendengarnya di Youtube seketika langsung ingatanku seperti terbang kembali di tanah Singkil.
Di wilayah perbatasan ini, orang Aceh dan Singkil pada 1840 melantunkan doa serupa—menggema memecah derasnya arus sungai Singkil di kala malam untuk dibawa angin ke hadapan Paduka Yang Mulia Sultan Ibrahim Mansyur Syah di Banda Aceh.
Ini bukan kisah pilu, melainkan suara jiwa dan doa perlindungan baik dari Vidin maupun Singkil kepada Sultan Ottoman atau Sultan Aceh, supaya segera menyelamatkan isi negeri dari perihnya cakaran kuku kolonial.
Petaka itu dimulai saat Belanda dengan 4000 serdadu berlayar ingin “membebaskan” Barus dari kuasa Aceh. Perwiranya bernama kapten Jacob Roeps, ia datang dengan segudang pengalaman tempur; seperti pernah ikut ekspedisi Bone tahun 1824-1825 dan menangkap Kyai Mojo pada perang Jawa tahun 1828.
Di Barus rupanya maut memanggilnya, ia terluka ditembak di luar benteng Barus dan mati pada 23 Maret 1840. Kematiannya membangkitkan amarah Belanda, yang kemudian menambah pasukan hingga 8.000 serdadu. Orang Aceh dan Barus yang setia pada sultan kalah.
Bendera Aceh berhasil diturunkan paksa dari kota Barus oleh Letnan Satu Carel Heinrich Bischoff meski harus ia bayar dengan tetakan kelewang di badannya dan menyusul Roeps pada 3 Mei 1840. Bendera itu, kain merah dengan pedang melengkung serta tulisan azimah Arabnya, kini menjadi saksi bisu duel Aceh-Belanda di Barus tersimpan rapi Rijksmuseum sana.
Baca juga: Singkil-Sibolga, Jejak Dusanak Pesisir yang Terpisah (1)
Pun demikian laju mesin perang Belanda masih tak terbendung. Setelah mengalahkan orang Aceh di Barus, giliran pemukiman orang Aceh terdekat di Tapus -tempat bermukim Teuku Raja Udah, pemilik 4 Pulau sengketa tempo hari- juga diterjang.
Kejatuhan Barus dan Tapus (kini Muara Tapus kecamatan Manduamas Kabupaten Tapanuli Tengah) seperti mimpi buruk yang menghantui kedaulatan Aceh di Singkil. Benar saja, pada tahun yang sama, Singkil pun jatuh.
Raja Maaris (anak Leube Jafar) wakil Sultan Aceh di Singkil dan pengikutnya lari menuju hulu sungai untuk menyusun kekuatan. Ia meninggalkan Teluk Ambun Lama kepada Keuchik Nyak Cut, Pea Bumbung Lama kepada Keuchik Zainal, Rantau Gedang dan Tanjung Baru (Takal Pasir Lama) kepada Uwan Mansur (diteruskan oleh Bowe dan Panglima Pobandar setelah ia berpulang) karena keadaan tak lagi memungkinkan.
Sungai Singkil dan kampung-kampung di sepanjang alirannya masih merupakan tempat yang aman untuk berlindung. Bukan hanya karena sulit dijangkau, namun juga karena isi negerinya yang masih setia pada Sultan Aceh. Hubungan ini sudah aku tulis pada bagian 1 sebelumnya.
Ingatan Orang Aceh tentang Jatuhnya Singkil
Huru-hara jatuhnya Singkil sampai ke telinga Sultan Ibrahim Mansyur Syah. Satu pasukan besar dipimpin oleh Teuku ‘Id dan Teungku Lamkrak dikirim untuk berperang sabil merebut kembali Singkil pada 28 agustus 1840. Keduanya gugur pada 26 Agustus 1843. Kisah heroik ini dicatat dalam manuskrip Aceh yang kini disimpan oleh British Museum dan diterjemahkan oleh MAPESA.
Uniknya, pada lembar yang sama manuskrip ini juga merekam pecahnya perang di Masjid Meureu, Baet, Samahani, dan Piyeung pada 1881, serta Masjid Bueng Cala pada 1882.
Semua daerah yang tadi kini berada di Kabupaten Aceh Besar sekarang.
Bagiku, penggabungan penulisan kejadian yang terpaut jauh baik tempatnya dan kurun zamannya, menunjukkan bahwa kabar duka tentang Singkil tersiar jauh sampai ke pedalaman Aceh Besar, dan ingatannya tetap hidup di kalangan orang Aceh selama hampir setengah abad setelahnya. Bagiku manuskrip ini rasanya lebih dari cukup menjadi bukti betapa Singkil begitu dicintai oleh orang Aceh kala itu.
Tak hanya pasukan, Sultan juga mengirim surat permohonan bantuan ke Perancis. Surat pertama pada Agustus 1840 melalui kapten Martin berbunyi,
“…Kami akan terus bertempur melawan Belanda karena mereka ingin menduduki kerajaan kami. Namun dengan bantuan Tuhan, kami tidak akan menyerahkan sejengkal tanah pun dari kerajaan kami…”
Baca juga: Jejak Orang Aceh di Singkil: Mengapa Hanya Sedikit yang Tersisa? (Bagian 1)
Sedangkan surat kedua pada 1849 berisi permintaan pembelian dua kapal perang yang akan dicicil dalam dua tahun untuk merebut kembali Singkil, Nias, dan Air Bangis (Kecamatan Sungai Beremas, Kabupaten Pasaman Barat kini). Sayangnya, semua bertepuk sebelah tangan.
Setahun kemudian, giliran tim diplomat Aceh di bawah Muhammad Ghauts dan sekretarisnya Nyak Dum dikirim Sultan Ibrahim Mansyur Syah ke Turki. Setelah menunaikan haji dan menyelesaikan misi dengan menemui Sultan Abdul Majid di Istanbul, rombongan ini pulang melalui Mesir.
Sesampai di Kairo, Konsulat Perancis menerima dan mengundang mereka ke Paris untuk bertemu Louis Napoleon. Dikarenakan kendala cuaca dan bahasa, Muhammad Ghauts pulang ke Aceh dan menugaskan Haji Nyak Dum untuk berangkat ke Perancis.
Ia sampai di Paris pada 31 Oktober 1852 dengan gelar Sidi Muhammad. Republik Perancis mengira ia adalah Muhammad Ghauts sang pimpinan yang sebenarnya sudah pulang ke Aceh. Kedatangannya disambut gembira oleh Perancis sebagai duta dari timur jauh dan ditanggung semua akomodasinya sebesar 5000 franc.
Haji Nyak Dum, Diplomat Aceh yang Ikut Perang Sabil di Singkil
Tiga belas tahun kemudian, pada Februari 1865, Haji Nyak Dum tiba-tiba muncul di Pasir Belo (dekat Kampung Gunung Bakti, Kec. Sultan Daulat, Kota Subulussalam kini), bersama Raja Maaris.
Ia membawa firman Sultan Abdul Majid dari Istanbul. Kedatangannya, dengan pengalaman melintasi Makkah, Istanbul, Mesir, dan Perancis, bertujuan memperkuat moral orang Aceh dan Singkil di hulu Sungai Simpang Kiri (Lae Sukhaya). Mengingatkan mereka untuk tetap setia di jalan perang sabil, seperti janji sultan: tidak menyerahkan sejengkal tanah pun kepada musuh.
Usaha ini membuahkan hasil. Raja Gobang penguasa Kuta Baharu (ditulis Kuta Baroe oleh Belanda) ikut dalam barisan perang sabil. Ia bahkan pernah menahan kapal dagang dari Singkil pada 1861 yang singgah ke Kuta Baharu.
Berbagai upaya damai dilakukan untuk membebaskannya namun tak berhasil. Entah karena pertimbangan keamananan atau lainnya, Belanda membiarkan aksi Raja Gobang tersebut meski sudah mulai melaporkannya ke Residen di Tapanuli.
Pengaruh Aceh memang sangat kuat di Kuta Baharu atau sepanjang Sungai Simpang Kiri (Lae Sukhaya). Ini terbukti pada 3 September 1845 (lima tahun setelah Belanda menduduki kota Singkil) saat seorang pejabat Belanda bernama F. Godin ditolak masuk ke Binanga (Kecamatan Runding Kota Subulussalam kini) untuk melakukan survei.
Raja Maaris terus mengajak orang-orang tempatan untuk memusuhi Belanda yang datang dari kota Singkil -Belanda menuliskannya opposto okt door radja Maaris artinya dihasut oleh Raja Maaris.
Tujuh tahun kemudian keadaan masih belum berubah pada 1853, saat Hermann Von Rosenberg melakukan survei hidrologi dan pemetaan wilayah Singkil, ia tak berani masuk ke Simpang Kiri karena tak aman. Fakta ini bukan pendapatku namun diakui oleh Belanda sendiri. Inilah sebab kenapa peta Rosenberg yang legendaris itu terputus di sungai Simpang Kiri.
Bagi Raja Maaris kedatangan Haji Nyak Dum ke Pasir Belo selain menguatkan posisinya di Pasir Belo dan Binanga, juga dimanfaatkan dengan menambah sekutu baru dengan cara menikahkan putrinya dengan putra seorang penguasa di Kuala Baru (Kecamatan Kuala Baru kab. Aceh Singkil kini).
Hasil dari pernikahan ini menguatkan relasi sosial dan menyamakan pandangan politik antar orang-orang Aceh di Kuala Baru, sehingga mereka mengirimkan banyak orang untuk ikut perang sabil bersama Raja Maaris dan kawan-kawannya.
Baca juga: Singkil-Sibolga, Jejak Dusanak Pesisir yang Terpisah (2)
Setelah kuat di hulu Simpang Kiri dan Kuala Baru di barat Singkil, Aceh melirik Simpang Kanan (Lae Cinendang). Pada Februari 1864, Teuku Babah Jurong dikirim untuk mengutip upeti ke Tanjung Mas (nama Tanjung Mas masih dipakai untuk nama Mukim yang membawahi banyak kampung sampai kini, bahkan Kota Rimo yang sekarang menjadi pusat bisnis di Kabupaten Aceh Singkil masih menginduk Mukim Tanjung Mas).
Indra Mulis sang Raja Tanjung Mas saat itu menolak membayar upeti kepada Aceh. Menurutku ini sungguh ironi karena Tanjung Mas adalah salah satu wilayah yang pertama sekali di masa lampau menyatakan tunduk pada Aceh di wilayah Simpang Kanan.
Atas ketundukan itu, Sultan Aceh memberikan bawar emas untuk Raja Tanjung Mas; sesuatu yang tak diberikan kepada kampung lainnya di sekitaran itu.
Pun demikian, keengganan Raja Tanjung Mas membayar upeti tentu harus juga dilihat dari hal lainnya yang belum ku ketahui. Keputusan raja-raja kecil pada masa lampau tentu menurut keadaan zaman dan mengharapkan yang terbaik bagi isi negeri yang ia perintah.
Teuku Babah Jurong membawa Indra Mulis ke Kuta Baharu, bertemu Raja Gobang dan Teuku Said (Teuku Said Abdurrahman bin Hasan). Ultimatum diberikan: jika Tanjung Mas menolak membayar upeti pada Aceh, kekerasan akan terjadi, dan perahu dagang dari Simpang Kanan diblokade di Pemuka Lama.
Aku tak tahu apakah Raja Indra Mulis menyerahkan upeti atau tidak setelah diultimatum seperti itu namun yang jelas sebuah pesan rahasia sampai kepada Belanda di kota Singkil tentang apa yang ia alami.
Rencana mengalihkan seluruh perdagangan dari kota Singkil Singkil ke Pemuka Lama ternyata bukan gertak sambal semata. Teuku Said dan Raja Gobang membangun benteng dan mengutip upeti dari setiap kapal dagang yang lewat menuju kota Singkil.
Setelah pengikutnya bertambah ramai, mereka malah memberhentikan total seluruh kapal dagang dari sungai Simpang Kanan dan Simpang Kiri di Pemuka Lama yang merupakan titik pertemuan dua sungai tadi sebelum mengalir ke hilir di kota Singkil.
Pemuka Lama menjadi kota bayangan bagi Singkil. Blokade ini bukan hanya menyebabkan perdagangan melambat di kuala Singkil namun juga merupakan sebuah penghinaan bagi Belanda yang berada di kota Singkil.
Pada Februari 1865 Residen Belanda untuk Westkust van Sumatera di Padang Van den Bossche tiba di Singkil dan menemukan kongsi dagang Tionghoa cemas karena blokade dagang di Pemuka Lama. Perdagangan menjadi lesu dan neraca terus menyusut. Ini memperburuk citra Belanda yang sudah 35 tahun berkuasa di pesisir Singkil tapi belum mampu mengamankan jalur dagang apalagi Singkil baru saja pulih setelah dihantam galokho (bahasa Singkil Pesisir: Tsunami, bahasa Singkil: gelokha) pada 16 Februari 1861.
Bossche segera kembali ke Padang untuk mengirimkan bala bantuan agar Kota Singkil bebas dari blokade. Pada 17 Juni 1865, delapan puluh serdadu Belanda bersenjata lengkap berbaris rapi menaiki lima kapal di dermaga kota Singkil.(mungkin di sekitaran Kampung Ujung sekarang atau sepanjang sungai Rintis di Onan Senin).
Letnan Dua F. Pope Meerdervoort memimpin 30 infanteri dengan tiga kapal kecil pengawal. Sementara Letnan Laut Kelas Satu K.C. Bunnik memimpin 50 marinir dengan dua kapal perang sekoci dilengkapi meriam, nama terakhir menjadi pimpinan seluruh armada.
Tujuan mereka selain untuk menyerang Pemuka Lama; tempat orang Aceh dan Singkil bersekongkol memblokade kota Singkil yang sangat menjengkelkan juga untuk menghukum Teuku Said dan Raja Gobang yang sudah sangat keterlaluan.
Bagaimana kelanjutannya? Bagaimana nasib Teuku Said dan Raja Gobang di Pemuka Lama? Selamatkah mereka dari amukan serdadu Belanda?
(Berlanjut ke bagian 3)
Rujukan: Al Jazeera English, Rijksmuseum, Mapesa, Buku Menuju Sejarah Aceh, Digital Collection Leiden University.











